https://malang.times.co.id/
Opini

Guru Swasta: Pilar Sunyi yang Terus Diuji Zaman

Sabtu, 27 Desember 2025 - 18:07
Guru Swasta: Pilar Sunyi yang Terus Diuji Zaman Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Di ruang-ruang kelas yang dindingnya mulai kusam, di balik papan tulis yang kapurnya sering habis sebelum jam pelajaran usai, ada satu sosok yang tetap setia berdiri: guru swasta. Mereka hadir bukan sebagai headline kebijakan, bukan pula sebagai tokoh utama dalam pidato-pidato kenegaraan tentang kemajuan pendidikan. Mereka adalah pilar sunyi menopang bangunan besar pendidikan nasional, tetapi jarang disebut ketika bangunan itu dipuji.

Fenomena guru swasta di Indonesia bukan sekadar soal status kepegawaian. Ia adalah cermin retak dari wajah keadilan pendidikan kita. Di satu sisi, negara lantang berbicara tentang merdeka belajar, peningkatan kualitas SDM, dan bonus demografi. Namun di sisi lain, jutaan guru swasta hidup dalam ketidakpastian yang nyaris diwariskan dari generasi ke generasi.

Ironinya, guru swasta seringkali memikul beban yang sama bahkan lebih berat dibanding guru negeri. Mereka mengajar dengan jam yang panjang, menangani administrasi yang menumpuk, menjadi konselor bagi murid, bahkan kadang menjadi orang tua kedua. Tetapi ketika bicara soal kesejahteraan, jarak antara pengabdian dan penghargaan menganga lebar, seperti jurang yang dibiarkan tanpa jembatan.

Upah guru swasta di banyak daerah masih jauh dari kata layak. Ada yang digaji ratusan ribu rupiah per bulan angka yang bahkan kalah dari ongkos hidup paling minimal. Dalam kondisi seperti ini, idealisme guru diuji setiap hari: antara panggilan nurani dan kebutuhan perut. 

Tidak sedikit yang akhirnya harus mengajar sambil berdagang, menjadi ojek daring, atau pekerjaan lain demi bertahan hidup. Guru swasta dipaksa menjadi manusia dengan banyak wajah, karena satu wajah saja tidak cukup untuk menyambung hidup.

Lebih menyedihkan lagi, kultur sosial kita kerap menormalisasi ketimpangan ini. Guru swasta dianggap “ikhlas”, “pengabdian”, atau “ladang pahala”. Kata-kata itu terdengar indah, tetapi sering digunakan sebagai selimut untuk menutupi kegagalan sistem. 

Pengabdian seharusnya lahir dari pilihan sadar, bukan dari keterpaksaan struktural. Ketika ketidakadilan dibungkus dengan narasi keikhlasan, maka yang terjadi bukan kemuliaan, melainkan eksploitasi yang diberi nama lain.

Dari sisi kebijakan, guru swasta juga sering terpinggirkan. Akses terhadap sertifikasi, tunjangan, dan program peningkatan kompetensi tidak selalu setara. Birokrasi yang berlapis-lapis membuat banyak guru swasta tercecer di tengah jalan. Mereka diminta profesional, inovatif, adaptif terhadap teknologi, tetapi negara sering lupa menyediakan ekosistem yang adil untuk tumbuh.

Padahal, kontribusi guru swasta terhadap pendidikan nasional sangat signifikan. Di banyak daerah, terutama wilayah pinggiran dan pedesaan, sekolah swasta justru menjadi tulang punggung layanan pendidikan. Tanpa guru swasta, angka partisipasi sekolah bisa runtuh seperti bangunan tanpa fondasi. Namun, kontribusi besar ini belum sepenuhnya berbanding lurus dengan keberpihakan kebijakan.

Fenomena ini menimbulkan paradoks berbahaya: kita ingin pendidikan maju, tetapi mengabaikan kesejahteraan aktor utamanya. Kita berharap lahir generasi kritis dan kreatif, tetapi membiarkan para pendidiknya hidup dalam kecemasan ekonomi. Pendidikan akhirnya berjalan dengan logika pengorbanan sepihak, bukan keadilan timbal balik.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, dampaknya tidak hanya dirasakan guru swasta, tetapi juga kualitas pendidikan secara keseluruhan. Guru yang terus-menerus berada dalam tekanan ekonomi sulit diminta fokus penuh pada pengembangan diri dan inovasi pembelajaran. Bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena energi mereka habis untuk bertahan hidup. Di titik ini, negara sesungguhnya sedang menabung masalah jangka panjang.

Sudah saatnya kita berhenti memandang guru swasta sebagai aktor kelas dua dalam sistem pendidikan. Mereka bukan pelengkap, bukan alternatif darurat, melainkan bagian utuh dari ekosistem pendidikan nasional. 

Kebijakan harus bergerak dari sekadar pengakuan simbolik menuju keberpihakan nyata: standar kesejahteraan minimum, akses setara terhadap pengembangan profesional, serta regulasi yang melindungi martabat guru.

Lebih dari itu, masyarakat akademik dan publik juga perlu mengubah cara pandang. Menghormati guru swasta bukan dengan memuji keikhlasannya semata, tetapi dengan memperjuangkan keadilannya. Sebab pendidikan yang bermartabat hanya bisa lahir dari pendidik yang dimuliakan, bukan yang terus diminta berkorban tanpa batas.

Guru swasta telah terlalu lama menjadi pahlawan tanpa panggung. Mungkin kini saatnya negara berhenti sekadar bertepuk tangan, dan mulai benar-benar naik ke panggung tanggung jawab. Karena masa depan pendidikan tidak bisa dibangun di atas kesunyian dan ketidakadilan yang dibiarkan berlarut-larut.

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.