TIMES MALANG, MALANG – Nelayan di Sendang Biru, Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang, menghadapi kesulitan beberapa waktu terakhir. Di antaranya, keberatan dengan 5 persen pajak dari hasil penjualan ikan tangkapan dan administrasi perizinan.
"Nelayan sekarang itu cukup tertekan (berat) dengan pajak 5 persen dari penjualan ikan yang didapat. Sementara, biaya untuk kebutuhan operasional melaut sangat tinggi. Ya, tangkapan ikannya harus melebihi itu, kalau tidak bisa rugi," kata, Alwi (35), salah seorang nelayan yang sempat ditemui di Sendang Biru, kemarin.
Biaya operasional yang harus dikeluarkan nelayan ini, lanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar. Termasuk, untuk membayar anak buah (ABK), terutama pada perahu nelayan kategori sedang dan besar.
Dikatakan Alwi, terutama kebutuhan solar untuk perahu harian rata-rata Rp 3 juta dalam sehari melaut. Sedangkan, untuk perahu nelayan besar yang melaut hingga sepekan, rata-rata solarnya bisa mencapai Rp 30 juta/minggu.
Terkait keberadaan stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) yang sudah ada di kawasan pelabuhan Sendang Biru, menurutnya ini hanya menyediakan untuk jenis BBM Pertamax Dex, dengan harga jauh lebih mahal.
Sementara, dibanding bahan bakar solar yang jauh lebih murah, Rp 6 ribu/liter, konsumsinya sangat dibatasi, maksimal 2 truk tangki. Sehingga tidak bisa untuk melaut dalam waktu lama atau berkali-kali. Selain itu, untuk mendapatkan solar, persyaratan yang harus dipenuhi juga dianggap terlalu merepotkan.
Dibandingkan dengan hasil tangkapannya, kata Alwi, dalam sekali melaut bisa mendapatkan tangkapan ikan rata-rata 5 ton atau kurang untuk perahu sedang dalam sehari. Sedangkan, untuk kapal besar bisa mendapatkan 10 ton lebih ikan tangkapan dari hasil melaut selama sepekan.
"Tergantung pas rezekinya, atau musim ikan atau tidak, mas. Ibaratnya, pernah juga nelayan tidak mendapatkan apa-apa, pas tangkapan ikannya sangat sedikit karena tidak bisa menutup operasional," ungkapnya.
Tak cukup itu, menurutnya harga ikan saat ini juga tergolong murah. Ia mencontohkan ikan jenis cakalan, harga jualnya hanya Rp 5-9 ribu/kilogram kepada pedagang. Padahal, ikan cakalan pernah sampai harga jual tertinggi Rp 24 ribu/kilogram pada musim ikan tahun lalu.
Ia juga mengungkapkan, keberadaan nelayan di Sendang Biru mulai berkurang, terlebih untuk nelayan ABK yang andon alias buruh nelayan. Sebabnya, selain hasil tangkapan yang kerap tidak mencukupi, juga disebabkan persyaratan administrasi perizinan saat ini yang dianggap lebih rumit.
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia memang telah memberlakukan pembenuhan izin admintratif melalui Permen KKP Nomor 58 Tahun 2020. Dalam peraturan ini, mensyaratkan sejumlah perizinan, seperti Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP).
Menurut Alwi, nelayan andon dari luar Sendang Biru atau Kabupaten Malang, terkendala pengurusan izin sejak diberlakukan SIPI ataupun SIUP. Selain tidak berlaku lagi untuk izin lama, prosesnya juga dianggap lama untuk bisa didapatkan. Informasinya, tidak mesti sebulan bisa selesa, dengan biaya pengurusan izin bisa sampai Rp 7 juta.
"Mereka terkendala waktu dan jarak, jika harus berulang kali balik ke daerah asal untuk kelengkapan dokumen administrasinya. Sedangkan, dokumen perizinan lama tidak berlaku lagi sama sekali, tidak langsung diperbaharui," ujarnya.
Dikarenakan perizinan yang rumit ini, sebagian nelayan yang kerepotan lebih memilih melaut ke daerah lain. Seperti di perairan Lombok, Pacitan, hingga Cilacap, Jawa Barat.
"Ya, intinya kalau bisa seperti yang dulu, dengan peraturan yang tidak rumit dan memberatkan, nelayan masih bisa bertahan dan penghasilannya akan lebih baik. Yang sekarang ini bisa-bisa kami tidak mendapatkan apa-apa," keluh nelayan di Sendang Biru dengan dua perahu ini. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: ABK Andon Kesulitan Izin, Nelayan Sendang Biru Keberatan 5 Persen Pajak Tangkapan
Pewarta | : Khoirul Amin |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |