TIMES MALANG, MALANG – Santri bukan sekadar identitas keagamaan. Ia adalah jiwa, cara berpikir, dan laku hidup yang berakar pada keikhlasan menuntut ilmu, ketulusan berjuang, dan kesederhanaan menjalani hidup.
Di pesantren, santri belajar bukan hanya tentang kitab dan dalil, tapi juga tentang kehidupan bagaimana menundukkan ego, menghargai guru, dan menyuburkan kepekaan sosial.
Itulah yang disebut sebagai nurani kesantrian. Cahaya batin yang membimbing manusia agar tetap berpijak pada nilai kemanusiaan, meski zaman kian riuh oleh ambisi dan kepalsuan.
Namun, di tengah arus modernitas yang deras, nurani kesantrian menghadapi tantangan berat. Nilai keheningan, ketawadhuan, dan kesabaran kini mulai tersingkir oleh budaya instan, pragmatis, dan pamer diri. Generasi muda cenderung mengukur kesuksesan dengan materi, bukan kontribusi.
Sementara itu, gawai dan algoritma media sosial menumbuhkan ilusi bahwa kebijaksanaan bisa diperoleh lewat guliran jempol, bukan laku panjang pencarian makna. Dalam situasi semacam ini, pesantren dan para santri memegang peran strategis: menjaga cahaya nurani agar tidak padam di tengah kegelapan zaman.
Menjadi santri berarti menjalani proses penyucian batin dan penempaan akal. Ia bukan hanya belajar untuk menjadi pintar, tetapi untuk menjadi benar. Dalam keseharian di pesantren, santri terbiasa hidup dengan disiplin dan kesahajaan.
Mereka bangun sebelum subuh, membersihkan lingkungan, mengaji, dan belajar dengan penuh adab. Semua itu bukan rutinitas kosong, melainkan latihan membangun kesadaran moral. Sebab, dari kedisiplinan lahir kejujuran, dari keikhlasan lahir keteguhan, dan dari kepatuhan lahir kebijaksanaan.
Kesantrian sejatinya adalah cermin peradaban spiritual yang memadukan akal dan nurani. Di pesantren, santri dididik untuk berpikir kritis tanpa kehilangan rasa hormat. Mereka belajar bahwa ilmu tanpa adab adalah kesombongan, sementara adab tanpa ilmu adalah kebutaan.
Perpaduan keduanya melahirkan pribadi yang berimbang: cerdas sekaligus rendah hati. Itulah mengapa, dalam banyak fase sejarah bangsa, santri selalu hadir di garda depan perjuangan bukan untuk mencari kekuasaan, melainkan untuk menjaga nilai.
Akan tetapi, tantangan terbesar hari ini bukan lagi kolonialisme fisik, melainkan penjajahan batin. Kita hidup di era yang menyanjung sensasi, di mana kebenaran dikaburkan oleh opini, dan popularitas lebih dihargai daripada kejujuran.
Dalam konteks ini, nurani kesantrian menjadi benteng terakhir agar manusia tidak kehilangan arah. Santri harus tampil sebagai teladan moral di tengah kekacauan nilai. Mereka harus menjadi penjaga nurani publik, yang mampu menegur tanpa membenci, mengkritik tanpa menghina, dan menasihati tanpa menggurui.
Memupuk nurani kesantrian berarti menghidupkan kembali nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam kehidupan modern. Ia bukan sekadar membaca kitab kuning, tapi juga membaca realitas sosial dengan mata hati. Santri harus mampu menjawab problem zaman dengan pendekatan yang humanis.
Ketika melihat ketimpangan sosial, mereka tidak boleh diam. Ketika menyaksikan kemiskinan, ketidakadilan, atau kerusakan moral, mereka harus tampil menjadi bagian dari solusi. Sebab, sejatinya santri adalah pewaris misi kenabian: membawa rahmat bagi semesta alam.
Di banyak daerah, kita bisa melihat bagaimana spirit kesantrian melahirkan gerakan sosial yang inspiratif. Ada santri yang mendirikan sekolah rakyat, pesantren wirausaha, rumah baca, hingga klinik sosial.
Mereka memahami bahwa ibadah tidak hanya berarti sujud di mihrab, tetapi juga perjuangan menegakkan nilai kemanusiaan. Di sinilah letak makna terdalam dari nurani kesantrian: ia menjembatani agama dan realitas, spiritualitas dan aksi sosial, dzikir dan pikir.
Untuk menumbuhkan kembali nurani itu, dibutuhkan kesadaran kolektif di kalangan pesantren sendiri. Dunia pesantren tidak boleh terjebak pada rutinitas ritual tanpa makna. Pendidikan di pesantren harus menanamkan kesadaran kritis dan empati sosial, agar santri tidak hanya menjadi hafiz teks, tetapi juga penggerak perubahan.
Di ruang kelas, kitab harus dihidupkan dalam konteks zaman; di asrama, nilai-nilai ukhuwah harus diterjemahkan dalam solidaritas nyata terhadap masyarakat di luar tembok pesantren.
Kiai dan guru menjadi figur sentral dalam menanamkan nurani ini. Keteladanan mereka bukan hanya pada keilmuan, tetapi juga pada laku keseharian. Seorang kiai yang hidup sederhana, jujur, dan penuh kasih akan jauh lebih membekas di hati santri dibanding seribu ceramah moral.
Santri belajar dari apa yang mereka lihat, bukan hanya dari apa yang mereka dengar. Maka, pesantren perlu menjaga keotentikan spiritualnya agar tidak tergoda dengan glamoritas dunia modern yang sering menipu.
Zaman boleh berubah, teknologi boleh maju, tetapi nilai kesantrian harus tetap menjadi kompas moral bangsa. Dalam hiruk-pikuk dunia yang serba cepat, santri adalah pengingat bahwa kebijaksanaan tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari ketenangan.
Dalam budaya yang memuja ego, santri hadir sebagai pengingat bahwa kemuliaan terletak pada kerendahan hati. Dan dalam dunia yang penuh kepalsuan, nurani kesantrian menjadi lentera yang menuntun manusia kembali kepada kebenaran sejati.
Memupuk nurani kesantrian berarti merawat harapan tentang masa depan bangsa yang beradab. Sebab, bangsa yang kehilangan nurani adalah bangsa yang kehilangan arah. Santri, dengan keikhlasannya, mengajarkan kepada kita bahwa kemajuan tidak boleh menghapus kemanusiaan.
Dari pesantren yang sederhana, lahirlah generasi yang mengajarkan bahwa ilmu tanpa nurani adalah bencana, dan kesalehan tanpa kepedulian adalah kehampaan. Karena sejatinya, menjadi santri bukan hanya tentang siapa yang paling tahu, tetapi siapa yang paling mampu menjaga cahaya di dalam hatinya agar tetap menyala bagi sesama.
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |