TIMES MALANG, JAKARTA – Bicara tentang koperasi, Indonesia sudah mengenal dan tumbuh berkembang semenjak pra-1908, meski tak dikenal formal dengan istilah koperasi di masyarakat, kegiatan gotong-royong, simpan pinjam sudah ada dan dikenal akar rumput, seperti arisan, lumbung desa serta kegiatan tolong-menolong lainnya.
Kemudian hal inilah yang menginspirasi gerakan Budi Utomo tentang pentingnya kesadaran ekonomi rakyat, yang kemudian dilanjutkan oleh Raden Aria Wiraatmaja yang mendirikan koperasi simpan pinjam pertama di Purwokerto dimana hal ini terinspirasi oleh sistem kredit rakyat yang ada di Jerman (Raiffeisen).
Meskipun semasa kolonial koperasi sulit berkembang akibat dibatasi oleh pemerintah kolonial Belanda, namun kemudian pada tahun 1933 pemerintah kolonial Belanda meresmikan ordonansi koperasi meski banyak aturan yang menyulitkan dan terlalu birokratis.
Barulah setelah kemerdekaan, koperasi diakui sebagai pilar penting ekonomi nasional yang di gagas oleh Bung Hatta yang kemudian hari dikenal dengan ‘Bapak Koperasi Indonesia’ dan pada 12 Juli 1947 dilakukan kongres pertama koperasi di Tasikmalaya, cikal bakal ditetapkannya sebagai ‘Hari Koperasi Indonesia’.
Semangat Nasionalisme
Di tengah derasnya arus globalisasi dan kapitalisme, masyarakat Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan sosial yang kompleks dari kemiskinan, pengangguran, hingga ketimpangan ekonomi yang tajam.
Dalam situasi seperti ini, koperasi kembali menjadi sorotan sebagai solusi ekonomi kerakyatan yang berpijak pada nilai gotong royong dan kemandirian. Beberapa waktu yang lalu Presiden Prawobo mengeluarkan maklumat berupa Instruksi Presiden 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.
Dilihat dari nama, koperasi desa ‘Merah Putih’ bukan sekedar nama semata juga bukan sekedar badan usaha kolektif, melainkan sebuah gerakan sosial-ekonomi yang ingin menghidupkan kembali nilai-nilai dasar bangsa seperti solidaritas, keadilan sosial, dan kemandirian.
Disamping itu nama ‘Merah Putih’ membawa pesan nasionalisme bahwa penguatan ekonomi rakyat adalah bagian dari perjuangan mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.
Tentu saja, khalayak akan menunggu seperti apa nanti ‘wajah’ koperasi desa merah putih ini, mengingat masih banyak problem yang terdapat ranah akar rumput seperti kemiskinan struktural maupun kultural menjadi salah satu masalah yang akan menjadi beban jika tidak bisa diatasi dengan baik dan benar.
Secara teoretis, kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang di alami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber dari sistem.
Menurut sosiolog, Selo Soemardjan (1980), kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakt itu sehingga mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka.
Lebih jauh kemiskinan struktural, adalah kemiskinan yang timbul dari adanya korelasi struktur yang timpang, yang ditimbulkan dari suatu hubungan yang tidak simetris dan sebangun untuk menempatkan manusia sebagai obyek.
Disamping itu kemiskinan struktural timbul karena adanya hegemoni dan justru karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, sehingga orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan.
Solusi Alternatif
Keberadaaan koperasi desa merah putih ini diharapkan mampu mampu menjawab problem yang ditimbulkan akibat kesenjangan/ketimpangan yang terjadi selama ini. Tak cukup itu, dengan adanya koperasi ini diharapkan mampu mengurangi pengangguran dan menambah lapangan perkerjaan baru dan menjadi ujung tombak literasi keuangan di masyarakat.
Disamping itu koperasi ini harus menawarkan pendekatan inklusif dan humanis, serta mejadi ruang belajar bersama serta tempat membangun usaha kolektif dan menjadi simbol kekuatan komunitas.
Tak cukup itu, lebih jauh koperasi desa merah putih menjadi solusi alternatif yang nantinya diharapakanmampu menciptakan keadilan distribusi ekonomi, sebab koperasi desa merah putih bukan sekedar lembaga ekonomi, tapi representasi harapan sosial.
Koperasi desa merah putih ini juga haru memperhatikan masalah-masalah sosial yang lebih besar, tentu melalui program-program pemberdayaan yang holistik untuk mengatasi masalah atau ketimpangan sosial yang ada di masyarakat.
Namun, untuk mewujudkan tujuan tersebut, koperasi desa ini harus bisa mengatasi sejumlah tantangan, baik dari sisi pengelolaan, sosial, maupun budaya dan apabila koperasi desa ‘Merah Putih’ ini dikelola dengan baik dan berkelanjutan, koperasi desa ini akan manjadi pilar penting dalam membangun masyarakat yang madiri, adil dan sejahtera.
***
*) Oleh : Moch. Efril Kasiono, Pendamping Desa.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |