https://malang.times.co.id/
Opini

Sarjana Berebut Pekerjaan

Sabtu, 22 November 2025 - 19:03
Sarjana Berebut Pekerjaan Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

TIMES MALANG, MALANG – Setiap tahun Indonesia melahirkan sekitar 1,3 juta lulusan sarjana dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta. Di atas kertas, angka ini mencerminkan optimisme: generasi berpendidikan tinggi semakin banyak, kualitas sumber daya manusia meningkat, dan bonus demografi konon siap mendorong kemajuan bangsa. 

Namun kenyataan di lapangan justru jauh dari ideal. Dari jutaan lulusan itu, hanya sekitar 300 ribu yang dapat terserap ke pasar kerja formal. Selebihnya? Mengambang dalam ketidakpastian, terjebak dalam statistik pengangguran terdidik yang terus menanjak dari tahun ke tahun.

Fenomena ini bukan sekadar angka dingin di atas kertas. Ia adalah wajah muram dari realitas sosial yang selama ini seolah dibiarkan berjalan tanpa arah. Banyak anak muda yang baru saja mengenakan toga dan menerima ijazah dengan penuh harapan harus menelan pahitnya fakta bahwa gelar sarjana yang dulu dianggap tiket menuju masa depan mapan kini tidak lagi menjamin apa-apa. 

Mereka justru memasuki dunia kerja yang sempit, kompetitif, dan dalam banyak kasus, tidak memberikan ruang yang cukup bagi hadirnya tenaga kerja baru.

Pertama, ketimpangan antara output pendidikan dan kebutuhan industri menjadi akar masalah. Perguruan tinggi menghasilkan lulusan dalam jumlah masif, tetapi dunia industri tumbuh jauh lebih lambat. 

Banyak program studi masih mengajarkan kurikulum lama yang tidak selaras dengan dinamika pekerjaan modern. Lulusan siap memasuki dunia kerja, tetapi dunia kerja tidak siap menerima mereka. Ironi ini terus berulang seperti lingkaran setan.

Kedua, sebagian besar industri di Indonesia masih didominasi sektor bertingkat rendah yang tidak membutuhkan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Industri manufaktur belum berkembang optimal, sedangkan sektor jasa bernilai tinggi hanya tumbuh di kota-kota besar. 

Sementara itu, industri digital yang digembar-gemborkan sebagai “penyerap tenaga kerja masa depan” justru lebih memilih tenaga kerja terspesialisasi, bukan lulusan umum yang belum siap pakai.

Ketiga, kebijakan ketenagakerjaan dan investasi belum berhasil menciptakan iklim yang mendorong terciptanya lapangan kerja baru. Banyak investor enggan memperluas usaha karena ketidakpastian regulasi, persaingan ekonomi global, serta infrastruktur kebijakan yang belum pro pada kecepatan dunia usaha. Negara terus menerbitkan target pertumbuhan ekonomi, namun target itu tidak diiringi strategi nyata untuk penyediaan kerja yang massif.

Keempat, meningkatnya otomatisasi dan transformasi digital membuat banyak pekerjaan konvensional menghilang. Mesin menggantikan tenaga manusia, sementara pemerintah belum menyiapkan program reskilling dan upskilling berskala nasional. Akibatnya, lulusan baru berhadapan dengan pasar kerja yang menyusut, bukan meluas.

Ketika peluang terbatas, gelombang sarjana yang tidak terserap ini menciptakan berbagai dampak sosial. Muncul frustrasi, tekanan mental, hingga kecemasan kolektif. Banyak yang akhirnya beralih ke pekerjaan informal yang tidak sesuai kompetensi, seperti ojek daring, penjaga toko, marketing freelance, atau bahkan menganggur dalam jangka panjang sambil terus mencoba peruntungan yang tak kunjung datang.

Lebih buruk lagi, kondisi ini berpotensi memicu brain waste dan brain drain. Brain waste terjadi ketika lulusan berpendidikan tinggi bekerja pada pekerjaan rendah keterampilan yang tidak memanfaatkan pengetahuan mereka. Sementara brain drain muncul ketika lulusan berkualitas memilih bekerja di luar negeri karena merasa negaranya tidak menawarkan kesempatan yang layak.

Ketika negara gagal memberikan ruang bagi generasi mudanya untuk berkembang, jangan salahkan mereka jika pada akhirnya memilih meninggalkan tanah kelahiran.

Masalah ini membuka pertanyaan penting: apa sebenarnya tujuan pendidikan tinggi kita? Banyak kampus berlomba meningkatkan jumlah mahasiswa tanpa memikirkan relevansi lulusan dengan kebutuhan pasar. Akibatnya, pendidikan tinggi berubah menjadi “pabrik gelar” yang sibuk memproduksi lulusan, tetapi tidak memproduksi keahlian yang selaras dengan perkembangan zaman.

Padahal, perguruan tinggi idealnya menjadi kawah candradimuka yang membentuk generasi adaptif, inovatif, dan siap menghadapi tantangan industri. Tanpa perubahan fundamental pada kurikulum, metode pembelajaran, dan pola kerja sama kampus-industri, lulusan akan terus terjebak dalam paradoks: berpendidikan tinggi tapi tidak berdaya saing.

Pemerintah perlu mengambil langkah serius dan strategis. Pertama, mendorong penciptaan lapangan pekerjaan baru dengan mempercepat transformasi industri berbasis teknologi dan inovasi. Bukan hanya berfokus pada penyerapan tenaga kerja kasar, tetapi membuka lapangan kerja bernilai tambah tinggi yang membutuhkan lulusan perguruan tinggi.

Kedua, memperkuat interaksi antara kampus dan industri. Kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja yang terus berubah, bukan berjalan dalam ruang hampa akademik. Skema magang terstruktur, kolaborasi riset, hingga program pemagangan internasional perlu diperluas.

Ketiga, negara harus membangun ekosistem kewirausahaan yang sungguh-sungguh, bukan sekadar retorika. Banyak program kewirausahaan pemerintah hanya berhenti pada seminar tanpa pendampingan nyata. Anak muda yang ingin berwirausaha justru terhambat oleh akses modal, regulasi yang rumit, dan minimnya dukungan pasar.

Keempat, pemerintah wajib menyediakan program reskilling dan upskilling nasional. Jika Indonesia ingin menghadapi era digital, maka tenaga kerjanya harus dipersiapkan, bukan dibiarkan belajar sendiri.

Jika tren ini tidak segera diatasi, bonus demografi yang dibanggakan itu bukan menjadi kekuatan nasional, tetapi berubah menjadi bumerang sosial. Kita sedang berada di titik kritis: 1,3 juta sarjana lahir setiap tahun, tetapi hanya 300 ribu kursi pekerjaan tersedia. Kesenjangan ini terlalu besar untuk diabaikan dan terlalu berbahaya jika dibiarkan.

Negara harus berhenti menutup mata. Pendidikan tinggi harus direformasi. Dunia industri harus diberdayakan. Dan anak muda harus diberi ruang untuk berkarya. Karena jika tidak, kita akan menyaksikan generasi berpendidikan yang hilang, bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena negara tidak hadir menyediakan masa depan yang layak bagi mereka.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.