https://malang.times.co.id/
Opini

Gotong Royong Tanpa Kepedulian

Sabtu, 27 Desember 2025 - 19:01
Gotong Royong Tanpa Kepedulian Ferry Hamid, Peraih Anugerah Tokoh Pemuda Inspiratif ATI 2024 TIMES Indonesia.

TIMES MALANG, MALANG – Kita hidup di zaman yang paradoksal. Jalanan padat, grup WhatsApp tak pernah tidur, lini masa penuh suara namun rasa kebersamaan justru kian menipis. Masyarakat hari ini terlihat ramai, tetapi sebenarnya kesepian. Kita hadir secara fisik, namun absen secara empatik. Bertemu, tapi tak sungguh menyapa. Bersama, tapi tak benar-benar peduli.

Fenomena ini bukan sekadar perubahan gaya hidup, melainkan gejala sosial yang pelan-pelan menggerogoti sendi kemasyarakatan. Dulu, gotong royong bukan jargon; ia adalah napas sehari-hari. Ketika ada hajatan, orang datang membawa tenaga. 

Ketika ada musibah, tetangga hadir tanpa diminta. Kini, empati sering kali cukup diwakili oleh emoji tangan terlipat dan ucapan “turut berduka” yang terkirim cepat, lalu hilang di antara ratusan pesan lain.

Media sosial, yang digadang-gadang sebagai jembatan, justru sering menjadi tembok. Kita sibuk membangun citra, lupa membangun rasa. Ukuran kepedulian direduksi menjadi seberapa cepat kita bereaksi, bukan seberapa dalam kita terlibat. Solidaritas berubah menjadi tontonan; penderitaan orang lain menjadi konten yang bisa digeser ke atas atau ke bawah, lalu dilupakan.

Di ruang publik, perubahan ini terasa nyata. Warga lebih mudah berdebat di kolom komentar daripada duduk bermusyawarah di balai desa. Isu-isu lokal kalah gaung oleh drama viral yang jaraknya ribuan kilometer. Yang dekat terasa jauh, yang jauh terasa dekat. Akibatnya, masalah sosial di sekitar kita kemiskinan, putus sekolah, kekerasan domestik sering dibiarkan membusuk karena dianggap bukan urusan pribadi.

Lebih ironis lagi, masyarakat kita kian gemar menghakimi, namun miskin memahami. Sedikit salah ucap, sedikit beda pilihan, langsung dicap dan disingkirkan. Ruang dialog menyempit, digantikan ruang vonis. Padahal, masyarakat yang sehat bukanlah yang seragam, melainkan yang mampu merawat perbedaan tanpa saling melukai.

Fenomena ini memperlihatkan krisis kepercayaan yang akut. Kita curiga pada tetangga, waspada pada orang asing, namun mudah percaya pada informasi yang tak jelas sumbernya. Hoaks lebih cepat menyebar daripada klarifikasi, karena ia memelihara emosi, bukan akal sehat. Di sinilah masyarakat diuji: apakah kita masih mau berpikir, atau cukup merasa?

Di tingkat akar rumput, perubahan ini berdampak serius. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang minim teladan sosial. Mereka melihat orang dewasa sibuk dengan layar, bukan dengan percakapan. Nilai kebersamaan diajarkan lewat slogan, bukan praktik. Tak heran jika empati menjadi barang langka; ia tak diwariskan, hanya dihafalkan.

Namun menyalahkan teknologi semata adalah jalan pintas. Masalah utamanya bukan pada alat, melainkan pada cara kita menggunakannya. Teknologi seharusnya memperluas jangkauan kepedulian, bukan menyempitkannya. Ia seharusnya menjadi alat gotong royong baru, bukan panggung narsisme massal.

Masyarakat perlu kembali belajar hadir. Hadir secara utuh, bukan sekadar terhubung. Hadir untuk mendengar, bukan hanya menunggu giliran bicara. Hadir untuk membantu, bukan sekadar mengomentari. Kesalehan sosial tidak lahir dari keramaian, tetapi dari keberanian untuk terlibat.

Kita juga perlu merehabilitasi ruang-ruang kebersamaan. Dari musyawarah warga, kerja bakti, hingga diskusi komunitas yang sehat. Ruang-ruang ini bukan nostalgia masa lalu, melainkan kebutuhan masa depan. Tanpa ruang bersama, masyarakat akan terfragmentasi menjadi individu-individu yang saling asing.

Masyarakat yang kuat bukanlah yang paling bising, melainkan yang paling peduli. Bukan yang paling cepat bereaksi, tetapi yang paling konsisten bertindak. Jika hari ini kita merasa dunia semakin dingin, mungkin bukan karena kurangnya teknologi, melainkan karena kita lupa menghangatkan satu sama lain.

Sebab sejatinya, masyarakat tidak runtuh karena perbedaan, tetapi karena kehilangan empati. Dan ketika empati pergi, yang tersisa hanyalah keramaian yang sunyi sebuah ironi yang pelan-pelan kita anggap biasa.

***

*) Oleh : Ferry Hamid, Peraih Anugerah Tokoh Pemuda Inspiratif ATI 2024 TIMES Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.