https://malang.times.co.id/
Ekonomi

Prof Susilo: Pengembangan Tenaga Kerja Berkelanjutan Perlu Kerjasama Hexa Helix

Selasa, 25 Februari 2025 - 22:16
Prof Susilo: Pengembangan Tenaga Kerja Berkelanjutan Perlu Kerjasama Hexa Helix Profesor dalam Bidang Perilaku Ketenagakerjaan UB, Prof. Dr. Susilo, S.E., M.S. (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)

TIMES MALANG, MALANG – Pengembangan tenaga kerja yang berkelanjutan menjadi tantangan besar bagi Indonesia dalam mencapai Visi Indonesia Emas 2045. Guru besar bidang Perilaku Ketenagakerjaan Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Susilo, S.E., M.S., menegaskan bahwa untuk menciptakan tenaga kerja yang kompetitif dan relevan dengan kebutuhan industri, diperlukan model kolaboratif berbasis Hexa Helix.

Yaitu kerjasama antara enam elemen utama: pemerintah, dunia usaha, akademisi, tenaga kerja, masyarakat atau media, serta lingkungan. Model ini dirancang untuk mengatasi tantangan ketidaksesuaian kualifikasi tenaga kerja dengan kebutuhan industri, yang hingga kini masih menjadi kendala utama dalam sektor ketenagakerjaan di Indonesia.

"Salah satu masalah mendasar yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya kualitas dan keterampilan tenaga kerja, yang berdampak pada efektivitas program hilirisasi dan pencapaian target pembangunan nasional," ucapnya.

Berdasarkan data pendidikan penduduk usia kerja, sekitar 50% tenaga kerja di Indonesia masih berpendidikan SMP ke bawah, sementara tenaga kerja dengan pendidikan SMA atau sederajat mencapai 38,1%, dan hanya 12,6% yang berpendidikan tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa mayoritas tenaga kerja belum memiliki kompetensi yang cukup untuk memenuhi tuntutan industri yang semakin berkembang.

Selain itu, jika dilihat dari kesesuaian antara tingkat pendidikan tenaga kerja dengan kebutuhan industri, data tahun 2023 menunjukkan bahwa tenaga kerja dengan pendidikan SMP dan SMA/SMK memiliki tingkat kesesuaian tertinggi, masing-masing 73,4% dan 72,1%. Namun, yang justru mengkhawatirkan adalah mismatch atau ketidaksesuaian yang terjadi pada lulusan vokasi dan universitas, di mana 81% lulusan vokasi dan 49,6% lulusan universitas mengalami ketidaksesuaian dengan kebutuhan industri.

Menurut Prof. Susilo, kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada gap signifikan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. "Program link and match yang selama ini dikembangkan antara institusi pendidikan dan industri masih belum cukup efektif untuk menjembatani kebutuhan tenaga kerja dengan tuntutan pasar," tuturnya.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru yang lebih integratif dan berkelanjutan, salah satunya melalui model Hexa Helix yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan dan peran aktor dalam ekosistem ketenagakerjaan. Dalam model ini, pemerintah berperan sebagai fasilitator utama dengan menyediakan regulasi dan pendanaan untuk program pelatihan.

Dunia usaha dan sektor industri bertugas memberikan fasilitas magang, peluang kerja, serta informasi terkait kebutuhan tenaga kerja kepada universitas dan lembaga pendidikan. Akademisi dan institusi pendidikan harus merancang kurikulum yang berbasis data serta disesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

"Tenaga kerja, termasuk kelompok guru dan pelaku UMKM, memiliki peran penting dalam memastikan bahwa program pelatihan yang dikembangkan benar-benar relevan dengan kebutuhan dunia kerja," terangnya.

Sementara itu, media dan masyarakat berfungsi dalam meningkatkan kesadaran publik mengenai pentingnya keterampilan dan pelatihan berkelanjutan, serta membantu mendorong partisipasi lebih luas dalam program peningkatan kapasitas tenaga kerja.

Terakhir, aspek lingkungan dan keberlanjutan juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam model ini, di mana pembangunan tenaga kerja harus memperhitungkan dampaknya terhadap keberlanjutan alam dan sosial "Sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) ke-8, yaitu menciptakan pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi," kata dia.

Selain itu, salah satu keunikan dari model Hexa Helix yang dikembangkan oleh Prof. Susilo adalah integrasi pendekatan ekonomi perilaku, yang tidak hanya mengandalkan insentif finansial tetapi juga memanfaatkan insentif sosial dan emosional untuk mendorong tenaga kerja agar lebih aktif dalam mengikuti program pelatihan.

Menurut penelitian yang dilakukan Prof. Susilo pada tahun 2023, insentif sosial seperti pengakuan publik dan sertifikasi berbasis industri terbukti mampu meningkatkan motivasi tenaga kerja untuk mengikuti pelatihan. Pendekatan ini berbeda dari model tradisional yang sering kali hanya berfokus pada faktor finansial, tanpa mempertimbangkan aspek psikologis yang dapat menjadi pendorong utama bagi tenaga kerja untuk terus meningkatkan keterampilannya.

Dalam konteks pengembangan tenaga kerja yang lebih adaptif terhadap perubahan industri, model Hexa Helix juga dapat membantu mengurangi angka underemployment, yaitu kondisi di mana seseorang bekerja di bawah kapasitas keterampilannya.

"Dengan mengintegrasikan semua pemangku kepentingan dalam satu ekosistem yang saling mendukung, maka tenaga kerja tidak hanya memiliki akses terhadap pelatihan yang lebih relevan, tetapi juga mendapatkan peluang kerja yang lebih sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.

"Jika model ini dapat diterapkan secara optimal, Indonesia tidak hanya akan mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam negeri, tetapi juga meningkatkan daya saing tenaga kerja di tingkat global," ucapnya.

Prof. Susilo menekankan bahwa pengembangan tenaga kerja yang berkelanjutan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau institusi pendidikan semata, tetapi memerlukan sinergi dari berbagai pihak. Dengan menerapkan model Hexa Helix secara menyeluruh, Indonesia dapat menciptakan SDM unggul yang siap menghadapi tantangan global, mendukung percepatan hilirisasi industri, serta berkontribusi dalam pencapaian Visi Indonesia Emas 2045. (*)

Pewarta : Achmad Fikyansyah
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.