TIMES MALANG, JAKARTA – Malam itu, stadion King Abdullah Sports City di Jeddah, Arab Saudi, bersinar dengan lampu sorot. Sorak-sorai suporter lokal menggema, sementara Timnas Indonesia berjuang melawan Irak di ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Skor akhir? Kekalahan tipis 0-1. Di papan skor, angka itu mungkin terlihat kecil, tapi di hati jutaan penggemar sepak bola Indonesia, itu adalah luka yang dalam.
Indonesia, dengan populasi hampir 285 juta jiwa, adalah bangsa besar. Kita memiliki sejarah panjang, budaya kaya, dan gairah sepak bola yang membara. Namun, pada saat yang sama, kita adalah bangsa yang belum pernah menembus Piala Dunia sebagai negara merdeka. Fakta ini terasa aneh, bahkan menyakitkan. Bagaimana mungkin sebuah negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penggemar sepak bola yang luar biasa, tetap menjadi penonton dalam pesta olahraga terbesar di dunia?
Bangsa Besar, Talenta yang Tertidur
Bayangkan ini: kita memiliki semua elemen untuk menjadi kekuatan sepak bola Asia—populasi, antusiasme publik, bahkan sejarah prestasi regional—tapi kita tetap menonton dari pinggir lapangan saat Piala Dunia dimulai. Media asing seperti The Athletic menyoroti fakta ini dengan nada pedas: Indonesia, “bangsa besar,” ironisnya belum pernah lolos ke Piala Dunia sebagai negara merdeka, kalah bersaing dengan negara-negara yang secara demografis jauh lebih kecil.
Ambil contoh Cape Verde. Penduduknya tidak lebih besar dari sebuah kota di Indonesia, namun mereka berhasil menembus babak final kualifikasi Piala Dunia 2026. Jawabannya jelas: mereka punya fondasi kompetitif kuat, sistem pembinaan terstruktur, dan ambisi membara.
Di Asia, kita sering mengagungkan negara seperti China, India, atau Pakistan berdasarkan jumlah penduduk. Namun faktanya, meski memiliki populasi miliaran, mereka pun kesulitan menembus level elite sepak bola Asia. The Athletic menyoroti bahwa usaha besar-besaran sekalipun tidak otomatis membuat negara besar cepat mencapai puncak.
Maka muncul pertanyaan pedas: jika negara kecil bisa merebut tiket dunia, kenapa Indonesia, dengan segala potensi dan jumlah penduduknya, masih terdampar di kualifikasi? Ini bukan sekadar kegagalan Timnas di lapangan, tapi tanda nyata bahwa fondasi sepak bola kita rapuh, strategi jangka panjang kita kabur, dan ambisi kita tidak cukup diarahkan ke hal-hal mendasar.
20 Tahun Keseragaman Kekalahan
Kegagalan Indonesia bukanlah fenomena baru. Mari kita tarik benang waktu dua dekade terakhir. Sejak kualifikasi Piala Dunia 2006 hingga 2026, catatan Timnas Indonesia stagnan. Kita gagal lolos di setiap putaran kualifikasi, menelan kekalahan dominan dari tim-tim regional seperti Iran, Irak, dan Arab Saudi.
Di Piala Asia, catatan kita juga tidak mengesankan: dalam empat penampilan, Timnas Indonesia hanya menang 2 kali dari 12 laga grup dan kalah 8 kali. Dari sisi peringkat dunia, Indonesia pernah merosot hingga peringkat 191 FIFA pada 2016, dan meski sempat naik ke posisi 118 pada Juli 2025, kenaikan ini lebih terasa sebagai angin lalu daripada tren prestasi yang stabil.
Dalam 20 laga terakhir, Timnas Indonesia hanya sesekali menang atas tim lemah, sementara menghadapi lawan kuat selalu mengalami tekanan luar biasa, kekalahan tipis atau telak, dan mental yang rapuh. Data ini membuktikan satu hal: dua dekade lebih, prestasi kita tetap stagnan.
Analisis Sistemik Kegagalan
Kegagalan ini bukan semata-mata nasib buruk, melainkan cerminan masalah struktural yang dalam beberapa hal. Pertama, mulai dari pembinaan usia dini lemah. Negara-negara Asia yang sukses memiliki akademi profesional untuk anak-anak, turnamen rutin, dan pelatih berkualitas. Indonesia belum memiliki fondasi serupa secara merata, sehingga talenta muda tidak ditempa untuk menghadapi kompetisi top.
Kedua, ketergantungan pada naturalisasi. Pemain naturalisasi memang sempat membantu, tetapi ini bukan solusi jangka panjang. Ketergantungan ini justru menutupi masalah fundamental: kegagalan membangun pemain lokal berkualitas.
Ketiga. manajemen klub dan liga yang kurang matang. Banyak klub belum profesional, fasilitas latihan minim, dan kompetisi domestik tidak menantang. Akibatnya, pemain lokal tidak berkembang optimal.
Kemudian, poin keempat tentang visi jangka panjang PSSI yang kabur. Roadmap ke target ranking dunia seringkali hanya sebatas janji. Strategi reaktif—ganti pelatih atau menaturalisasi pemain—lebih banyak sandiwara daripada reformasi struktural yang diperlukan.
Kelima, menjadi poin terakhir yakni mental kompetitif lemah. Timnas Indonesia sering kewalahan menghadapi tekanan internasional. Lawan-lawan besar Asia tidak hanya lebih teknis tetapi juga lebih berpengalaman dan disiplin.
Bangsa Besar Harus Berani Bertindak
Melihat fakta ini, kita harus bertanya keras: apakah Indonesia hanya akan menjadi penonton, atau mau benar-benar menjadi peserta sejati di dunia sepak bola? Kekalahan demi kekalahan bukan sekadar angka di papan skor—ini alarm nasional yang seharusnya memprovokasi semua pihak untuk bertindak nyata: PSSI, pemerintah, akademi sepak bola, klub profesional, dan masyarakat luas.
Solusi tidak bisa sebatas retorika atau target instan. Indonesia butuh reformasi total. Mulai dari reformasi pembinaan usia dini: akademi profesional, pelatih berkualitas, turnamen rutin, exposure internasional bagi talenta muda. Penguatan liga domestik: klub profesional, kompetisi U-18/U-21 yang kompetitif, fasilitas latihan yang memenuhi standar internasional.
Tak hanya itu, visi jangka panjang PSSI yang jelas: roadmap terukur dan realistis, dengan manajemen yang konsisten, bukan target instan. Pengurangan ketergantungan naturalisasi: fokus pada regenerasi pemain lokal, bukan solusi instan. Mental pemenang juga harus persiapkan pemain menghadapi tekanan internasional melalui latihan dan turnamen berkualitas tinggi.
Tanpa langkah-langkah ini, kita akan terus menonton dari pinggir lapangan. Setiap Piala Dunia berikutnya, luka lama akan kembali terasa, dan generasi muda akan tumbuh dengan mimpi yang terkubur.
Indonesia bukan hanya bangsa besar dalam jumlah; kita juga harus menjadi besar dalam ambisi, strategi, dan prestasi sepak bola. Tanpa itu, negara lain — meski lebih kecil — akan terus melangkah lebih jauh, sementara kita tetap menonton dari jauh.
Lebih dari Sekadar Sepak Bola
Kegagalan menembus Piala Dunia bukan hanya soal skor atau ranking. Ini soal harga diri nasional. Setiap kekalahan di panggung internasional adalah tamparan bagi jutaan penggemar yang mengisi tribun, rumah, dan kafe dengan harapan besar.
Efeknya pun lebih luas: kepercayaan sponsor menurun, minat investor lokal dan internasional melemah, dan generasi muda bisa kehilangan gairah untuk bermimpi besar. Jika persepsi ini terus ada, talenta muda akan enggan menekuni sepak bola secara serius.
Indonesia adalah bangsa besar yang membiarkan potensinya terbuang sia-sia. Kita punya jumlah penduduk, gairah, dan pasar — tetapi tidak punya prestasi yang sepadan. Kekalahan di kualifikasi Piala Dunia 2026 bukan sekadar angka di papan skor, tetapi cerminan kegagalan struktural dan budaya sepak bola nasional.
Bangsa besar tidak bisa terus menonton. Kita harus bertindak sekarang, membangun fondasi, memperkuat liga, menyiapkan talenta lokal, dan menanamkan mental juara. Tanpa itu, negara lain—meski lebih kecil—akan terus bersinar, sementara kita tetap menunggu panggung yang seharusnya milik kita.
***
*) Penulis: Hainor Rahman, Alumni Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
Baca juga: Revitalisasi Masjid Melalui Program Kreatif dan Inovatif
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Imadudin Muhammad |