TIMES MALANG, MALANG – “Apakah kelemahan kita? Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong,” Pidato Presiden soekarno pada hari ulang tahun proklamasi RI 1966 (Detik.com., 2023).
"Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka," Pidato Bung Karno pada HUT Proklamasi, 1963. (Detik.com., 2023)
Seperti biasaya, peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2025 diselenggarakan dengan menggelar upacara bendera di halaman sekolah dan instansi pemerintahan. Tema yang diusung tahun ini adalah "Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat".
Dalam sambutan resminya, sebagaimana tertuang dalam surat Menteri Komunikasi dan Digital tentang Pedoman Peringatan ke-117 Harkitnas Tahun 2025-pemerintah menegaskan bahwa meski arus globalisasi semakin kuat, Indonesia terus melangkah dengan menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan kemandirian.
Kedua kata keterbukaan dan kemandirian menjadi “mantra” yang dijadikan landasan kebijakan dalam menghadapi tantangan global. Lebih menekankan pada dimensi keterbukaan daripada kemandirian (otonomi dan kedaulatan), Indonesia makanya menerima tawaran pendiri Mirosoft, dan filantropis dunia Bill Gates untuk dijadikan lokasi uji coba klinis vaksin Tuberculosis tahap III.
Sontak, langkah ini ditentang warga masyarakat yang memandangnya telah mencederai harga diri bangsa akibat dijadikan ‘kelinci percobaan’ vaksin yang akan diproduksi oleh kapitalis global. Kebijakan ini diambil mengingat data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2024 yang mencatat prevalensi kasus TBC sebesar 1.060.000 kasus TBC (Jabar Pikiran Rakyat).
Kontroversi ini tidak akan mengemuka, apabila pemerintah lebih mengedepankan aspek kemandirian negara. Di sini, dimensi kedaulatan negara untuk mengurus, mengelola kesehatan warganya secara otonom dan mandiri sesuai dengan kehendak rakyat tanpa dicampuri oleh pihak lain lebih diprioritaskan.
Menurut Siti Fadilah Supari Menteri Kesehatan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2009 dalam sebuah podcast telah mencederai kedaulatan kesehatan negara; negara abai memenuhi hak asasi warga atas kesehatan; tidak memberikan peluang warga untuk mengontrol tubuh mereka sesuai dengan pengetahuan praktis mereka.
Menteri yang pernah menantang kebijakan WHO soal pandemi flu burung ini makanya meminta pemerintah untuk menolak tawaran Bill Gates ini. Nada kritis serupa disampaikan Komjen Pol (Purn) Dharma Pongrekun, mantan Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) seraya menegaskan bahwa ini merupakan bagian dari operasi penundukan negara oleh kapitalis multinasional.
Di era globalisasi, kedaulatan kesehatan merupakan keniscayaan karena ia berkaitan dengan keberdayaan dan ketahanan negara dalam memenuhi kebutuhan kesehatan warganya tanpa terlalu bergantung berlebihan terhadap aktor luar.
Ini soal menciptakan tatanan kesehatan global yang berkeadilan dengan tetap menghargai otonomi setiap negara dan mengembangkan kerjasama harmonis lintas negara dalam menangani masalah kesehatan (Mahadzir, D., Tai, N.2025).
Senyampang masih dalam suasana dan momen peringatan Hari Kebangkitan Nasional, memperbincangkan kepentingan nasional lokal, nasional di era globalisasi menjadi keniscayaan sejarah. Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tahun merupakan monumen sejarah untuk selalu dikenang agar menjadi memori kolektif bagi anak bangsa.
Bagaimana tidak? Tokoh-tokoh pemuda bangsa 117 tahun yang lalu telah memikirkan konsepsi kehidupan berkebangsaan yang mempersatukan segenap suku bangsa yang beragam. Alih-alih menjadi penghalang, keberagaman suku bangsa dapat aset berharga sebagai identitas kultural otentik yang perlu terus dipelihara yang selanjutnya menjadi sumber daya pergerakan kolektif untuk mempersatukan diri sebagai sebuah bangsa (nation).
Persatuan nasional dalam keberagaman yang dipatri dalam semangat cinta tanah air untuk membela dan memperjuangkannya itulah aset modal berharga sebagai energi kolektif untuk berjuang melawan penjajahan Belanda saat itu. Sikap nasionalis dan patriotis memang wajar dan niscaya pada era percaturan antar dan lintas negara yang semakin menegang dan tidak menentu.
Meski demikian, ini sekaligus beresiko dicibir sebagai kolot, konservatif dan tradisional, alias tidak modern. Ini dipandang telah “tertinggal gerbong kereta api” kesejagatan yang telah melaju kencang.
Lebih buruk lagi, ini melawan arus utama ‘gelombong” kuat globalisasi gaya hidup Barat Amerika Serikat. Ini akibat dari sihir mantra propoganda kesejagatan yang telah dinyakini kebenarannya meluas oleh sebagian besar warga; Berpikir secara global dan menindaklanjuti secara lokal’ (Think Globally and Act Locally).
Menjadi warga komunitas manca negara berarti membuka diri selebar-lebarnya untuk dirasuki pikiran dan perasaannya dengan beragam anasir-anasir asing. Gaya hidup kosmopolitan (kesejagatan) diterapkan dalam kehidupan lokal dengan penuh suka cita. Nilai-nilai budaya global diadopsi dalam kehidupan keseharian.
Ini dilakukan dengan penuh perasaan bangga seraya mendeklarasikan bahwa inilah nilai budaya adiluhung, modern, terupdate sementara nilai-nilai dan norma tradisional lokal dianggap ‘ndeso’, ketinggalan jaman, bahkan dipandang sudah tidak cocok, tidak mampu mengikuti kemajuan era globalisasi.
Dari Hegemoni Kultural ke Homogenisasi Gaya Hidup
Diterima secara membabi buta tanpa didahului pikiran kritis, adopsi gaya hidup global yang lebih mencerminkan model Amerika Serikat merebak, menjamur bahkan mewabah ke seantero Nusantara yang diimpor lewat industri budaya populer AS.
Ini wajar terjadi, karena AS telah menetapkan kebijakan ideologis “Mimpi Amerika” American Dreams berupa nilai-nilai budaya AS yang disebarluaskan ke selurah dunia lewat industri budaya populernya lewat motto Amerikanisasi demi terbentuknya gaya kehidupan global.
Tidak heran jika gaya hidup AS begitu kuat pengaruh hegemoniknya dalam kehidupan warga manca negara. Ini budaya telah menancap kuat mendominasi dan menguasai benak segenap warga komunitas global tak terkecuali Indonesia (Kasiyarno, K. 2014). Globalisasi yang semakin dipermulus perkembangannya lewat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, makanya disetarakan dengan penjajahan kultural.
Konsep ini secara esensial menurut John Tomlinson (1991) dalam karyanya Cultural Imperialism: A Critical Introduction adalah mengagungkan (exalting) dan menyebarkan nilai-nilai dan kebiasaan tertentu dalam melanggengkan dominasi ekonomi politik.
Faktor-faktor kultural tersebut perangkat lunak hegemonik berfungsi untuk mempertahan, dan melegitimasi dominasi ekonomi politik kelas penguasa. Proses hegemonisasi kultural ini menurut Antonio Gramsci (1971) dalam bukunya Selections From The Prison Notebooks terjadi secara sukarela (consent) lewat kepemimpinan intelektual dan moral, alih-alih dengan paksaan kekuatan (coercion).
Ini merupakan bentuk kekuasaan yang berwajah “lunak dan akrab” yang dilandaskan pada persetujuan dan penerimaan aktif dari kelompok-kelompok yang dikuasai. Alih-alih menentang dan melawan, mereka para peniru budaya asing ini, menerima dengan sadar nilai-nilai kultural kelas dominan karena dipandang memiliki surplus nilai-nilai simbolik seperti “lebih bergengsi, lebih berkelas, lebih modern”, bahkan terburuk, “lebih berbudaya”.
Bagi mereka, menerapkannya dalam kehidupan keseharian merupakan hal wajar, alamiah dan memang sudah seharusnya demikian.
Alih-alih menentang dan melawan, mereka para peniru budaya kelas dominan ini menerima dengan sadar nilai-nilai kultural kelas dominan tersebut karena dipandang memiliki surplus nilai-nilai simbolik seperti “lebih bergengsi, lebih berkelas, lebih modern”.
Bahkan terburuk “lebih berbudaya”. Ini terjadi karena budaya kelas dominan ini bersifat hegemonik yang berwatak ingin selalu ingin mendominasi, mengalahkan dan menundukkan budaya lain ke dalam cengkraman kekuasannya (Kasiyarno, K. 2014).
Walhasil, globalisasi telah menghasilkan penyeragaman (homogenisasi) gaya hidup, yang biasa dikenal dengan tiga F (Food, Fashion, Fun); Fashion (gaya berbusana, berdandan), food (gaya bersantap makanan dan minuman), fun (mengkonsumsi hiburan film dan festival).
Merek fesyen produk perusahaan multinasional dipandang lebih bergengsi, makanya dikenakan secara masif oleh konsumen lokal. Lima merek fesyen produk manca negara lebih digandrungi konsumen Indonesia mengalahkan industri fesyen lokal.
Adidas, H&M, Converse, Uniqlo, dan Nike menempati posisi lima besar merek terfavorit konsumen Indonesia (Databoks, 2022). Menyantap masakan cepat saji yang biasanya disediakan restoran fast food global telah menjadi gaya hidup remaja Indonesia.
Sebanyak 49 % Gen Z mengkonsumsi makanan cepat 1-2 kali setiap minggu. 12 % bahkan menyantap masakan ini setiap hari, demikian ungkap penelitian Jakpat 2024 (Marketeer.com, 2025). Riset tahun 2008 yang dilakukan AC Nilsen mencatat 69% warga perkotaan di Indonesia menyantap fast food; 33% untuk makan siang; 25 % untuk makan malam (Utari, N. K., 2018).
Fenomena serupa juga berlaku pada konsumsi hiburan. Ini terutama ditunjukkan dengan masifnya konsumsi produk seni hiburan dari Jepang berupa kegandrungan terhadap Anime, Manga dan pagelaran festival cosplay oleh warga Indonesia di beberapa kota besar. Jumlah penggemar Anime meroket tajam hingga mencapai 50 juta penonton pada tahun 2024.
Data menempatkan Surabaya dan Jakarta (masing-masing menduduki peringkat 13 dan 14) sebagai 19 besar kota penggemar Anime di dunia (Jaelani,D., 2017). Bagaimana dengan konsumsi tontonan drama Korea Selatan yang telah menjadi gelombang budaya populer di Indonesia? Nyaris tiga perempat, tepat 73% warga Indonesia adalah penikmat drama Korea alias drakor (Disway.id., 2024).
Bahkan, data Kementerian Budaya, Olahraga dan Wisata Korea tahun 2023 (MCST, 2024) mencatat Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan tingkat ketertarikan tertinggi di dunia terhadap konten budaya Korea yang mencapai 86,3%. Ini mengalahkan India, Thailand, Uni Emirat Arab dan Vietnam.
Berkaitan dengan rerata durasi jam konsumsi budaya Korea setiap bulan, Indonesia menempati posisi ketiga dengan durasi 17 jam per-bulan; ranking pertama dan kedua ditempati India dan Thailand dengan durasi masing-masing 18,6 dan 18,4 jam per bulan.
Globalisasi Alternatif; Globalisasi Akar Rumput/Dari Bawah. Paparan di atas menegaskan wujudnya paradoks globalisasi. Di satu sisi, globalisasi telah menghasilkan homogenisasi selera budaya warga masyarakat. Tapi, pada sisi yang lain juga melahirkan heterogenisasi kultural yang mewujud dalam percampuran budaya; hibridisasi atau percampuran berbagai unsur kultural sehingga membentuk budaya baru. Ini yang disebut Pieterse, J. N. (2019) sebagai global mélange alias budaya hibridisasi.
Di sini, konflik dapat dikurangi dan identitas dapat dipertahankan, meskipun mengalami transformasi. Budaya ‘gado-gado’ ini memungkinkan terbentuknya ekspresi kultural baru tapi juga mengandung resiko tercerabut dari tradisi budaya lokal meski juga tidak terikat sepenuhnya dengan budaya lain.
Gejala ini, disebut oleh Pleyers, G. (2010) sebagai gaya hidup kosmopolitan yang tanpa akar kultural alias rootless cosmopolitanism. Dampak negatifnya adalah krisis identitas kultural. Alih-alih menjadi aktor globalisasi yang berdiri berpijak atas identitas lokal dalam bergaul dengan komunitas global, mereka justru menjadi sekedar konsumen, pengikut budaya global.
Pertanyaannya adalah sebagai berikut. Bagaimana memandang derasnya gelombang globalisasi yang masif dan terstruktur saat ini? Bagaimana mensikapi secara bijak arus gaya hidup global yang berhembus bersamaan dengan datangnya barang, produk, dan jasa manca negara ke dalam negeri?
Pandangan dan sikap seperti apa yang perlu dikembangkan sehingga bangsa ini tidak terlalu larut terseret arus deras globalisasi dengan konsekwensi terkikisnya keberakaran (rootedness) pada identitas lokal dan nasional? Bagaimana menjadi anggota komunitas global tapi tetap menancapkan keberakaran jati diri pada nilai-nilai, norma kultural lokal?
Singkatnya, bagaimana menjadikan akar identitas kultural lokal sebagai modal budaya bersama menghadapi dan menantang globalisasi yang cenderung meminggirkan entitas lokal nasional? Bagaimana bisa menjadi aktor global dengan menyajikan bentuk globalisasi yang lebih berkeadilan dan demokratis? Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu untuk direnungkan bersama dalam momen peringatan Harkitnas ini.
Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tahun merupakan monumen sejarah untuk selalu dikenang agar menjadi memori kolektif bagi anak bangsa. Bagaimana tidak? Tokoh-tokoh pemuda bangsa 117 tahun yang lalu telah memikirkan konsepsi kehidupan berkebangsaan yang mempersatukan segenap suku bangsa yang beragam.
Alih-alih menjadi penghalang, keberagaman suku bangsa dapat aset berharga sebagai identitas kultural otentik yang perlu terus dipelihara yang selanjutnya menjadi sumber daya pergerakan kolektif untuk mempersatukan diri sebagai sebuah bangsa (nation).
Persatuan nasional dalam keberagaman yang dipatri dalam semangat cinta tanah air dan membela dan memperjuangkannya itulah aset modal berharga sebagai energi kolektif untuk berjuang melawan penjajahan Belanda saat itu.
Suasana kebatinan para tokoh pemuda 117 tahun lalu yang menegaskan perlunya pengukuhan otentitas identias kultural lokal menemukan momentumnya di era masyarakat tanpa batas (borderless society) saat ini. Inilah modal kultural yang diperlukan bangsa dalam arena percaturan global.
Di sini ditumbuhkembangkan keberakaran yang kokoh pada nilai-nilai kultural otentik yang dimiliki segenap suku bangsa di tanah air. Energi sosial kultural kolektif ini bisa dijadikan sebagai budaya tandingan (counter culture) terhadap hegemoni budaya global sehingga terbentuk gerakan perubahan sosial yang disebut globalisasi alternatif (alter-globalization).
Globalisasi alternatif ini menurut Geoffrey Pleyers (2010) dalam bukunya Alter-globalization: Becoming Actors In A Global Age merupakan gerakan sosial yang menentang versi globalisasi neoliberal dan memperjuangkan bentuk globalisasi alternatif yang lebih adil, demokratis, dan berkelanjutan.
Ini dapat terwujudnya salah satunya lewat apa disebutnya sebagai logika pengalaman subjektif (logic of experience) berupa adopsi prakarsa lokal dengan melibatkan emosi, identitas dan subjektivitas diri.
Ini menekankan pada pengalaman langsung, kehadiran fisik, emosi, relasi antar individu, dan keterlibatan personal sebagai dasar utama dalam membangun gerakan sosial dan perubahan. Ringkasnya, ini mengubah diri sendiri agar menjadi lebih etis, reflektif, dan sadar akan keterhubungan global berfondasikan atas jatidiri kultural lokal.
Arjun Appadurai (2000) menyebutnya sebagai globalisasi akar rumput (Grassroots globalization) yang diarahkan untuk memperjuangkan kedudukan yang demokratis dan otonom sehubungan dengan berbagai bentuk yang digunakan kekuatan global untuk memperluas kekuasaannya.
Saatnya motto globalisasi “berpikir global dan bertindak lokal” (think globally and act locally), diganti dengan berpikir lokal dan global lantas bertindak secara lokal dan global (‘think locally and globally and to act locally and globalyl’).
Berpikir dan bertindak itu hendaknya berdasarkan nilai-nilai kultural lokal yang lantas membentuk jati diri otentik warga masyarakat. Di sini dikembangkan kebanggaan dan rasa percaya diri terhadap khazanah budaya lokal tradisional yang menurut bung Karno sebagai modal utama membangun bangsa merdeka yang mampu berdiri setara dengan bangsa lain.
Penguatan identitas diri yang berpijak atas kesejatian budaya otentik lokal ini makanya juga merupakan perjuangan sosial melawan ketidakadilan epistemik (epistemic injustice). Ilmu pengetahuan Barat Eropa ‘dipaksakan’ untuk dianggap sebagai yang paling ilmiah, absah dan modern.
Sebaliknya, ilmu pengetahuan teknis lokal dipandang tidak ilmiah, tradisional, kuno, tertinggal sehingga menjadi penghalang proses pembangunan. Langkah ini mendesak untuk diambil mengingat globalisasi seringkali tidak hanya menyingkirkan tapi juga membunuh pengetahuan (epistemicide) komunitas adat atau lokal karena tidak ilmiah, primitif, atau tidak relevan dengan pembangunan modern (Boaventura de Sousa Santos, 2015).
Penunggalan definisi keabsahan ilmu pengetahuan ala Barat ini membuat ilmu pengetahuan teknis lokal seperti pengobatan tradisional, cara bercocok tanam, dan ajaran-ajaran kehidupan komunitas adat ‘tidak rasional, tidak relevan.
Dengan kata lain, perjuangan sosial ini merupakan pertarungan epistemik (epistemic struggles); sebuah arena pertarungan demi mengukuhkan cara berpengetahuan yang absah.
Ini hak asasi manusia setiap warga planet ini untuk berpikir, bertindak sesuai nilai-nilai dan norma kultural yang telah diwariskan oleh para pendahulunya. Ini panggilan membuka ruang dialog antar-epistemik dan bergerak melampaui dominasi pengetahuan modern demi tercapainya keadilan epistemik dan kultural (Icaza, R., & Vázquez, R. 2013).
Bangsa Indonesia memiliki khazanah kekayaan pengetahuan pribumi kuno yang melimpah. Pengetahuan komprehensif yang mencakup semua aspek kehidupan ini telah diwarisan oleh nenek moyang kita ratusan tahun lalu.
Pengetahuan praktis tentang bercocok tanam dengan melihat iklim alam telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia; Aceh ada Aneuk Jame, Sumatra mempunyai Parhalaan, Kalimantan Paladang Dayak, dan Jawa Pranata Mangsa. Jamu Indonesia yang mencakup bahan herbal alami merupakan sistem terpadu kesehatan dan kecantikan lahir dan batin (Beers, S. J., 2012).
Bagaimana menjadi relasi harmoni antara manusia dan alam serta Tuhan, ada nilai-nilai Sunda Wiwitan di Jawa Barat. Di Jawa ada ajaran sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup), manunggaling kawula Gusti (bersatunya manusia dan Tuhan) yang akan mengarahkan kepada kasampurnaning dumadi (kesempurnaan hidup).
Inilah modal kultural bangsa yang harus direnggut kembali demi meneguhkan marwah sebagai bangsa yang mampu berinteraksi dengan bangsa lain secara setara dan terhormat. “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka," tegas bung Karno 62 tahun yang lalu.
***
*) Oleh : Rochmad Effendy, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Unmer Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |