TIMES MALANG, MALANG – Indonesia menyebut dirinya negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan sosial, dan persamaan hak. Undang-undang, kebijakan, dan pidato pejabat penuh narasi kesetaraan, termasuk untuk penyandang disabilitas. Namun realitasnya berbicara lain: inklusi sosial di Indonesia masih lebih sering berhenti sebagai slogan, bukan budaya.
Kesetaraan akses untuk penyandang disabilitas belum menjadi sistem yang kokoh, melainkan proyek seremonial yang sesekali diangkat untuk kepentingan citra, bukan untuk keberpihakan substansial.
Padahal jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai jutaan, dan itu bukan angka kecil. Mereka hidup di tengah masyarakat, berkarya, berpendidikan, bekerja, dan berkontribusi. Tetapi lingkungan sosial, fasilitas publik, kebijakan pendidikan, layanan kesehatan, dunia kerja, dan bahkan pola pikir masyarakat tidak selalu memberikan ruang yang setara.
Ketika masyarakat bicara tentang “orang berkebutuhan khusus” dengan nada penuh belas kasihan, di situ sebenarnya masalah bermula: karena disabilitas masih dipandang sebagai objek belas kasihan, bukan subjek kesetaraan.
Inklusi bukan soal simpati melainkan soal akses. Penyandang disabilitas tidak membutuhkan kasihan, mereka membutuhkan peluang. Mereka tidak menunggu dikasihani, tetapi menunggu dihargai dan difasilitasi.
Ruang publik harus dapat diakses semua orang, sekolah harus dapat diakses semua anak, pekerjaan harus dapat diakses semua tenaga kerja, dan layanan digital harus dapat diakses semua pengguna tanpa kecuali. Ketika akses masih terhalang, kesetaraan hanyalah kata tanpa makna.
Salah satu persoalan terbesar adalah pola pikir masyarakat. Banyak orang masih berpikir bahwa penyandang disabilitas “harus menyesuaikan diri” dengan lingkungan, bukan sebaliknya. Kita lupa bahwa lingkungan yang inklusif adalah lingkungan yang mampu beradaptasi dengan keberagaman manusia.
Jalanan tanpa guiding block, gedung tanpa lift ramah kursi roda, sekolah tanpa guru pendamping, situs web tanpa fitur aksesibilitas, sistem rekrutmen yang mengabaikan pelamar disabilitas semuanya adalah bentuk diskriminasi struktural, meski sering dianggap “biasa”.
Dunia kerja menjadi contoh paling nyata. Banyak perusahaan memajang slogan “equal opportunity” tetapi menutup pintu bagi pelamar disabilitas hanya karena perbedaan fisik atau sensorik tanpa menilai kapasitas, kompetensi, dan pengalaman.
Ketika disabilitas dipandang sebagai kelemahan, bukan keanekaragaman, maka pelaku ekonomi sesungguhnya sedang kehilangan talenta. Banyak penyandang disabilitas memiliki kecerdasan luar biasa, etos kerja tinggi, dan loyalitas kuat karena mereka terbiasa berjuang dalam keterbatasan. Ironis jika keberanian bertahan hidup tidak dihormati hanya karena tubuhnya berbeda.
Pendidikan pun menghadapi persoalan serupa. Anak-anak penyandang disabilitas masih sering terpinggirkan: tidak diterima di sekolah umum, atau diterima tanpa dukungan fasilitas dan guru pendamping. Bahkan ketika sekolah inklusi sudah dibentuk, banyak yang sekadar mengganti nama tanpa melakukan transformasi metode belajar. Akhirnya anak disabilitas bukan “diinklusi”, tetapi “dititipkan”. Padahal pendidikan adalah kunci membentuk generasi yang mandiri dan percaya diri bukan generasi yang merasa menjadi beban sosial.
Isu aksesibilitas digital juga semakin penting. Di era transformasi digital, layanan publik bermigrasi ke aplikasi dan sistem daring. Namun sebagian besar layanan daring di Indonesia belum memiliki fitur aksesibilitas seperti pembaca layar, navigasi keyboard, atau subtitle. Pandemi mengajarkan kita bahwa kehidupan kini sangat bergantung pada teknologi dan jika teknologi tidak inklusif, maka ketimpangan akan semakin lebar.
Masalahnya bukan karena negara tidak punya regulasi. Indonesia memiliki UU Penyandang Disabilitas dan berbagai aturan turunan. Namun tantangannya adalah implementasi. Tidak cukup hanya mengatur dalam peraturan dibutuhkan sistem pengawasan, evaluasi, dan sanksi tegas.
Ketika gedung pemerintah tidak ramah disabilitas, siapa yang bertanggung jawab? Ketika sekolah menolak siswa disabilitas, apa konsekuensinya? Ketika perusahaan menutup kesempatan kerja bagi disabilitas, mekanisme apa yang menegakkan keadilan?
Selain pemerintah dan sektor swasta, masyarakat juga harus membenahi cara pandangnya. Inklusi tidak akan pernah berhasil jika masyarakat masih menganggap penyandang disabilitas sebagai “pihak yang berbeda”.
Kita harus mengubah prinsip dasar: disabilitas bukan kekurangan, disabilitas adalah bagian dari keragaman manusia. Tidak ada manusia yang sama itu bukan alasan untuk memisahkan, tetapi alasan untuk saling melengkapi.
Tiga langkah mendesak untuk mendorong kesetaraan akses: Pertama, Verifikasi ketat penerapan kebijakan inklusi pada fasilitas publik dan layanan digital. Tidak cukup membangun gedung megah, bangunan harus dapat digunakan semua orang.
Kedua, Perluasan akses pendidikan inklusi berbasis kurikulum adaptif. Anak disabilitas tidak butuh “kelas khusus” mereka butuh pendidikan berkualitas dengan dukungan memadai.
Ketiga, Pembukaan kesempatan kerja yang adil dengan penyesuaian kebutuhan kerja. Lapangan kerja tidak boleh mengevaluasi tubuh, tapi kompetensi.
Inklusi bukan proyek kemanusiaan, ia adalah cermin peradaban. Bangsa tidak bisa disebut maju hanya karena infrastrukturnya megah, melainkan ketika setiap warganya, tanpa kecuali, dapat hidup dengan martabat, akses, dan kesempatan yang sama.
Penyandang disabilitas bukan “beban negara” mereka bagian dari negara. Bukan objek pertolongan tetapi subjek pembangunan. Dan bangsa yang hebat adalah bangsa yang memastikan tidak seorang pun tertinggal.
Karena sejatinya, kesetaraan bukan diberikan kepada mereka yang “normal” kesetaraan harus diberikan kepada semua manusia. Jika masih ada yang dikecualikan, itu berarti inklusi belum benar-benar lahir.
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |