TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Di tengah tekanan hidup modern yang kian kompleks, isu kesehatan mental bukan lagi sekadar masalah personal, melainkan persoalan sosial yang mendesak. Remaja dan dewasa muda menjadi kelompok paling rentan.
Kecemasan, depresi, dan stres kronis kian meningkat, sebagian besar disebabkan oleh tekanan sosial dan hubungan interpersonal yang tidak sehat. Di sinilah pentingnya mengembangkan self-compassion belas kasih terhadap diri sendiri yang dapat diwujudkan melalui pendekatan detachment communication.
Self-compassion merupakan sikap menerima diri dengan penuh empati, bahkan saat kita gagal atau mengalami tekanan. Detachment communication adalah cara berkomunikasi yang melibatkan pengelolaan emosi dengan menjaga jarak emosional yang sehat tidak larut dalam konflik, namun tetap terhubung secara manusiawi.
Dalam komunikasi interpersonal, detachment ini memungkinkan seseorang untuk merespons situasi dengan tenang dan sadar, tanpa terjebak dalam reaktivitas yang bisa merusak diri maupun relasi.
Data menunjukkan bahwa urgensi ini sangat nyata. Laporan WHO tahun 2023 mencatat lebih dari 300 juta orang di dunia menderita depresi, dan sekitar 700.000 orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahun.
Di Indonesia, hasil Riskesdas 2018 menyebutkan bahwa 9,8% penduduk usia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dengan beban paling tinggi dirasakan oleh remaja dan dewasa muda. Lebih dari 6 juta remaja mengalami gejala depresi, cemas, dan isolasi sosial. Angka ini diprediksi meningkat pasca-pandemi.
Salah satu akar persoalan adalah pola komunikasi yang sarat tekanan dan minim kesadaran emosional. Ketika seseorang tidak memiliki keterampilan komunikasi yang sehat, ia cenderung menyalahkan diri atau merasa gagal karena respons sosial yang negatif. Konflik, perundungan, kritik berlebihan semua itu bisa berdampak destruktif tanpa kemampuan detachment.
Dr. Kristin Neff, ahli self-compassion dari University of Texas, menyebutkan bahwa sikap welas asih terhadap diri sendiri terdiri dari tiga elemen: self-kindness, common humanity, dan mindfulness.
Ketiga hal ini dapat diasah melalui detachment communication yakni saat kita belajar memberi ruang bagi emosi tanpa dihakimi dan tidak bereaksi secara impulsif. Kita belajar menanggapi, bukan melawan.
Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, menyatakan bahwa kesehatan mental saat ini adalah silent pandemic. Ia mendorong penguatan layanan psikososial dan literasi emosi, terutama di kalangan remaja.
Dalam kerangka tersebut, pelatihan komunikasi sehat menjadi penting salah satunya adalah kemampuan detachment dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Dukungan serupa datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, yang menekankan pentingnya kurikulum berbasis karakter dan empati.
Dalam program Merdeka Belajar, ia mendorong agar sekolah menjadi ruang aman untuk mengembangkan kesadaran emosional. Konsep seperti self-compassion dan detachment communication dapat menjadi bagian dari pendidikan karakter dan pembelajaran sosial-emosional (SEL).
UNICEF Indonesia (2021) menemukan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia usia 14–24 tahun mengalami tekanan emosional setiap hari, dan 6% dari mereka menyatakan pernah berpikir untuk bunuh diri. Ini menunjukkan urgensi membekali generasi muda dengan keterampilan komunikasi yang berpijak pada kesadaran emosional.
Secara praktis detachment communication dapat dilatih melalui teknik komunikasi asertif, mindfulness, dan refleksi emosi. Misalnya, ketika menerima kritik, seseorang belajar untuk menahan reaksi spontan dan memahami pesan secara objektif. Ini bukan bentuk pasrah, tapi cara melindungi keseimbangan mental tanpa harus kehilangan hubungan sosial.
Self-compassion melalui detachment communication bukan sekadar konsep psikologi, tetapi strategi bertahan hidup di era penuh tekanan. Kemampuan untuk hadir secara sadar, menahan diri dari respons emosional destruktif, dan memperlakukan diri sendiri dengan kasih sayang, akan membentuk pribadi yang tangguh, empatik, dan sehat secara emosional.
Sudah saatnya detachment communication diajarkan, dipraktikkan, dan dijadikan bagian dari budaya komunikasi kita baik di rumah, sekolah, maupun tempat kerja.
***
*) Oleh : Ziya Ibrizah, S.I.Kom., M.I.Kom., Story Teller Nasional, Dosen Ilmu Komunikasi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |