TIMES MALANG, MALANG – Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Malang, Ahmad Dzulfikar Nurrahman, menegaskan bahwa persoalan sampah tidak bisa diselesaikan hanya dengan memindahkan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Seluruh rantai harus dilihat sebagai satu ekosistem yang saling terhubung: hulu sebagai sumber sampah, mediator tengah sebagai pengelola awal, dan hilir sebagai TPA.
“Kalau kita bicara sampah, ada tiga segmen yang harus terkoneksi. Kita bangun ekosistemnya dari hulu dulu, kemudian kita sambungkan ke tengah dan hilir,” kata Dzulfikar kepada TIMES Indonesia, Minggu (16/11/2025).
Dengan pendekatan itu, Kabupaten Malang kini bergerak ke arah inovasi RDF sebagai teknologi pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif, dan Landfill Mining sebagai metode menggali ulang sampah lama di TPA untuk diproses kembali.
Menurut Dzulfikar, 70 persen sampah di Kabupaten Malang adalah sampah organik, terutama dari rumah tangga. Dominasi organik inilah yang mendorong DLH berinovasi pada sektor hulu reduksi sampah sebelum tiba di TPS maupun TPA.
Dzulfikar menjelaskan bahwa pihaknya mengadopsi model biopori inovatif dari Manado. Lubang dibuat tanpa pipa, diisi sampah organik, lalu ditutup tanah. Belatung lalat berperan sebagai komposter alami, sementara lapisan tanah menahan bau dan mencegah belatung naik ke permukaan.
Kabupaten Malang memiliki tiga TPA, diantara: Poncokusumo, Singosari, dan Kepanjen dengan kapasitas rata-rata 250 ton per hari per TPA. Sementara timbulan sampah harian mencapai 1.226 ton, namun yang tertangani baru sekitar 40 persen.
Dzulfikar mengaku, bahwa kondisi tersebut makin berat karena keterbatasan armada dan anggaran. DLH hanya menerima alokasi sekitar Rp29 miliar per tahun.
“Kalau kita ingin memperluas layanan, ya otomatis harus menambah armada. Tapi kemampuan APBD terbatas,” kata Dzulfikar.
Untuk mengisi kekurangan itu, DLH Kabupaten Malang menggandeng CSR dan lembaga donor. Tahun ini, total dukungan mencapai sekitar Rp10 miliar. Sedangkan pada 2026, Kabupaten Malang akan menerima Rp300 miliar untuk pembangunan infrastruktur persampahan seperti armada, fasilitas pengolahan, dan alat penunjang lainnya.
Dalam inovasi sektor hilir, Kabupaten Malang mulai mengembangkan teknologi Refuse-Derived Fuel (RDF). RDF adalah proses mengubah sampah kering menjadi bahan bakar alternatif pengganti batu bara. Sampah dengan nilai kalor tinggi, terutama plastic yang menjadi bahan material utamanya.
Tambahnya, RDF telah diterapkan di TPA Poncokusumo dan secara bertahap akan diperluas ke TPA lain di Kabupaten Malang.
“RDF ini teknologi. Kita olah sampah kering jadi bahan bakar. Tapi prosesnya harus di atas 1000 derajat, kalau tidak akan menghasilkan senyawa berbahaya. Itu sebabnya RDF hanya dipakai di pabrik semen,” jelasnya.
Selain sebagai bahan bakar, RDF juga bisa diolah menjadi paving block, menjadikannya solusi multifungsi terhadap sampah bernilai rendah.
Berbeda dari RDF yang merupakan teknologi pengolahan, Landfill Mining sebagai model pendekatan yang dilakukan DLH Kabupaten Malang dilakukan dengan menggali kembali sampah lama yang telah tertimbun di TPA, memisahkan material bernilai, lalu mengolahnya menggunakan teknologi lain, salah satunya RDF.
“Setelah kita teliti, sampah lama di TPA ternyata juga bisa diproses jadi RDF. Maka konsepnya landfill mining. Kita gali, kita pilah, lalu kita olah lagi,” terang Dzulfikar.
Hasil landfill mining menunjukkan bahwa 80 persen sampah hasil penggalian dapat dijual kembali. Nilai ekonominya cukup besar: RDF kering mencapai Rp400.000 per ton, sedangkan RDF basah sekitar Rp200.000 per ton.
Jika 1.000 ton sampah TPA digali, maka 800 ton dapat dikonversi menjadi bahan bakar.
Dzulfikar menyebut bahwa Kabupaten Malang akan mengadopsi model Landfill Mining dari Italia, teknologi yang belum diterapkan di daerah mana pun di Indonesia.
“Setelah manajemen, ekosistem, dan infrastrukturnya siap, baru teknologi landfill mining kita hadirkan. Ini akan menjadi yang pertama di Indonesia,” tegasnya.
Selain inovasi, DLH juga menguatkan edukasi. Banyak masyarakat masih membuang sampah sembarangan, terutama ke sungai atau lahan kosong. Padahal Undang-Undang Persampahan telah mengatur denda hingga Rp50 juta bagi pembuang sampah sembarangan.
“Kalau sungai tersumbat, lalu terjadi bencana, itu sebenarnya masyarakat sendiri yang membuatnya. Karena itu edukasi harus jalan terus,” kata Dzulfikar.
DLH Kabupaten Malang menjalankan program “Bersih Indonesia” yang menerapkan pendampingan. Sudah 300 rumah ikut serta, masing-masing difasilitasi dua tong sampah dan pendampingan pemilahan. Laporan warga juga dipantau setiap hari melalui sistem pelaporan DLH.
Dengan pendekatan hulu, tengah, dan hilir yang terhubung, dukungan anggaran besar, serta inovasi RDF dan Landfill Mining, Kabupaten Malang kini membangun pondasi baru pengelolaan sampah yang lebih modern dan produktif.
“Target kita bukan sekadar menjual RDF. Tujuan utama adalah mengurangi sampah masuk TPA. TPS harus berfungsi, masyarakat harus paham, dan TPA harus inovatif,” pungkasnya.(*)
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |