https://malang.times.co.id/
Opini

Revolusi Teknologi dan Ancaman Tanpa Regulasi

Senin, 08 Desember 2025 - 22:01
Revolusi Teknologi dan Ancaman Tanpa Regulasi Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Perkembangan kecerdasan buatan (AI) sedang melaju tanpa rem. Dalam satu dekade terakhir, manusia melihat teknologi bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi sistem yang dapat mengambil keputusan sendiri, memprediksi perilaku pengguna, memahami bahasa, bahkan menciptakan karya intelektual. 

Kita berada di era yang oleh sebagian pakar disebut sebagai “lompatan evolusi digital terbesar dalam sejarah manusia”. Namun paradoksnya, semakin canggih teknologi dikembangkan, semakin kabur tanggung jawab moral, hukum, dan sosial di baliknya. AI menjanjikan masa depan tetapi tanpa regulasi yang tegas, justru berisiko membentuk masa depan yang tidak kita pilih.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa AI telah menyentuh sendi kehidupan manusia: ekonomi, keamanan, kesehatan, pendidikan, industri kreatif, hingga politik. Di sektor bisnis, AI meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi. Dalam dunia kesehatan, AI membantu diagnosis penyakit lebih cepat. 

Bahkan dalam pekerjaan sehari-hari, algoritma menentukan apa yang kita lihat di media sosial, apa yang kita beli, dan cara kita berpikir. Efisiensi itu mengagumkan, namun pertanyaan pentingnya adalah: siapa yang mengontrol sistem yang mengontrol kehidupan kita?

Di banyak negara, diskusi tentang regulasi AI semakin keras. Negara-negara Eropa mulai membahas aturan ketat untuk mengendalikan teknologi “AI paling kuat”. Tetapi pada saat yang sama, kelompok industri teknologi mendorong agar regulasi dibuat seminim mungkin demi kebebasan inovasi. Dua kubu ini sama-sama punya alasan kuat. 

Saat perusahaan teknologi menyatakan “regulasi akan mematikan inovasi”, pemerintah merespons “kebebasan absolut justru membuka ruang penyalahgunaan dan monopoli”. Di tengah tarik-menarik kepentingan ini, yang sering tidak diberi tempat suara adalah masyarakat yang justru akan menjadi pihak paling terdampak.

Kekhawatiran terbesar terhadap AI bukan sekadar “teknologi mengambil lapangan pekerjaan”. Isu itu memang valid otomatisasi besar-besaran sudah menggeser profesi manual, dan ke depan profesi berbasis analisis pun bisa terancam. Yang lebih mengkhawatirkan adalah aspek kontrol, bias data, disinformasi, privasi, dan kesenjangan digital. 

Ketika algoritma dilatih dari data yang bias, maka keputusan AI pun cenderung diskriminatif. Ketika platform digital menggunakan AI untuk memetakan perilaku manusia, kehidupan pribadi bukan lagi “privat”. Bahkan, AI kini mampu menghasilkan konten palsu yang hampir mustahil dibedakan dari yang asli — membuat dunia informasi semakin rawan manipulasi politik dan sosial.

Dari sinilah urgensi regulasi lahir. AI bukan sekadar isu teknologi, tetapi isu kemanusiaan, etika, dan kedaulatan. Negara yang tidak memiliki regulasi AI pada akhirnya akan diperintah oleh korporasi teknologi global. Mereka bukan pemerintah, bukan lembaga demokratis, tetapi perusahaan yang bekerja berdasarkan profit. 

Bayangkan generasi muda Indonesia tumbuh di dunia digital yang ditentukan algoritma perusahaan negara lain dari cara mendapatkan informasi, menentukan cita-cita, hingga memandang identitas dirinya. Kedaulatan tidak lagi hanya soal batas negara, tetapi soal siapa yang mengendalikan ekosistem digital warganya.

Sayangnya, di Indonesia perdebatan tentang AI masih berada di permukaan. Pembahasan masih berkisar pada efisiensi bisnis dan peluang industri, tetapi minim analisis mendalam tentang dampak sosial, etis, dan hukum. 

Pemerintah memang mendorong pembangunan ekonomi digital, tetapi belum terlihat jelas kerangka hukum untuk memastikan bahwa teknologi yang diadopsi akan aman, adil, dan bertanggung jawab. Industri memuji percepatan adopsi AI, namun minim komitmen terhadap transparansi dan perlindungan konsumen. Akademisi mengingatkan risiko tetapi sering tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Regulasi AI bukan berarti menolak inovasi justru untuk memastikan inovasi tumbuh tanpa mengorbankan aspek kemanusiaan. Ada tiga prinsip penting yang seharusnya menjadi dasar:

Pertama, AI tidak boleh menggantikan keputusan yang menyangkut martabat manusia. Misalnya rekrutmen kerja, akses kesehatan, hukuman pidana, atau bantuan sosial tidak boleh 100% ditentukan algoritma.

Kedua, AI harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika keputusan AI berdampak merugikan, masyarakat berhak mengetahui logika, data, dan pihak yang bertanggung jawab di baliknya.

Kedua, Distribusi manfaat AI harus adil. AI tidak boleh memperlebar kesenjangan sosial dan digital antara kota dan desa, antara sekolah elite dan sekolah pinggiran, antara negara maju dan negara berkembang.

Yang juga tak kalah penting adalah literasi digital. Regulasi tanpa literasi hanya akan menyelamatkan struktur, bukan warganya. Setiap warga tidak hanya perlu bisa menggunakan teknologi, tetapi juga memahami risikonya: privasi data, manipulasi informasi, rekam jejak digital, dan jejak perilaku daring. Generasi muda harus dipersiapkan bukan hanya menjadi pengguna AI, tetapi pencipta dan pengkritiknya.

Di tengah euforia revolusi teknologi, masyarakat perlu sadar bahwa AI bukan masa depan yang datang tanpa syarat. AI adalah masa depan yang harus diperjuangkan agar manusia tetap menjadi pusat peradaban bukan sekadar pelengkap algoritma. Pertanyaannya bukan “apakah kita siap menerima AI?”, tetapi “apakah kita siap mengatur AI sebelum AI mengatur kita?”

Jika bangsa ini ingin maju dalam ekonomi digital, kuncinya bukan hanya mempercepat adopsi teknologi tetapi memastikan bahwa perkembangan teknologi berjalan seiring dengan perlindungan nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan kedaulatan nasional. 

Tanpa itu, revolusi digital hanya akan menjadi revolusi untuk yang berkuasa, bukan untuk rakyat. Karena masa depan bukan hanya harus cerdas ia juga harus manusiawi.

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.