https://malang.times.co.id/
Opini

Jejak Purba dan Akar Pengetahuan Dunia di Sulawesi

Jumat, 12 Desember 2025 - 15:34
Jejak Purba dan Akar Pengetahuan Dunia di Sulawesi Burhanuddin Elbusiry, Penerjemah dan Dosen Filsafat Timur STF Al-Farabi, Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Penemuan lukisan figuratif tertua dunia di kawasan karst Maros, Sulawesi Selatan, bukan semata seni purba, juga bukan hanya pigmen merah pada dinding batu, tetapi suara leluhur kita yang datang dari 51.200 tahun lalu. Ia adalah bisikan dari masa lalu yang berhasil menyeberangi samudera waktu, menembus ribuan lapis generasi hingga akhirnya tiba di abad 21 ini.

Tak ubahnya selembar surat yang ditulis tanpa dikirim, tapi entah mengapa, ia berhasil sampai pada pembacanya. Ia laksana lentera kecil yang dinyalakan di tengah kegelapan purba, dan ajaibnya, nyala itu tidak padam meski dihantam berbagai prahara, badai, erosi dan jutaan musim hujan tenggara. Ia tetap menunggu generasi zaman ini, mendayung di antara harapan dan putus asa untuk menyalakan kembali makna dan semangatnya. 

Para leluhur kita, barangkali tidak menyangka bahwa guratan itu akan bertahan lama lebih dari aksara daerah kita sendiri, dan lebih langgeng dari kerajaan di seluruh Nusantara ini. Mereka seakan-akan menulis sebuah pesan dan harapan lalu menggantungnya pada dinding gua seraya memasrahkan selebihnya pada angin, hujan serta proses geologi untuk membawanya pada kita, generasi yang bahkan belum dibayangkan keberadaannya.  

Namun, saat ini, ketika lukisan itu ditemukan di rimbun gelapnya gua sunyi yang jaraknya ribuan tahun lamanya, sebuah pertanyaan pun ikut terhunus: jika seandainya lukisan itu hilang atau tidak sempat ditemukan, apakah yang akan ikut menguap bersamanya? Sekadar gambarkah atau justru identitas kita sebagai sebuah bangsa? 

Penelitian yang diterbitkan di jurnal Science Advance dan Nature internasional ini tidak hanya menabalkan Sulawesi, dan Indonesia secara umum di level pertama dunia, tapi juga merombak pola sejarah memandang asal-usul kreativitas manusia yang sejauh ini dianggap final, mapan dan tak terbantahkan. 

Selama ini pusat perhatian kita selalu tertuju ke Barat, atau setidaknya ke negeri yang jauh dari tanah kita sendiri, namun literasi gambar ini berkata lain, bahwa Indonesia adalah jantung dan poros awal pengetahuan manusia; bahwa leluhur Indonesia pernah menjadi pusat kreativitas dunia ketika sebagian besar wilayah lain masih beku dan gelap, bahkan Eropa tertinggal ribuan tahun lamanya dari Negeri ini. 

Sejak awal, seni cadas ini bukanlah sekadar adegan perburuan, melainkan jejak kognisi, simbolisme dan imajinasi. Tiga hal yang kelak menjadi fondasi bagi pengetahuan, filsafat, hingga peradaban modern dewasa ini. 

Pada ranah ini, sebuah upaya memahami diri dan semesta melalui literasi visual adalah bahasa pertama manusia sebelum ada aksara, sebelum ada penalaran formal, dan leluhur kitalah yang menggagasnya. 

Segendang sepenarian dengan itu, literasi figuratif ini adalah dialog sunyi antara manusia dan dunia yang dihuni. Ia melibatkan kecakapan reflektif yang menjadi bagian dari narasi. Inilah yang disebut oleh para filsuf self-reflexive consciousness: kesadaran bahwa manusia bukan sekadar tubuh yang bergerak, melainkan makhluk yang mampu mencipta simbol, menafsir makna dan merangkai kisah. 

Leluhur kita telah membuktikan bahwa proses filosofis ini telah berlangsung sejak lama sebagai cikal bakal filsafat pertama, bahkan sebelum bahasa tulis itu ada. Penemuan ini sekaligus meruntuhkan anggapan bahwa filsafat lahir dari Yunani, karena pada hakikatnya, ia adalah bagian dari struktur batin manusia sejak ribuan generasi lalu dan di tanah air kita, ia telah berkecambah jauh lebih awal dari yang diperkirakan oleh dunia dan sejarah. 

Namun, filsafat bukan satu-satunya yang lahir dari dinding gua ini, sains dalam bentuk yang paling awal sekalipun berakar dari hal yang sama: keingintahuan. Lantaran setiap lukisan purba adalah hipotesis visual tentang dunia. Jadi ketika leluhur kita mengabadikan adegan berburunya ia tengah mencoba memahami pola pergerakan, karakter, dan kemungkinan. Ini adalah bentuk awal dari observasi, prediksi, dan pengujian. 

Olehnya, minat sains bukanlah sesuatu yang baru muncul di abad ke-17 saat Galileo mengarahkan teleskop ke langit atau ketika ia menguji massa benda di Menara Pisa. Benih sains sebenarnya telah tumbuh jauh sebelumnya, dan sekali lagi, bukan di luar sana, tetapi dari tanah kita sendiri, digagas oleh leluhur kita sendiri, sekalipun masih dalam bentuk yang sangat sederhana.

Dan melalui penemuan ini, Indonesia memiliki narasi selain yang diajar-sebarkan di ruang-ruang kelas: narasi yang bukan hanya mitos atau dongeng, tetapi literasi visual, filsafat primordial, dan benih sains tertua di muka bumi. Olehnya, aneh rasanya bila generasi hari ini tidak melihat betapa signifikannya penemuan ini bagi kebangsaan kita, mengingat akar kecerdasan dan imajinasi bangsa ini telah tumbuh jauh sebelum konsep negara, bahasa, atau agama sekalipun. Bahkan tidak berlebihan rasanya ketika kita mengatakan: inilah DNA dan identitas asli kita sebagai sebuah bangsa. 

Penemuan luar biasa yang diakui oleh seluruh ilmuwan dunia ini, apa pun maknanya, tetap menyisakan satu kepastian tak terelakkan: bahwa ia bukan hanya sebuah lukisan atau tindakan teknis belaka, melainkan pertanyaan. Dan setiap pertanyaan, sekali lagi, adalah mula dari filsafat yang menggema melintasi sekian lapis generasi, semisal: Siapakah kita di dunia ini? Apa hubungan manusia dengan alam? Bagaimana kita berdamai dengan ketakutan dan merayakan harapan? Apa arti sebuah peristiwa hingga layak diabadikan? Serta sederet tanya lainnya. Dan kini, di hadapan kita, berdiri bukti paling awal dan otentik dari kesadaran manusia, bukan dari Eropa, bukan dari Timur Tengah, melainkan dari Sulawesi, Indonesia: tanah air kita sendiri. 

Jika menulusuri garis intelektual itu lebih jauh, kita akan mendapati resonansinya dalam mahakarya Sulawesi Selatan: Epos I La Galigo, karya sastra monumental terpanjang di dunia melebihi Mahabharata. Saya kira, ketebalan dan kerunutan serta keindahan bahasa I La Galigo bukanalah sebuah kebetulan sejarah, melainkan bukti bahwa wilayah ini telah lama menjadi ruang persenyawaan arkeologi pengetahuan di mana manusia merenung, menyusun, dan menarasikan dunia dengan kedalaman makna yang luar biasa. 

Artinya, ribuan tahun sebelum aksara dikenal, leluhur kita telah mengembangkan cara berpikir naratif melalui literasi lukisan yang mengisyaratkan keberanian berpikir untuk menata pengalaman menjadi simbol.

Dari dinding batu hingga ke lembaran I La Galigo, seolah membentang satu garis khayal yang tak terputus, yakni kecakapan dan kecenderungan leluhur negeri ini untuk memahami realitas melalui hunusan tanya, cerita dan sastra. Kedua warisan yang terpaut ribuan tahun lamanya ini, bernapas dalam irama intelektual yang sama, yaitu keinginan untuk mengabadikan dan menafsirkan dunia. 

Dalam I La Galigo, manusia, langit, dan alam bergerak dalam ritme kosmik, dan ini bukan sekadar dongeng rakyat sebagaimana anggapan banyak kalangan, tetapi suatu sistem filsafat yang menggabungkan kosmologi, etika dan hubungan manusia dengan jagad raya. 

Dengan demikian, kemunculan sastra filosofis I La Galigo, pengetahuan kebaharian, pelayaran phinisi, kelahiran filsuf dan pemikir Bugis sekaliber Nene Mallomo, Karaeng Pattingalloang, Kajao Laliddong, serta Retna Kencana Colliq Pojie bukanlah anomali, melainkan warisan dari kecerdasan kultural yang telah berakar sejak para leluhur terdahulu kita menorehkan kisah pertama mereka di dinding batu 51.200 tahun lalu. Dan ini tidak terbantahkan lagi. 

Sekarang, angkat wajah kalian wahai para generasi pelanjut bangsa! Kubur semua mental terjajah! bumihanguskan seluruh watak terbelakang itu! Dan sadarilah bahwa mulai saat ini, kita punya narasi yang setara bahkan melebihi  bangsa mana pun di dunia ini. 

Mari kita rayakan penemuan luar biasa ini dengan mengejar ketertinggalan, menyongsong masa depan, jangan sampai orang lain lebih bersemangat merayakannya dibanding kita sendiri. Lantaran di banyak negara penemuan luar biasa seperti ini akan segera didapuk menjadi ikon nasional, dijadikan mantra kebanggaan, sumber inspirasi pendidikan dan fondasi diplomasi kebudayaan. 

Sekali lagi, jangan sampai penemuan gigantis ini justru terasing di tanahnya sendiri, tenggelam di tengah bisingnya isu politik kampungan, gosip kawin-cerai para artis murahan, dan konten-konten sampah yang kian memuakkan, serta desas-desus bau kentut menjijikkan nan menyebalkan. 

Terakhir, Jujur, saya pribadi menulis ini karena dua kegelisahan: pertama, saya khawatir tatkala generasi ini lupa bahwa leluhur kita adalah para filsuf, pemikir dan saintis; dan yang kedua, saya risau manakala penerus negeri ini lupa bahwa dalam tubuhnya mengalir darah para intelektual yang gugur demi tegaknya mercusuar peradaban, yang semestinya terus dilestarikan dan diperjuangkan sampai tubuh kita berbalut kain kafan.  (*)

***

*) Oleh : Burhanuddin Elbusiry, Penerjemah dan Dosen Filsafat Timur STF Al-Farabi, Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.