TIMES MALANG, PONTIANAK – Lebaran Ketupat merupakan salah satu tradisi unik yang telah lama menjadi bagian dari budaya Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Tradisi ini tidak sekadar perayaan makan ketupat setelah Idulfitri, tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis dan sejarah panjang yang berasal dari masa Wali Songo.
Namun, seiring perkembangan zaman, pemaknaan mendalam atas tradisi ini mulai tergerus, sehingga penting untuk kembali menanamkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Sejarah lebaran ketupat erat kaitannya dengan ajaran Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang memperkenalkan ketupat sebagai sarana dakwah Islam. Tradisi ini mengadopsi konsep slametan yang telah berkembang di masyarakat nusantara dan kemudian dijadikan sarana untuk mengajarkan nilai-nilai syukur, sedekah, serta silaturahmi di hari lebaran.
Dengan demikian, Lebaran Ketupat bukan sekadar perayaan tahunan, tetapi juga sebuah warisan Islam Nusantara yang sarat dengan pesan spiritual.
Ketupat sendiri memiliki filosofi yang mendalam. Kata "kupat" dalam bahasa Jawa merupakan akronim dari "ngaku lepat," yang berarti mengakui kesalahan. Tradisi ini menekankan pentingnya meminta maaf, memberi maaf, serta melupakan kesalahan satu sama lain.
Selain itu, bentuk segi empat ketupat melambangkan prinsip "kiblat papat lima pancer," yang mengingatkan bahwa ke mana pun manusia pergi, ia akan selalu kembali kepada Allah.
Anyaman rumit pada ketupat mencerminkan kompleksitas kesalahan manusia, sementara warna putih beras di dalamnya melambangkan kesucian setelah memohon ampun.
Tidak hanya itu, bahan dan pendamping ketupat juga mengandung makna simbolis. Janur yang digunakan untuk membungkus ketupat berasal dari kata dalam bahasa Arab yang berarti "seberkas cahaya terang," melambangkan harapan manusia untuk mendapatkan petunjuk Allah.
Opor ayam yang menjadi hidangan khas Lebaran Ketupat menggunakan santan, yang dalam bahasa Jawa disebut "santen" dan bermakna "pangapunten" atau permohonan maaf. Hal ini semakin menguatkan esensi lebaran ketupat sebagai momentum penyucian diri dan mempererat silaturahmi.
Namun, seiring dengan modernisasi, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lebaran ketupat mulai terlupakan. Perayaan ini semakin dianggap sebagai ritual tahunan tanpa pemahaman mendalam akan makna di baliknya.
Jika hal ini dibiarkan, generasi mendatang hanya akan mengenal lebaran ketupat sebagai perayaan makan ketupat semata, tanpa memahami filosofi dan sejarahnya.
Oleh karena itu, pelestarian tradisi lebaran ketupat tidak hanya sekadar menjalankan perayaannya, tetapi juga menanamkan kembali nilai-nilai filosofisnya dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan budaya di lingkungan keluarga dan sekolah dapat menjadi sarana efektif untuk memperkenalkan makna mendalam dari tradisi ini kepada generasi muda. Selain itu, komunitas dan lembaga budaya dapat berperan dalam mengadakan kegiatan edukatif seputar Lebaran Ketupat agar tetap lestari.
Lebaran ketupat bukan sekadar makanan atau perayaan semata, melainkan bagian dari identitas Islam Nusantara yang penuh makna. Jika nilai-nilainya tetap dijaga, maka tradisi ini akan terus hidup, tidak hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai pengingat akan pentingnya kebersamaan, kebaikan, dan kesucian hati dalam menjalani kehidupan.
Ketika sepotong ketupat disantap, kita diingatkan akan kesalahan yang telah dimaafkan, silaturahmi yang diperkuat, serta berkah dan rezeki yang patut disyukuri. Inilah momen ketika hati terasa lapang, dosa luruh, dan kebersamaan terasa semakin erat.
Semoga generasi mendatang tetap dapat merasakan kehangatan tradisi ini dan memahami bahwa di balik seuntai anyaman janur, tersimpan hikmah yang begitu mendalam.
***
*) Oleh : Ari Yunaldi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Pontianak.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |