TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Saat ini kita berada di lingkungan masyarakat dimana pengetahuan mengenai individu dikumpulkan tanpa henti, baik dalam bentuk data pribadi, arsip, kebijakan dan lain-lain.
Internet dan media sosial kemudian menjadi model mutlak, karena banyak dari apa yang dikatakan oleh Michel Foucault sebagai “rezim pengawasan baru”. Hal ini mengacu pada sistem pengawasan yang lebih halus dan menyebar daripada sistem pengawasan tradisional.
Seseorang dapat menempatkan dirinya di dalam “penjara digital” secara sukarela dengan memberikan data tanpa merasa bahwa dia sedang diawasi. Data tersebut kemudian digunakan sebagai bagian dari kepentingan elite kapital dan pengembangan ekosistem di era digital.
Sistem ini bekerja dibalik norma, prosedur dan teknologi pengawasan, bukan melalui tindakan represif langsung. Individu kemudian akan dijadikan sebagai subjek pengawasan melalui pengawasan diri sendiri, sehingga akan menjadi penentu dan pelaku norma sosial.
Panoptikon Foucault yang ada saat ini jauh lebih banyak dari yang seharusnya bahkan jauh lebih berpengaruh dan efektif dari apa yang ada di sekitarnya pada saat itu. Internet dan media sosial menjadi keajaiban mutlak atas keakuratan hal yang ditulis oleh Foucault pada tahun 1960-an dan menjadikan media sosial sebagai representasi dari dunia nyata.
Media Sosial dan Aturan Mainnya
Dibalik itu semua, media sosial mempunyai aturan mainnya sendiri, diantara yang kita sadari adalah pemberian informasi pribadi secara sukarela pada saat verifikasi ulang profil pribadi.
Hal lain yang terjadi, dimana kita akan dilihat namun kita tidak tahu apa yang dilihat dan kapan akan dilihat. Disini algoritma akan berperan sebagai penyalur sekaligus pengendali informasi.
Informasi yang ada pada media sosial akan selalu bersifat mentah tergantung audiens penerimanya. Maka dari itu, kita sebagai penerima informasi harus terlibat aktif dalam mengendalikan algoritma sesuai dengan apa yang kita butuhkan.
Saat ini, seluruh perusahaan teknologi berlomba untuk mengumpulkan informasi pribadi sebanyak mungkin, sebab informasi yang banyak bisa dijadikan sebagai kekuatan bagi siapapun yang memilikinya.
Pada akhirnya bukan hanya konten dari media yang secara signifikan berpengaruh terhadap cara kita memahami dan berinteraksi dengan suatu hal, melainkan algoritma dari media tersebut.
Artificial Intelligence Bukan Sekedar Chatbot
Artificial Intelligence (AI) bukan hanya sekedar chatbot, AI juga merupakan platform pengumpul data yang lebih kompleks. Data yang dimiliki oleh AI awalnya tidak seperti yang dimiliki oleh media sosial yang bertahap sedikit demi sedikit, sebelum adanya meta AI untuk aplikasi dibawah meta dan Grok untuk aplikasi X. Data yang dikumpulkan AI adalah panoptikon psikografis yang semuanya ada di dalam alat "produktivitas".
Setiap percakapan yang terjadi adalah penyelidikan, selayaknya korpus mimpi untuk membangun agen yang sangat personal, mesin persuasi atau bahkan mensimulasikan penggunanya setelah kematian.
Artificial Intelligence mendapatkan data yang lebih kompleks, bukan sekedar like dan grafik sosial penggunanya, seperti yang dilakukan media sosial.
Artificial Intelligence mendapatkan data secara sukarela dari ambisi, ketakutan, trauma, monolog batin, masalah medis, fantasi erotis, penyimpangan spiritual, strategi keuangan, tujuan jangka panjang dan perubahan suasana hati harian para penggunanya.
Kumpulan data yang dimiliki oleh AI beresolusi sangat tinggi sehingga pada dasarnya merupakan pemodelan kesadaran buatan. Hal ini kemudian menjadi jenis data yang paling berharga dan longitudinal.
Data yang saat ini ada dalam sistem AI adalah jaringan hidup, bukan catatan fosil. Apa yang dimiliki media sosial hingga google hanyalah coretan krayon jika dibandingkan dengan apa yang didapatkan oleh Artificial Intelligence.
Bagi saya, inilah yang kemudian mendorong platform aplikasi media sosial untuk menambahkan fitur AI, bukan hanya dijadikan sebagai chatbot, namun untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak lagi.
Artificial Intelligence berisikan sebuah pengakuan, buku harian, terapis, sahabat larut malam, co-founder startup, kekasih rahasia, hingga dijadikan sebagai salah satu tempat yang dituju ketika penggunanya terlalu lelah untuk tampil dan di titik inilah data yang sebenarnya.
AI mampu untuk mengingat semua percakapan seperti halnya orang sungguhan dan ingatan inilah yang kemudian mengubah alur “permainan”. Media sosial memiliki aturan main yang khas, di mana pengguna secara sadar maupun tidak sadar kerap memberikan informasi pribadi secara sukarela sebagai bagian dari interaksi digital.
Fenomena ini menegaskan bahwa data pribadi telah menjadi komoditas utama dalam ekosistem media sosial, sekaligus membuka peluang dan tantangan baru dalam pengelolaan privasi.
Di sisi lain, kecanggihan artificial intelligence yang mampu mengolah dan memodelkan data beresolusi sangat tinggi pada dasarnya merepresentasikan bentuk awal dari kesadaran buatan. Kumpulan data tersebut tidak hanya menjadi aset strategis yang sangat berharga, tetapi juga menuntut adanya regulasi dan etika yang ketat dalam pemanfaatannya.
Dengan demikian, penulis berpandangan bahwa pemahaman kritis terhadap aturan main media sosial dan dinamika pengelolaan data oleh AI sangat penting untuk memastikan perlindungan hak privasi individu serta mendorong pemanfaatan teknologi secara bertanggung jawab dan beretika.
***
*) Oleh : Muhammad Hafizh Renaldi, S.Sos., Magister Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |