https://malang.times.co.id/
Opini

Dosen yang Terjebak dalam Birokratisasi Akademik

Sabtu, 27 Desember 2025 - 22:48
Dosen yang Terjebak dalam Birokratisasi Akademik Mahsun Arifandy, Pengurus Ikatan Mahasiswa Raas.

TIMES MALANG, MALANG – Di banyak kampus hari ini, ilmu pengetahuan tidak lagi berjalan sebagai cahaya yang menerangi, melainkan sebagai angka yang dikejar. Ruang akademik berubah menyerupai lorong administrasi: sunyi dari dialog, ramai oleh laporan. 

Dosen yang seharusnya menjadi penuntun nalar dan pembentuk watak perlahan terjerat dalam jaring birokratisasi akademik yang menjadikan publikasi jurnal sebagai tujuan akhir, bukan sebagai alat untuk memajukan ilmu dan kemanusiaan.

Publikasi, khususnya jurnal bereputasi internasional seperti Scopus, memang penting. Ia menjadi etalase keilmuan, penanda bahwa kampus tidak hidup dalam ruang hampa. Namun ketika publikasi diperlakukan sebagai dewa tunggal, ketika angka sitasi lebih dihormati daripada dampak sosial, maka yang lahir bukan akademisi, melainkan pemburu skor intelektual. Kampus pun kehilangan ruhnya sebagai ruang pendidikan.

Tridarma perguruan tinggi sejatinya adalah bangunan utuh: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Namun dalam praktik, bangunan itu kini timpang. Penelitian dipersempit menjadi publikasi, pendidikan direduksi menjadi beban mengajar, dan pengabdian masyarakat kerap hanya menjadi formalitas laporan tahunan. Yang hidup subur hanyalah satu hal: administrasi.

Tidak sedikit dosen yang lebih sibuk menyusun template, mengejar deadline unggah jurnal, dan menyesuaikan format sitasi, ketimbang merancang perkuliahan yang menggugah. Ruang kelas menjadi ruang transit, bukan ruang tumbuh. Mahasiswa datang, duduk, mencatat, lalu pulang tanpa dialog yang mengguncang cara berpikir, tanpa percakapan yang menumbuhkan keberanian intelektual.

Ironisnya, kampus kerap mengeluh tentang mahasiswa yang pasif, miskin nalar kritis, dan minim inovasi. Namun jarang ada keberanian untuk bercermin: bagaimana mungkin mahasiswa tumbuh kritis jika dosennya sendiri terjebak dalam logika kejar target? Bagaimana mungkin lahir pemikir jika proses belajar hanya diarahkan agar cepat selesai dan mudah dinilai?

Birokratisasi akademik bekerja seperti mesin yang halus namun kejam. Ia tidak memaksa dengan kekerasan, tetapi menundukkan dengan insentif dan sanksi. Angka kredit, jenjang jabatan, tunjangan kinerja, hingga akreditasi institusi, semuanya bertumpu pada kuantifikasi. Dalam sistem ini, kualitas menjadi kata yang sering diucapkan, tetapi jarang benar-benar diukur secara substantif.

Akibatnya, muncul fenomena riset yang tercerabut dari realitas. Penelitian dilakukan bukan karena kegelisahan ilmiah atau kebutuhan masyarakat, melainkan karena tuntutan laporan. Topik riset dipilih bukan karena urgensinya, tetapi karena peluang lolos publikasi. Pengabdian masyarakat pun sering jatuh menjadi proyek seremonial: datang, foto, tanda tangan, lalu pulang.

Di titik ini, dosen tidak lagi hadir sebagai pendidik, melainkan sebagai operator sistem akademik. Padahal, pendidikan sejati tidak lahir dari rubrik penilaian, tetapi dari relasi manusiawi antara pengajar dan mahasiswa. Ia tumbuh dari teladan berpikir, keberanian bersikap, dan kejujuran intelektual.

Lebih jauh, fetisisme publikasi juga menciptakan ketimpangan. Dosen di kampus besar dengan akses jurnal, kolaborasi internasional, dan dana riset melimpah tentu lebih diuntungkan. Sementara dosen di daerah, yang bergulat langsung dengan persoalan masyarakat, justru terpinggirkan karena risetnya dianggap “kurang internasional”. Padahal, sering kali justru di sanalah ilmu pengetahuan diuji relevansinya.

Jika kondisi ini dibiarkan, kampus berisiko menjelma menjadi menara gading yang sibuk mengagumi bayangannya sendiri. Ilmu tumbuh ke atas, tetapi tercerabut dari akar sosial. Akademisi menjadi fasih berbicara di forum internasional, namun gagap membaca persoalan di sekitarnya.

Maka, yang perlu ditata ulang bukan semata sistem penilaian, tetapi orientasi akademik itu sendiri. Publikasi harus dikembalikan ke makna asalnya: sebagai sarana berbagi pengetahuan, bukan alat legitimasi semata. 

Pendidikan harus ditempatkan kembali sebagai jantung perguruan tinggi, bukan beban administratif. Dan pengabdian masyarakat harus dipahami sebagai ruang pembelajaran timbal balik, bukan sekadar kewajiban laporan.

Dosen sejatinya adalah pendidik yang meneladankan cara berpikir, bukan sekadar produsen artikel. Ia adalah peneliti yang gelisah terhadap persoalan zaman, bukan sekadar pengisi indeks. Ia adalah warga intelektual yang berpihak pada kemanusiaan, bukan hanya pada sistem.

Jika kampus ingin melahirkan generasi unggul dan berdaya saing, maka keberanian untuk mengoreksi arah harus segera diambil. Sebab, bangsa ini tidak hanya membutuhkan akademisi yang produktif secara angka, tetapi pendidik yang hidup dalam nurani. Dan tanpa itu, publikasi sebanyak apa pun hanyalah tumpukan kertas yang sunyi dari makna.

***

*) Oleh : Mahsun Arifandy, Pengurus Ikatan Mahasiswa Raas.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.