https://malang.times.co.id/
Opini

Di Jalan Kesusahan Ekonomi

Selasa, 07 Oktober 2025 - 21:20
Di Jalan Kesusahan Ekonomi Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Setiap orang pernah melintasi jalan kesusahan ekonomi, entah sebentar atau dalam waktu yang panjang. Jalan itu tidak selalu lurus, kadang berkelok, penuh batu, bahkan menyesakkan dada. 

Di sana, manusia diuji: apakah akan mengutuk keadaan, atau justru menemukan kekuatan baru yang tak pernah disadari sebelumnya. Kesusahan ekonomi memang bukan hal yang diinginkan siapa pun, tapi justru dari situlah banyak manusia belajar arti sabar, ikhtiar, dan keimanan yang sejati.

Di tengah gegap gempita kemajuan zaman, kesenjangan ekonomi menjadi luka sosial yang sulit sembuh. Di kota-kota besar, gedung pencakar langit menjulang tinggi, namun di bawah bayangannya, ada rakyat kecil yang masih berjuang untuk sekadar menyambung hidup. 

Ironinya, negeri ini kaya sumber daya alam: emas, minyak, gas, hasil bumi, dan laut yang melimpah. Namun kekayaan itu sering kali tidak turun menjadi kesejahteraan rakyat. Ia berhenti di meja elite, tersedot dalam sistem yang tidak adil, atau tersangkut dalam jerat korupsi yang tak kunjung sirna.

Jalan kesusahan ekonomi bukan hanya soal kekurangan uang, melainkan tentang keterbatasan kesempatan. Banyak keluarga yang bekerja keras tanpa hasil sepadan. Buruh yang gajinya pas-pasan, petani yang kalah harga dari tengkulak, pedagang kecil yang dihimpit oleh korporasi besar. 

Mereka bukan tidak bekerja, tapi hasil kerja mereka terlalu kecil untuk bisa disebut sejahtera. Di sinilah letak ketimpangan itu terasa: sebagian orang bekerja keras demi hidup, sementara sebagian lain hidup dari hasil kerja keras orang lain.

Namun, di tengah situasi sulit itu, selalu ada kekuatan yang lahir dari bawah. Rakyat kecil Indonesia punya daya tahan luar biasa. Mereka tidak banyak menuntut, tapi pantang menyerah. Mereka menanam padi di tanah kering, berjualan di bawah panas matahari, atau menjahit hingga larut malam. 

Hidup sederhana menjadi bagian dari kearifan, bukan karena pilihan, tetapi karena keadaan yang diterima dengan lapang dada. Ada nilai ketulusan di sana, nilai yang jarang dimiliki oleh mereka yang hidup di puncak kenyamanan.

Kesusahan ekonomi juga sering kali menjadi ruang refleksi: apakah kemakmuran telah kita bagi dengan adil? Apakah pembangunan yang digembar-gemborkan benar-benar berpihak pada rakyat kecil? 

Banyak program bantuan dan janji kesejahteraan lahir dari panggung politik, namun sering berhenti di spanduk dan baliho. Padahal, yang dibutuhkan rakyat bukan belas kasihan, melainkan sistem yang berpihak. Keadilan sosial bukan sekadar slogan, tetapi harus menjadi kebijakan nyata yang menembus batas birokrasi.

Dalam perjalanan hidup, kesusahan ekonomi bisa menjadi guru yang keras tapi bijak. Ia mengajarkan manusia untuk lebih hemat, lebih sabar, dan lebih bersyukur. Orang yang pernah merasakan lapar akan lebih menghargai sebutir nasi. 

Mereka yang pernah ditimpa kesulitan akan lebih peka terhadap penderitaan orang lain. Dari sana lahir empati sosial benih solidaritas yang membuat manusia kembali menjadi manusia.

Sayangnya, banyak dari kita yang justru lupa setelah berhasil keluar dari kesusahan. Ketika rezeki datang, kita sering memutus ingatan terhadap masa-masa sulit. Padahal, di sanalah nilai kemanusiaan diuji. 

Orang yang benar-benar kuat bukan hanya mereka yang berhasil bangkit, tapi yang tidak melupakan penderitaan setelah berdiri tegak. Dalam konteks inilah, kesusahan ekonomi bisa menjadi ujian keikhlasan: apakah kita mampu tetap berbagi ketika sudah berlebihan?

Di jalan kesusahan ekonomi, iman sering menjadi satu-satunya penopang yang tersisa. Ketika logika tidak mampu menjawab, hanya keyakinan pada Tuhan yang memberi harapan. 

Dalam doa yang lirih di tengah malam, banyak orang miskin menyebut nama Tuhan bukan untuk meminta kekayaan, tapi kekuatan untuk bertahan. Inilah wajah keimanan yang paling murni lahir dari hati yang pasrah, bukan dari mulut yang pandai berdoa.

Namun, kesabaran tidak boleh membuat kita pasrah tanpa perjuangan. Islam sendiri menegaskan bahwa kemiskinan bukan untuk dirayakan, melainkan untuk dilawan dengan kerja keras, pendidikan, dan solidaritas sosial. 

Nabi Muhammad SAW tidak pernah memuji kefakiran, tetapi memuliakan kerja. Beliau mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Maka, memperjuangkan ekonomi yang adil adalah bagian dari ibadah, bukan semata urusan duniawi.

Kini, tantangan kita bukan hanya menanggulangi kemiskinan, tetapi melawan sistem yang membuat kemiskinan tetap hidup. Ketika akses pendidikan, kesehatan, dan permodalan masih berat bagi rakyat kecil, maka negara belum menjalankan mandat konstitusi untuk menyejahterakan seluruh warganya. 

Keadilan ekonomi bukan hadiah, tapi hak yang harus ditegakkan. Para penguasa dan pemegang kebijakan seharusnya tidak buta terhadap realitas rakyat yang menanggung beban akibat kesalahan tata kelola.

Namun, di sisi lain, kesusahan ekonomi juga bisa menjadi medan tumbuhnya nilai spiritual. Orang yang diuji dengan kesulitan akan lebih peka terhadap makna hidup. Ia menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah uang. 

Banyak orang kaya yang gelisah, dan banyak orang miskin yang tenang. Perbedaan itu bukan pada banyaknya harta, tapi pada kedalaman hati dalam menerima takdir dan menjalani hidup dengan penuh syukur.

Kesusahan ekonomi mengajarkan kita untuk saling menguatkan. Tidak ada yang benar-benar mandiri di dunia ini; setiap manusia butuh manusia lain. Di tengah krisis, yang menolong bukan hanya uang, tapi kepedulian. 

Ketika seseorang berbagi sepotong roti, memberi tumpangan, atau sekadar mendengarkan keluh kesah saudaranya, ia sedang mengubah penderitaan menjadi kekuatan bersama.

Di jalan kesusahan ekonomi, manusia belajar makna sejati dari kehidupan: bahwa keberkahan bukan diukur dari berapa banyak yang dimiliki, tapi seberapa dalam rasa syukur yang dirasakan. 

Kebahagiaan sejati bukan datang dari kemewahan, melainkan dari hati yang mampu menerima, berjuang, dan tetap berbuat baik meski dalam kekurangan. Dan mungkin, justru di jalan yang paling sulit itulah, Tuhan sedang menanam benih kekuatan agar manusia mampu tumbuh lebih bijak, lebih manusiawi, dan lebih beriman.

***

*) Oleh : Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.