TIMES MALANG, TANGERANG – Fenomena pejabat Jepang yang mundur ketika gagal, kontras dengan situasi di Indonesia. Budaya malu di Jepang mendorong tanggung jawab moral. Pejabat yang tersandung skandal sering memilih mundur tanpa diminta, seperti kasus Gubernur Tokyo, Naoki Inose (2013) dan Yoichi Masuzoe (2016), (N. Aini et al. 2024).
Budaya ini, yang dijuluki "harakiri politik", mengakar pada prinsip komunitas dan menjadi mesin penggerak akuntabilitas sosial. Media pun peranannya sebagai pengawas, memperkuat kontrol sosial.
Di sisi lain, Indonesia masih bergulat dengan pejabat yang berpegang erat pada kekuasaan, meski tercoreng skandal. Mochtar Lubis dalam "Manusia Indonesia" (1977) mengungkap enam sifat manusia Indonesia yang masih relevan: munafik, enggan bertanggung jawab, feodalistik, percaya takhayul, bakat artistik, dan watak lemah.
Sifat munafik terlihat dari perbedaan antara janji politik dan tindakan dilapangan, sementara keengganan bertanggung jawab tampak dari kebiasaan pejabat menghindari kritik dengan alasan "tidak tahu" atau menyalahkan bawahan.
Feodalisme modern juga masih kuat dalam birokrasi Indonesia. Loyalitas kepada atasan sering lebih dihargai daripada kompetensi atau kinerja. Tentunya, memperburuk praktik nepotisme dan kolusi, yang merusak tata kelola pemerintahan.
Data Liga Korupsi Indonesia (2025) memaparkan peningkatan kasus korupsi setiap tahun, dengan ribuan pejabat menjadi tersangka. Korupsi sudah berkembang menjadi penyakit sistemik yang merugikan negara, melansir tirto.id (27/02/2025).
Selain budaya malu, Jepang mengandalkan filosofi Kaizen, yang berarti perbaikan berkelanjutan. Kaizen berdiri di atas tiga pilar: perubahan kecil tapi konsisten, partisipasi seluruh elemen organisasi, serta standarisasi dan transparansi.
Pemerintah Nakano Ward di Tokyo sukses menerapkan siklus Plan-Do-Check-Act (PDCA), meningkatkan kepuasan publik. Bahkan, Ethiopia mengadopsi Kaizen untuk meningkatkan produksi manufaktur dengan dukungan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Biarpun, menerapkan Kaizen di luar Jepang tidak mudah. Akar budaya yang menancap membuat adaptasi sulit. Meski begitu, prinsip perbaikan berkelanjutan tetap menjadi inspirasi global.
Di Indonesia, beberapa instansi mulai mencoba Kaizen, seperti Kelurahan Kuningan Timur di Jakarta yang menerapkan metode 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) dengan hasil positif. Evaluasi kinerja berbasis data dan pelatihan berkelanjutan untuk ASN juga menjadi langkah vital.
Budaya kerja di Jepang dikenal dengan disiplin tinggi, loyalitas, dan hierarki yang kuat, menghasilkan efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan publik. Penghargaan pada waktu dan dedikasi ekstrem sering terlihat, meski ada sisi gelap seperti fenomena "karoshi" atau kematian akibat kerja berlebihan.
Sebaliknya, budaya kerja Indonesia lebih permisif dan mengutamakan hubungan personal serta kekeluargaan. Hierarki lebih luwes, tapi sering kali menghambat efisiensi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan.
Budaya malu di Jepang bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia. Rasa malu sebagai kontrol moral dapat menekan korupsi dan mendorong pejabat untuk bertanggung jawab.
Sanksi sosial yang kuat, didukung oleh media dan masyarakat, bisa melengkapi penegakan hukum yang masih lemah. Pendidikan moral sejak dini juga urgen untuk menanamkan nilai tanggung jawab dan integritas.
Prinsip Kaizen pun bisa menjadi solusi bagi birokrasi Indonesia yang lamban. Perbaikan berkelanjutan, mempercepat proses administrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Evaluasi berkala, transparansi, serta terlibatnya seluruh elemen organisasi sangat dibutuhkan agar perbaikan bisa berjalan efektif.
Kombinasi Kaizen dan budaya malu punya potensi besar untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan Indonesia. Perbaikan berkelanjutan akan mempercepat birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik, sementara budaya malu bisa menjadi pengendali moral untuk mencegah korupsi.
Pasalnya, keberhasilan penerapan kedua konsep ini sangat bergantung pada komitmen pimpinan, dukungan masyarakat, dan peran media sebagai pengawas. Tanpa itu, gagasan ini hanya akan berhenti sebagai wacana saja.
***
*) Oleh : Heru Wahyudi, Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
______
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |