TIMES MALANG, JAKARTA – Badan Pengkajian MPR RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk membedah relevansi Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 dalam konteks pertahanan dan keamanan masa kini. Forum yang berlangsung di Tangerang Selatan pada Selasa (25/11/2025) ini menyoroti perlunya pembaruan cara pandang karena spektrum ancaman terhadap Indonesia telah berkembang jauh lebih kompleks dibandingkan situasi saat pasal tersebut disusun.
Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Dr. Benny K. Harman, memimpin diskusi yang menghadirkan anggota Badan Pengkajian Drs. Mohammad Iqbal Romzi (Fraksi PKS) serta tiga narasumber: Dr.rer.pol. Aditya Batara Gunawan – Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie; Anton Aliabbas, Ph.D. – Staf pengajar Ilmu Politik Universitas Bakrie; dan Ismail Fahmi, Ph.D. – Director Media Kernels Indonesia/Drone Emprit
Cara Pandang Lama Tidak Lagi Mampu Menjawab Tantangan Baru
Benny menjelaskan bahwa perumusan Pasal 30 pada masa awal kemerdekaan masih didasarkan pada ancaman fisik dari negara lain. Fokusnya adalah menjaga wilayah dan melindungi rakyat dari serangan militer. Namun hari ini, ancaman tidak lagi hadir secara konvensional.
“Ancaman modern tidak harus berbentuk invasi fisik,” ujarnya. “Melalui sistem keuangan dan penguasaan korporasi, kedaulatan negara bisa digerogoti tanpa senjata. Teknologi siber dan artificial intelligence juga membawa risiko baru bagi pertahanan nasional.”
Ia menambahkan, perubahan spektrum ancaman ini menuntut adanya pembaruan gagasan dalam menafsirkan Pasal 30 agar tetap relevan.
Ancaman Multidimensi dan Tantangan Sishankamrata

Narasumber pertama, Aditya Batara Gunawan, menilai ancaman Indonesia kini bersifat multidimensi, mulai dari grey zone conflict, ancaman ekonomi, hingga serangan siber yang sulit dilacak dan tidak berhenti pada satu waktu.
Ia menilai konsep sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) masih relevan, tetapi implementasinya kehilangan unsur “sistem”. Menurutnya diperlukan keterpaduan yang lebih kuat antara TNI, Polri, kementerian/lembaga, sektor swasta, dan publik.
“Indonesia membutuhkan kerangka kerja pertahanan dan keamanan yang benar-benar terpadu secara konstitusional,” tegasnya.
Perlu Konsep ‘Keamanan Nasional’ yang Lebih Adaptif
Sementara itu, Anton Aliabbas menilai penggunaan istilah “pertahanan dan keamanan” dalam Pasal 30 turut memperkokoh pembagian rigid antara TNI dan Polri. Ia mengusulkan agar frasa tersebut diganti menjadi “keamanan nasional” agar lebih fleksibel dan adaptif.
Ia juga mencatat adanya ambiguitas dalam frasa “berhak dan wajib” bagi warga negara untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan, serta kurangnya respons konstitusional terhadap ancaman hibrida yang berkembang pesat saat ini.
Karena itu, menurut Anton, diperlukan pengaturan yang lebih eksplisit terkait tata kelola keamanan nasional, termasuk aktor, ruang lingkup, dan mekanisme pengawasan.
Urgensi Arsitektur Pertahanan Siber Nasional
Narasumber ketiga, Ismail Fahmi, menyoroti celah besar dalam kerangka pertahanan siber Indonesia. Ia mengatakan belum ada National Cyber Defence Architecture yang jelas, sementara mandat TNI, Polri, BSSN, dan Kemkominfo saling tumpang tindih tanpa batasan yang tegas.
Ia juga menekankan bahwa ruang digital dan ruang angkasa belum memiliki landasan konstitusional sebagai domain pertahanan negara.
Ismail merekomendasikan agar: ruang siber dan ruang angkasa dicantumkan secara eksplisit sebagai wilayah pertahanan negara, negara berkewajiban melindungi warga dan infrastruktur digital, dan dibentuk arsitektur komando pertahanan siber nasional yang melibatkan TNI, Polri, BSSN, dan Kemkominfo. (*)
| Pewarta | : Rochmat Shobirin |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |