TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Korupsi, Tumpang Tindih Regulasi dan Transformasi Auditor Publik
Regulasi merupakan fondasi utama bagi pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel. Namun, di Indonesia kompleksitas aturan yang berlebihan (over regulation) justru melahirkan tumpang tindih regulasi.
Tumpang tindih regulasi ketika dua atau lebih aturan mengatur hal yang sama dengan ketentuan berbeda atau bahkan bertentangan. Akibatnya, kondisi ini tidak hanya memperumit proses administrasi, tetapi juga membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang, menghambat investasi, dan pada akhirnya merugikan kepentingan publik.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2023 terdapat 6.197 temuan dengan 8.869 permasalahan. Temuan ketidakpatuhan tersebut telah merugikan negara senilai Rp7,33 triliun.
Pada tahun yang sama, ICW menemukan sebanyak 791 kasus korupsi dengan 1.695 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum dengan potensi kerugian Rp28,4 triliun, Sebagian kasus terjadi akibat ketidakjelasan aturan dan lemahnya pengawasan.
Di sektor usaha, the global business complexity index rankings (2023) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-11 dari 78 negara dalam kategori yurisdiksi paling kompleks terkait regulasi.
Birokrasi yang rumit dan tumpang tindih regulasi menjadi faktor utama penghambat investasi. Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospects (2023) menyebutkan 43% perusahaan di Indonesia menganggap ketidakpastian regulasi sebagai hambatan utama.
Korupsi dan Budaya Hyper Legislation
Tumpang tindih regulasi di Indonesia bukanlah fenomena yang terjadi secara kebetulan. Ini merupakan hasil dari ego sektoral antar kementerian/lembaga yang enggan berkoordinasi dalam penyusunan peraturan. Indonesia mencatatkan skor kualitas regulasi 60,85%, jauh dibawah malaysia dengan nilai 73% dan singapura 100% (Bank Dunia, 2023).
Berbagai studi, termasuk penelitian The Indonesia Judicial Monitoring Society (2023) dan pemantauan Kemenkumham (2022), mengindikasikan bahwa puluhan hingga ratusan Perda di Indonesia bermasalah akibat tumpang tindih regulasi, terutama di sektor perizinan.
Indonesia juga mengalami budaya hyper-legislation, di mana aturan baru terus dibuat tanpa mencabut aturan lama yang sudah tidak relevan. Indonesia memiliki lebih dari 85 ribu regulasi, dengan lebih dari 3 ribu regulasi baru setiap tahun (hukumonline.com, 2022).
Undang-Undang Cipta Kerja, yang awalnya digadang-gadang sebagai solusi, justru semakin memperumit regulasi dengan 186 pasal dalam 15 bab yang harus diimplementasikan melalui 49 peraturan turunan.
Ketidakpastian hukum yang dihasilkan dari regulasi yang saling bertentangan menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh oknum untuk rent-seeking. KPK (2023) mencatat bahwa 80% kasus korupsi di sektor publik melibatkan eksploitasi celah hukum akibat ketidaksinkronan aturan.
Di sisi lain, investasi baik dari dalam maupun luar negeri menjadi korban dari ketidakpastian regulasi. Risiko biaya transaksi dan waktu perizinan yang panjang menjadikan Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara tetangga.
Reformasi Audit dan Sinkronisasi Regulasi
Di tengah kompleksitas regulasi, peran auditor publik seperti BPK, BPKP dan Inspektorat di berbagai lembaga seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas. Ironisnya, mereka justru sering terjebak dalam kepatuhan administratif semu.
Laporan audit dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tidak selalu mencerminkan absennya korupsi. Misalnya kasus korupsi dana bansos Kementerian Sosial tahun 2020 yang menimbulkan kerugian negara Rp259,7 miliar. Kasus ini membuktikan opini WTP tidak otomatis menjamin akuntabilitas dan tidak luput dari praktik korupsi.
BPK sendiri mengakui bahwa 30-40% temuan korupsi tidak terdeteksi dalam audit reguler karena pendekatan yang masih berfokus pada compliance, bukan pada identifikasi fraud (BPK, 2023).
Fenomena ini sejalan dengan teori audit expectation gap (Porter, 1993), di mana masyarakat berharap bahwa audit dapat sepenuhnya mencegah korupsi, padahal dalam praktiknya, standar audit hanya menilai kewajaran laporan keuangan tanpa menggali potensi kecurangan yang lebih mendalam.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan pendekatan dua poros. Pertama, reformasi sistem audit dengan mengadopsi metode forensic accounting untuk mendeteksi kecurangan terselubung, bukan sekadar kepatuhan administratif. Berikutnya memperkuat perlindungan bagi whistleblower agar individu yang mengetahui praktik korupsi berani berbicara tanpa takut mendapat tindakan represif.
Keberhasilan KPK dapat menjadi contoh dalam mengungkap skandal Jiwasraya yang merugikan negara Rp16,8 triliun melalui pendekatan audit investigatif. Selain itu, penting untuk melakukan digitalisasi audit sektor publik guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
Pemanfaatan teknologi seperti AI, machine learning, dan blockchain dapat mempercepat proses audit serta mengurangi risiko korupsi. Studi McKinsey (2023) menunjukkan AI bisa mengurangi 40% waktu audit dan meningkatkan akurasi temuan hingga 35%.
Namun, kesuksesan transformasi ini sangat bergantung pada kesiapan sumber daya manusia serta infrastruktur digital. Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung pengembangan kapasitas auditor dan investasi dalam teknologi audit harus segera menjadi prioritas bagi pemerintah dan lembaga terkait.
Kedua, membentuk regulatory clearing house. Sebuah badan independen yang bertanggung jawab untuk menyelaraskan peraturan di berbagai sektor. Pembentukan regulatory clearing house merupakan langkah penting untuk meningkatkan kualitas regulasi di Indonesia.
Sebagai badan independen, regulatory clearing house bertugas menyelaraskan peraturan di berbagai sektor, memastikan regulasi tetap relevan dan efektif. Sehingga tumpang tindih regulasi dapat dihindari, efisiensi dan efektivitas kebijakan dapat ditingkatkan, terciptanya kepastian hukum dan membangun lingkungan bisnis yang lebih kondusif. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing Indonesia, mendorong investasi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penyederhanaan regulasi dan penguatan sistem audit adalah langkah krusial untuk meningkatkan kualitas birokrasi dan daya tarik investasi. Tumpang tindih regulasi dan tumpulnya auditor publik berdampak pada kegagalan tata kelola yang sistemik.
Opini WTP tidak berarti jika korupsi masih terjadi. Indonesia membutuhkan aturan yang lebih jelas, efektif, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Dengan reformasi regulasi dan sistem audit, pemerintah dapat menciptakan birokrasi yang efesien dan handal, membangun iklim bisnis dan investasi yang kondusif dan berdayatarik, serta menjadi pilar terwujudnya cita-cita nasional. (*)
***
*) Oleh : Surya Darma, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Ketua Umum Forum Ilmu Sosial dan Humaniora HMP UGM.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |