TIMES MALANG, MALANG – Gelombang kritik terhadap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus bergulir dari berbagai Fakultas Kedokteran (FK) di Indonesia. Para akademisi menyoroti kebijakan-kebijakan Kemenkes yang dinilai berpotensi menurunkan mutu pendidikan kedokteran dan mengancam independensi institusi pendidikan medis.(detikcom)
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, sejumlah perubahan dalam tata kelola pendidikan kedokteran menuai kontroversi.
Dua isu utama yang menjadi sorotan adalah independensi kolegium kedokteran dan implementasi program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (hospital-based).
Para akademisi menilai bahwa kolegium, yang seharusnya menjadi lembaga independen dalam menetapkan standar kompetensi dan kurikulum pendidikan kedokteran, kini berada di bawah kendali Kemenkes. Hal ini dianggap menghilangkan independensi kolegium dan membuka ruang intervensi politik dalam penentuan standar pendidikan dan kompetensi dokter.
Program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit yang dicanangkan Kemenkes juga mendapat kritik. Para akademisi khawatir bahwa program ini dapat menurunkan kualitas pendidikan dokter spesialis karena belum banyak rumah sakit yang memenuhi standar sebagai tempat pendidikan, seperti ketersediaan pendidik, pasien, dan fasilitas yang memadai.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa program ini dapat mematikan program pendidikan dokter spesialis berbasis universitas yang sudah ada.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB), Prof. Dr. dr. Wisnu Barlianto, M.Si.Med, Sp.A(K), menyatakan keprihatinannya terhadap kebijakan Kemenkes. Menurutnya, kolegium saat ini tidak independen karena pemilihannya langsung oleh Kemenkes.
"Padahal seharusnya diusulkan oleh perhimpunan ahli yang diwadahi dalam organisasi profesi," ujarnya.
"Jadi kalau yang kolegium sekarang itu berbeda, sehingga itu yang menjadi concern kita, independensi daripada kolegium. Karena tugasnya kolegium itu sangat berat, mengawal pendidikan, tapi tetap terjamin kualitasnya," lanjutnya.
Terkait program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit, Prof. Wisnu menekankan pentingnya menjaga kualitas pendidikan. Ia menyatakan bahwa mendidik dokter spesialis bukan sekadar melatih tukang, tetapi membentuk profesional yang kompeten, yang membutuhkan waktu, pendidik, pasien, dan tempat yang standar.
Dia juga menyoroti bahwa belum banyak rumah sakit yang memenuhi standar tersebut, sehingga kualitas lulusan dokter spesialis dapat dipertanyakan.
Selain FK UB, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Universitas Hasanuddin (Unhas), dan Universitas Sebelas Maret (UNS) juga menyuarakan kritik terhadap kebijakan Kemenkes.
Para guru besar FK UI menyatakan bahwa kebijakan Kemenkes berpotensi menurunkan mutu pendidikan dokter dan berdampak langsung pada pelayanan kesehatan masyarakat. Mereka juga menyoroti pemilihan anggota kolegium yang tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan dan demokratis.
Di Unhas, para mahasiswa spesialis menolak intervensi langsung dari Kemenkes terhadap kegiatan akademik dan menyoroti pentingnya menjaga independensi kampus dari kepentingan politis yang dapat merusak iklim pendidikan.
Sementara itu, FK UNS menyatakan keprihatinannya terhadap kebijakan Kemenkes yang dinilai terlalu jauh mencampuri ranah pendidikan kedokteran, khususnya pendidikan dokter spesialis.
Polemik antara Kemenkes dan institusi pendidikan kedokteran di Indonesia mencerminkan ketegangan antara upaya reformasi sistem kesehatan oleh pemerintah dan kekhawatiran akademisi terhadap dampaknya pada mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Para akademisi berharap pemerintah dapat mendengarkan dan menindaklanjuti aspirasi mereka secara arif dan bijaksana demi keberlanjutan pendidikan kedokteran yang berkualitas di Indonesia. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |