https://malang.times.co.id/
Opini

Rakyat Aceh (Bukan) Ingin Merdeka

Sabtu, 27 Desember 2025 - 17:15
Rakyat Aceh (Bukan) Ingin Merdeka Moh Ramli, Penulis Buku Teladan dan Nasihat Islami Paus Fransiskus, Jurnalis dan Lulusan Magister Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta.

TIMES MALANG, JAKARTA – Setelah dilanda bencana banjir bandang dan longsor, dan berhari-hari tidak ada solusi konkret dari pemerintah, rakyat Aceh memilih mengibarkan bendera putih. Itu sebagai isyarat darurat dan tanda bahwa mereka membutuhkan bantuan segera. Ini bukan tanda menyerah, melainkan jeritan sunyi.

Warga lainnya juga mengibarkan bendera Bulan Bintang sebagai protes. Bendera ini sebagai simbol kekecewaan dan desakan agar pemerintah lebih serius menangani dampak bencana. Mereka menuntut akses logistik dan bantuan yang lebih baik untuk daerah terdampak. Sebab, berhari-hari pascabencana, nasib mereka masih tak tentu arah di pengungsian.

Sayangnya, protes rakyat yang mengibarkan bendera Bulan Bintang di Serambi Mekkah tersebut mendapatkan tindakan militeristik dari aparat negara yang tidak paham motif mereka. Pemerintah seperti tidak mampu menafsirkan maksud rakyat Aceh yang melakukan hal tersebut. 

Padahal, yang didesak mereka adalah Istana segera menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional, sehingga segala anggaran negara bisa dipusatkan dan semua bantuan dari pihak internasional bisa segera menyasar kepada korban.

Setelah itu, rakyat Aceh ingin juga ada keadilan bagi mereka yang melakukan deforestasi. Sehingga terbuka siapa dalang dari semua kerusakan alam yang terjadi di sana. Pengusaha ilegal? Pengusaha yang berkongkalikong dengan pejabat negara? Atau ada elite Jakarta yang ternyata menjadi biang kerok dari bencana tersebut? Hukum harus ditegakkan dengan sebenarnya pada mereka yang telah meluluhlantakkan kehidupan anak bangsa di Provinsi yang diberi kewenangan otonomi khusus tersebut.

Saat ini, publik memang membingungkan dan merasa aneh, mengapa Kepala Negara begitu beratnya menaikkan status bencana ini pada level bencana nasional. Apa yang hendak disembunyikan? Padahal korban nyawa sudah ribuan dan kerusakan sudah tak lagi mampu diungkapkan. Mestinya kemanusiaan harus diletakkan dalam kedudukan yang lebih prioritas dari apapun.

Jika gengsi politik lebih didahulukan dengan mengatakan bahwa "bangsa kita kuat, utuh, dan bangsa kita mampu mengatasi semua cobaan yang kita hadapi", hemat saya itu adalah pernyataan kesombongan yang tidak seharusnya mental tersebut melekat pada seorang pemimpin negara ini.

Pengibaran bendera Bulan Bintang yang dilakukan oleh rakyat Aceh bukan simbol mereka ingin merdeka dengan arti melepaskan diri dari Kedaulatan Indonesia. Mereka ingin merdeka bahwa negara ini hadir sepenuhnya dan level "priority above all else" saat mereka dalam keterpurukan seperti sekarang ini.

Atau apa dikatakan oleh sosiolog Jannus TH Siahaan (2025), rakyat Aceh tidak sedang berhasrat untuk berperang kembali. Mereka hanya ingin negara hadir tanpa banyak alasan birokratis bertele-tele. Sesederhana itu saja.

Elite Jakarta pun jangan mempertanyakan kecintaan mereka pada negeri ini, sejarah telah mencatat, sumbangsih mereka dalam kemerdekaan Ibu Pertiwi adalah tidak kecil. Nama besar Garuda Indonesia mungkin tidak akan bergaung tanpa andil rakyat Aceh yang memberikan sumbangan emas untuk RI dalam membeli pesawat pada 1948.

Pun, tanpa kontribusi para pahlawan dari Aceh seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Teuku Nyak Arif dan para manusia heroik lainnya, niscaya tak akan ada negara bernama Indonesia secara utuh seperti sekarang ini.

Hal ini mengindikasikan bahwa secara DNA rakyat Aceh begitu mencintai negeri ini. Yang diinginkan mereka hanya satu: kehadiran pemerintah untuk menjadi bagian dari jiwa dan raga mereka. Berikan keadilan yang nafaskan hukum sejati.

Kecurigaan bahwa mereka ingin "bercerai" dan melakukan pemberontakan adalah hal yang tidak mendasar, kalau tidak mau disebut sesat pikir. Apalagi jika pemerintah memutuskan melakukan tindakan represif terhadap mereka yang mengibarkan bendera Bulan Bintang sebagai bentuk protes atas kekecewaannya tersebut.

Masyarakat Aceh dikenal karena nilai-nilai kesetiaan dan keteguhan iman mereka, yang berakar kuat dalam ajaran agama dan budaya lokal. Kesepakatan Helsinki yang ditandatangani di Finlandia pada 15 Agustus 2005 juga pasti dipegang dengan penuh konsisten oleh mereka sampai kapanpun. 

Yang dibutuhkan sekarang adalah, pemimpin  menurunkan ego politiknya, mendengarkan isi hati mereka dengan menghadirkan rasa cinta yang sama, dan memenuhi tuntutan kemanusiaan tersebut. 

Pemerintah hadir bukan dengan janji dan ucapan berbusa-busa. Satu kebijakan yang terukur dan sesuai nurani rakyat adalah lebih baik dari seribu pidato di atas podium. Jika Kepala Negara seorang negarawan, tentu ini bukan hal yang rumit, bukan?

***

*) Oleh : Moh Ramli, Penulis Buku Teladan dan Nasihat Islami Paus Fransiskus, Jurnalis dan Lulusan Magister Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.