TIMES MALANG, MALANG – Krisis iklim bukan lagi prediksi ilmiah, tetapi realitas yang sedang terjadi. Cuaca ekstrem, banjir bandang, kekeringan panjang, kebakaran hutan, naiknya permukaan air laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati kini menghantam banyak negara termasuk Indonesia dengan frekuensi yang semakin sering dan dampak yang semakin menghancurkan.
Ironisnya, ketika bumi sedang berteriak melalui bencana demi bencana, manusia terutama pemegang kebijakan justru masih sibuk berdebat antara kepentingan ekonomi jangka pendek dan kelestarian planet tempat kita tinggal.
Tahun 2025 disebut sebagai salah satu tahun terpanas dalam sejarah manusia. Rekor suhu global terus pecah, lapisan es di kutub semakin menipis, dan lautan menyerap panas dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Semua ini bukan fenomena alam biasa. Ia adalah konsekuensi langsung dari aktivitas manusia yang tak terkendali: pembakaran fosil, penggundulan hutan, industrialisasi tanpa batas, dan pola konsumsi tak berkelanjutan. Kita bukan sedang menghadapi “perubahan iklim”, tapi “perubahan manusia” yang mengubah bumi menjadi mesin bencana.
Yang paling ironis: masyarakat yang paling sedikit berkontribusi terhadap emisi karbon justru menjadi korban paling berat. Petani, nelayan, masyarakat pesisir, penduduk pulau kecil, dan komunitas pedalaman menghadapi perubahan cuaca ekstrem yang membuat mata pencaharian mereka terganggu.
Ketika laut semakin tinggi, warga pesisir kehilangan tanah. Ketika musim hujan tak menentu, hasil pertanian merosot. Ketika kebakaran hutan terjadi, masyarakat sekitar mengalami krisis kesehatan. Ketika banjir datang, mereka kehilangan rumah. Sementara itu, pusat industri yang menjadi penyumbang emisi terbesar justru memiliki kemampuan adaptasi paling baik.
Bencana ekologis bukan hanya persoalan lingkungan. Ia adalah persoalan keadilan sosial. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan sering kali berbicara tentang pertumbuhan ekonomi tetapi jarang berbicara tentang keberlanjutan lingkungan.
Hutan dibabat atas nama investasi, lahan gambut dikeringkan atas nama ekspor, pulau reklamasi dibangun atas nama pariwisata, dan pertambangan diperluas atas nama penyediaan lapangan kerja. Ketika terjadi banjir besar, pejabat berbicara tentang bantuan logistik, tetapi tidak pernah mempertanyakan siapa yang mengonsep pembangunan yang menyebabkan banjir.
Masalah terbesar dalam menghadapi krisis iklim adalah sikap reaktif. Pemerintah lebih sering memperbesar kapasitas tanggap bencana ketimbang memperkuat upaya pencegahan bencana. Logikanya sederhana: seolah kerusakan lingkungan adalah sesuatu yang tidak bisa dicegah, hanya bisa ditangani setelah terjadi. Padahal bencana ekologis di era krisis iklim bukanlah fenomena alami semata; banyak di antaranya merupakan konsekuensi dari buruknya tata kelola lingkungan dan pembangunan yang tidak memikirkan daya dukung alam.
Indonesia adalah negara dengan risiko bencana tertinggi kedua di dunia bukan karena kita "ditakdirkan" rentan, tetapi karena kita tidak mengelola alam dengan baik. Kota terus berkembang tanpa ruang terbuka hijau, sungai dipersempit demi proyek bangunan, hutan diganti dengan perkebunan monokultur, dan pesisir diubah menjadi area komersial. Semua dilakukan atas nama pertumbuhan ekonomi, seolah-olah pembangunan hanya bisa terjadi jika ekosistem dikorbankan.
Sudah saatnya kita mengubah cara pandang: kelestarian lingkungan bukan hambatan pembangunan, tetapi syarat utama keberlanjutan pembangunan. Negara-negara maju sudah mulai menyadari hal ini dan bergerak ke arah ekonomi hijau energi terbarukan, kendaraan listrik, industri nol karbon, hingga urban planning berwawasan ekologi. Jika Indonesia terlalu lama bertahan pada pola pembangunan lama, kita tidak hanya menjadi korban iklim, tetapi juga tertinggal dalam persaingan global.
Namun tantangan besar muncul dari ketidakseriusan regulasi dan penegakan hukum. Undang-undang lingkungan ada, tetapi implementasinya lemah. Banyak pelanggaran perusahaan tidak berujung pada sanksi tegas.
Bahkan ketika terjadi bencana ekologis akibat korporasi, masyarakat hanya menerima imbauan untuk waspada, sementara akar persoalannya tidak pernah diselesaikan. Ketika alam rusak, masyarakat diminta “bersabar”, tetapi siapa yang meminta pertanggungjawaban pada pelaku kerusakan?
Solusi krisis iklim bukan hanya teknologi, melainkan perubahan paradigma. Ada tiga langkah mendesak yang seharusnya menjadi prioritas:
Pertama, Integrasikan keberlanjutan dalam semua kebijakan pembangunan. Setiap proyek ekonomi harus diuji dampak lingkungannya secara ketat dan transparan tidak hanya formalitas administratif.
Kedua, Perkuat penegakan hukum lingkungan. Pelanggaran ekologi harus diperlakukan sebagai kejahatan serius, bukan sekadar pelanggaran administratif yang selesai dengan denda.
Ketiga, Libatkan masyarakat dalam tata kelola lingkungan. Komunitas lokal yang hidup bersama alam harus menjadi aktor utama dalam perencanaan konservasi — bukan sekadar objek kebijakan.
Keempat, Yang juga tidak kalah penting adalah edukasi. Kesadaran lingkungan tidak akan tumbuh dari slogan, tetapi dari pengetahuan. Sekolah, kampus, media, dan lembaga pemerintah harus menempatkan isu lingkungan sebagai prioritas bukan musiman, bukan hanya diperingati ketika Hari Bumi.
Krisis iklim bukan sesuatu yang jauh, bukan sesuatu yang menunggu masa depan. Ia sedang terjadi. Tetapi kita masih punya pilihan: menjadi generasi yang menyesal karena diam, atau menjadi generasi yang bertindak karena peduli. Alam tidak meminta kita menyelamatkannya. Alam akan bertahan tanpa manusia. Yang dipertaruhkan adalah masa depan kita sendiri.
Jika bumi sudah memberikan begitu banyak peringatan, lalu apa alasan kita untuk tetap menutup telinga? Saatnya berhenti berbicara seolah krisis iklim adalah ancaman masa depan ini adalah pertarungan masa kini. Dan kita sedang kalah, jika terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
***
*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |