https://malang.times.co.id/
Berita

Kondisi Buruh Tani di Balik Kejayaan Perkebunan Kopi Malang

Rabu, 23 Oktober 2024 - 13:32
Kondisi Buruh Tani di Balik Kejayaan Perkebunan Kopi Malang Ilustrasi. Buruh kopi (Foto: Pixabay)

TIMES MALANG, MALANG – Kopi telah menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia sejak masa kolonialisme. Kejayaan kopi sebagai komoditas ekspor yang diminati hingga pasar Eropa tidak terlepas dari peran buruh perkebunan yang bekerja keras mengelola lahan-lahan perkebunan yang luas. 

Dalam sejarah Indonesia, perkebunan, termasuk kopi, menyita banyak lahan, dan keberhasilan komoditas ini juga mencerminkan kondisi sosial-ekonomi para pekerja di baliknya.

Peran Buruh dalam Ekspansi Perkebunan Kopi

Malang, yang terkenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbesar, memiliki sejarah panjang sebagai pusat perkebunan kopi sejak akhir abad ke-19. Pada periode 1870-1930, sebagian besar penduduk asli (bumiputera) Malang bekerja sebagai buruh perkebunan, menggantungkan hidup mereka pada industri ini. 

Menariknya, wilayah Malang pada awalnya tidak menjadi target utama kolonial VOC karena dianggap kurang bernilai secara ekonomi. Namun, seiring dengan meningkatnya permintaan kopi, VOC mulai melirik potensi Malang sebagai pusat produksi kopi.

Pada 1837, Malang sudah menghasilkan sekitar 57.000 pikul kopi per tahun. Angka ini cukup signifikan. Namun, peningkatan produksi ini membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. 

Jumlah penduduk Malang meningkat tajam dari 40.000 jiwa pada 1837 menjadi 80.000 jiwa pada 1846. Dengan semakin banyaknya buruh perkebunan, perluasan lahan pun tak terelakkan.

Dampak UU Agraria 1870 Terhadap Perkebunan dan Buruh

Penerbitan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870 membuka peluang bagi perusahaan swasta untuk menyewa tanah dan memperluas perkebunan di Malang, terutama di wilayah selatan seperti Turen dan Dampit. 

Wilayah Malang selatan seperti Dampit menjadi salah satu tempat transaksi kebutuhan pokok. Dampit berkembang menjadi pusat distribusi kopi yang menghubungkan daerah-daerah perkebunan dengan pelabuhan ekspor di Surabaya.

Meningkatnya perluasan lahan membuat rakyat menggantungkan hidupnya sebagai buruh perkebunan. Banyak buruh yang bermigrasi dari dari daerah lain seperti Madura, Solo dan sekitarnya untuk mencari pekerjaan di perkebunan.

Persebaran buruh mulai merata dan pendapatan sudah ditetapkan sesuai peraturan. Perubahan sistem transaksi dari barter menjadi mata uang berdampak pada ekonomi kaum buruh pada masa itu. 

Meskipun begitu, upah yang diterima para buruh sering kali tidak sebanding dengan kerja keras mereka.

Ketergantungan mereka pada pekerjaan di perkebunan, ditambah dengan aturan ketat yang melarang mereka melawan pemilik perusahaan, menjadikan mereka kelompok yang rentan. 

Doktrin untuk menerima keadaan ini membuat para buruh sulit menuntut hak-hak mereka atas kerja keras yang dilakukan.

Di sisi lain, perusahaan yang mempekerjakan mereka bisa mendapatkan keutungan berkali lipat, karena produk yang dihasilkan dijual di pasar Eropa. 

Hal itulah yang membuat kaum buruh mengalami kemiskinan serta belum ada kesadaran untuk menuntut hak atas kerja keras mereka. 

Aturan yang dibuat pada masa itu merugikan kaum buruh dan rakyat. Hal tersebut menjadi awal praktik pemanfaatan tenaga kerja kapitalisme bangsa Eropa di Indonesia. (*)

Penulis: Ananda Putri Pradani (Mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah UM)

Pewarta : TIMES Magang 2024
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.