TIMES MALANG, MALANG – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang membatalkan frasa atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menuai sorotan akademisi. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya (UB), Prof Tongat, menilai putusan tersebut justru menimbulkan ambiguitas baru dan memicu polemik publik.
Menurut Prof Tongat, penghapusan frasa itu semestinya diikuti dengan perumusan norma baru yang lebih tegas. Namun, MK hanya membatalkan satu bagian tanpa memperjelas batasan substantif mengenai jabatan anggota Polri di luar struktur kepolisian.
“Putusan ini tidak jelas dan bersifat ambigu. MK membuka ruang tafsir baru yang justru membingungkan,” ujar Prof Tongat, Sabtu (15/11/2025).
Ia menjelaskan, dalam putusannya MK menegaskan bahwa anggota Polri boleh menduduki jabatan di luar kepolisian asalkan mengundurkan diri atau pensiun. Akan tetapi, setelah frasa tertentu dihapus, redaksi pasal tersebut tetap membuka peluang tafsir bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan yang berkaitan langsung dengan kepolisian tanpa harus keluar dari dinas aktif.
“Dengan formulasi yang ada sekarang, masih mungkin ditafsirkan bahwa anggota Polri bisa menempati jabatan yang memiliki sangkut paut dengan kepolisian tanpa melepaskan statusnya. Di situlah letak masalahnya,” ungkapnya.
Prof Tongat mencontohkan beberapa lembaga yang sering beririsan dengan fungsi kepolisian, seperti KPK, BNN, dan sejumlah institusi penegakan hukum lain yang membutuhkan kompetensi kepolisian. Menurutnya, tanpa norma yang tegas, penempatan anggota Polri di institusi–institusi tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
Ia juga menyoroti bahwa penghapusan satu frasa saja membuat ketentuan pasal tersebut kini memuat bunyi ‘Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun’. Namun, pada saat yang sama, ruang tafsir sebaliknya masih terbuka.
“Kepastian hukum adalah roh setiap putusan MK. Jika tafsirnya multitafsir, maka nilai konstitusionalitas putusan bisa hilang,” katanya.
Sebagai akademisi, ia menilai MK seharusnya memberikan putusan yang lebih komprehensif dan disertai norma pengganti yang jelas agar profesionalitas dan akuntabilitas Polri tetap terjaga.
“Pemerintah dan DPR segera melakukan penyesuaian regulasi, guna memastikan penempatan anggota Polri di luar struktur kepolisian benar–benar sesuai prinsip profesionalitas, akuntabilitas, dan konstitusionalitas,” ucapnya.
| Pewarta | : Rizky Kurniawan Pratama |
| Editor | : Imadudin Muhammad |