TIMES MALANG, BANYUWANGI – Bank Indonesia kembali menjadi sorotan publik setelah mengumumkan sinyal pengetatan kebijakan moneter pada kuartal pertama 2025. Suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 6,5 persen, sebuah langkah yang diklaim sebagai respons atas gejolak eksternal, termasuk penguatan dolar AS dan tekanan inflasi global. Namun pertanyaan krusial muncul: sejauh mana kebijakan ini akan berdampak pada masyarakat bawah, terutama dari sisi daya beli?
Langkah moneter yang diambil otoritas keuangan memang bertujuan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan meredam inflasi. Namun, kebijakan ini tidak dapat dilepaskan dari konteks ekonomi nasional yang sedang berada dalam fase pemulihan pasca pandemi dan menghadapi tantangan struktural seperti rendahnya produktivitas, ketimpangan distribusi pendapatan, serta belum pulihnya konsumsi rumah tangga sebagai motor utama pertumbuhan.
Kebijakan menaikkan suku bunga memang menjadi instrumen klasik bank sentral dalam mengendalikan inflasi. Tapi dalam praktiknya, kenaikan suku bunga justru menciptakan efek domino yang memberatkan pelaku ekonomi, terutama sektor riil dan rumah tangga berpendapatan rendah.
Kredit konsumsi dan kredit usaha mikro otomatis menjadi lebih mahal. Dunia usaha menahan ekspansi, dan masyarakat kecil semakin terdesak oleh harga kebutuhan pokok yang tidak ikut turun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 menunjukkan bahwa inflasi tahunan masih berada di angka 3,2 persen, sementara pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 4,7 persen.
Dalam situasi seperti ini, kebijakan moneter ketat justru berisiko memperlebar jurang ketimpangan ekonomi dan mengikis kemampuan belanja masyarakat. Apalagi, beban hidup semakin berat akibat pengurangan subsidi energi dan tarif dasar listrik yang naik secara bertahap sejak akhir 2024.
Daya beli rakyat, terutama di lapisan menengah ke bawah, tidak hanya ditentukan oleh angka inflasi resmi. Di pasar tradisional, harga beras premium sudah tembus Rp16.000 per kilogram, sementara minyak goreng dan daging ayam terus merangkak naik. Situasi ini menunjukkan adanya inflasi laten di sektor pangan yang sulit dikendalikan hanya dengan instrumen moneter.
Ironisnya, pada saat yang sama, pasar keuangan terlihat lebih optimis. Investor asing kembali masuk melalui instrumen Surat Berharga Negara (SBN), memanfaatkan imbal hasil yang tinggi. Rupiah memang menguat dalam jangka pendek, tetapi apakah keberpihakan kebijakan ini cukup kuat kepada rakyat? Jangan sampai stabilitas makro yang dibanggakan hanya dinikmati oleh segelintir elite finansial.
Bank Indonesia perlu memperluas pendekatan kebijakan yang tidak hanya fokus pada aspek makroekonomi, tetapi juga memperhatikan kondisi mikro masyarakat. Koordinasi yang erat antara kebijakan moneter dan fiskal menjadi kunci.
Pemerintah pusat, melalui Kementerian Keuangan, harus menyusun stimulus fiskal yang tepat sasaran, seperti memperkuat perlindungan sosial dan mendukung sektor UMKM agar tidak terpukul dua kali oleh tekanan biaya dan permintaan yang lemah.
Masyarakat bukan sekadar objek statistik dalam kebijakan ekonomi. Daya beli rakyat adalah penopang utama keberlanjutan pertumbuhan. Jika kebijakan moneter tidak dibarengi dengan keberpihakan nyata kepada sektor riil dan perlindungan konsumen, maka ancaman stagnasi berkepanjangan akan menjadi kenyataan.
Kebijakan moneter bukan hanya soal angka, tetapi soal kepekaan terhadap denyut ekonomi rakyat. Bank Indonesia perlu bersikap lebih progresif dan berani mengevaluasi efektivitas kebijakannya. Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum untuk membangun ekonomi yang inklusif, bukan sekadar menjaga angka-angka makro agar tetap indah di atas kertas.
***
*) Oleh : Iska Nur Mawarda, Mahasiswa Perbankan Syariah, Universitas KH. Mukhtar Syafaat-Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |