TIMES MALANG, MALANG – Industri kreatif hari ini menjelma panggung raksasa. Lampunya terang, sorotnya tajam, dan penontonnya berjuta. Anak muda naik ke atasnya dengan penuh percaya diri, membawa kamera, gawai, ide-ide segar, dan keberanian untuk berbeda.
Di ruang ini, kreativitas tidak lagi menunggu legitimasi institusi; ia lahir di kamar tidur, kafe pinggir jalan, hingga sudut kota yang tak tercatat di peta wisata. Dunia tampak terbuka, peluang seolah tersedia bagi siapa saja yang berani tampil.
Namun di balik gemerlap itu, industri kreatif anak muda menyimpan paradoks yang kian kentara: ia tumbuh pesat, tetapi rapuh; menjanjikan kebebasan, tetapi sering memenjarakan; memuja orisinalitas, namun hidup dari algoritma yang seragam.
Hari ini, kreativitas kerap direduksi menjadi performa. Bukan lagi soal gagasan yang matang, melainkan soal seberapa cepat viral. Nilai karya tidak diukur dari kedalaman makna, tetapi dari angka tayang, likes, dan engagement.
Algoritma menjadi kurator baru yang dingin dan tak punya nurani. Ia tidak bertanya apakah sebuah karya jujur, kritis, atau beretika; ia hanya peduli apakah orang berhenti menggulir layar.
Dalam situasi ini, anak muda sering berada di persimpangan sulit. Di satu sisi, mereka didorong untuk “menjadi diri sendiri”. Di sisi lain, sistem justru menghukum keunikan yang tidak sesuai selera pasar.
Maka lahirlah imitasi massal: konten serupa, gaya seragam, dan kreativitas yang dipoles agar ramah algoritma. Dunia kreatif pun berubah menjadi pabrik sensasi, bukan lagi laboratorium gagasan.
Lebih jauh, industri kreatif juga membangun ilusi kemandirian. Anak muda disebut sebagai “bos bagi dirinya sendiri”, pekerja lepas yang bebas menentukan waktu dan arah hidup. Padahal di balik narasi itu, banyak yang bekerja tanpa perlindungan, tanpa kepastian pendapatan, dan tanpa jaminan masa depan. Jam kerja cair, tetapi batas antara hidup dan kerja menguap. Kreativitas menjadi kerja emosional yang melelahkan, sementara sistem tetap menuntut konsistensi tanpa empati.
Ironisnya, kegagalan dalam industri kreatif sering dipersonalisasi. Ketika karya tidak laku, anak muda disuruh “kurang konsisten”, “kurang niat”, atau “kurang adaptif”. Jarang dibahas bahwa ada struktur ekonomi digital yang timpang, di mana platform diuntungkan, sementara kreator berlomba di lintasan yang tidak seimbang. Di sini, kreativitas bukan sekadar soal bakat, tetapi juga soal akses, jaringan, dan modal sosial.
Di sisi lain, tidak bisa dimungkiri bahwa industri kreatif juga menjadi ruang resistensi baru. Banyak anak muda menggunakan medium kreatif untuk menyuarakan isu sosial, lingkungan, identitas, dan ketimpangan.
Musik, film pendek, ilustrasi, hingga konten digital menjadi bahasa perlawanan yang lebih cair dan menjangkau publik luas. Kreativitas, dalam wajah ini, kembali menemukan maknanya sebagai alat pembebasan.
Namun perlawanan ini pun sering berhadapan dengan kooptasi. Kritik yang tajam bisa dijinakkan menjadi estetika. Isu serius dipoles agar “aman untuk brand”. Aktivisme berubah menjadi komoditas, dan keberpihakan diuji oleh kontrak kerja sama. Anak muda kembali dihadapkan pada dilema: bertahan idealis dengan risiko tenggelam, atau berkompromi agar tetap hidup.
Persoalan mendasarnya bukan pada anak mudanya, melainkan pada ekosistem. Industri kreatif kita tumbuh lebih cepat daripada kerangka etik dan perlindungan kerjanya.
Pendidikan kreatif sering menekankan keterampilan teknis, tetapi abai pada kesadaran kritis. Anak muda diajari cara membuat konten, tetapi jarang diajak memahami posisi tawarnya dalam rantai industri.
Akibatnya, banyak yang piawai berkarya, tetapi gagap membaca struktur. Mereka produktif, tetapi mudah dieksploitasi. Mereka kreatif, tetapi kelelahan secara mental. Di titik ini, industri kreatif berisiko menjadi ladang baru ketimpangan, hanya dengan wajah yang lebih trendi.
Maka, yang dibutuhkan bukan sekadar lebih banyak ruang tampil, tetapi ruang tumbuh yang sehat. Industri kreatif perlu ditopang oleh kebijakan yang adil, pendidikan yang kritis, dan solidaritas antarpekerja kreatif. Kreativitas harus dipulihkan sebagai proses berpikir, bukan sekadar hasil yang dijual.
Anak muda perlu diyakinkan bahwa karya tidak harus selalu viral untuk bernilai. Bahwa jeda bukan kegagalan. Bahwa menjaga integritas kreatif adalah bagian dari keberanian. Dan bahwa industri seharusnya melayani manusia, bukan sebaliknya.
Jika tidak, kita hanya akan melahirkan generasi kreator yang sibuk tampil, tetapi kehilangan arah. Penuh ide, namun kelelahan jiwa. Padahal, masa depan industri kreatif bukan terletak pada seberapa cepat ia menghasilkan tren, melainkan pada seberapa dalam ia merawat makna.
***
*) Oleh : Agam Rea Muslivani, S.H., Praktisi Hukum Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |