https://malang.times.co.id/
Opini

Refleksi Milad ke-78 HMI: Kecerdasan yang Berstrategi, Perubahan yang Bermakna

Sabtu, 08 Februari 2025 - 13:19
Refleksi Milad ke-78 HMI: Kecerdasan yang Berstrategi, Perubahan yang Bermakna Muhammad Sahlan S.Sos, M.A, Presidium Majelis Daerah KAHMI Banyuwangi, sekaligus Dosen Dosen Universitas Islam Ibarahimy Banyuwangi.

TIMES MALANG, BANYUWANGI – Sejarah mencatat bahwa kecerdasan tanpa strategi hanyalah idealisme kosong. Dan strategi tanpa kecerdasan hanyalah ambisi buta.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di usianya yang ke-78, harus kembali mempertanyakan perannya. Apakah masih menjadi lokomotif perubahan atau sekadar ornamen intelektual yang terjebak dalam rutinitas organisasi?

Dalam dunia yang semakin kompleks, lanskap politik yang semakin pragmatis, ekonomi yang semakin kapitalistik, serta tata kelola pemerintahan yang sering kali kehilangan arah. HMI seharusnya hadir sebagai entitas yang memberikan sulusi untuk menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang lebih tajam. 

Ada empat hal yang mungkin perlu direfleksinya untuk menjawab tantangan internal dan eksternal organisasi, yakni Smart People, Smart Economy, Smart Governance, dan Smart Community.

Filsuf Jerman Jurgen Habermas (1981) menyebut bahwa "rasionalitas bukan hanya soal berpikir logis, tetapi bagaimana kita berkomunikasi dan bertindak dalam ruang publik." 

Kader HMI tidak boleh berhenti pada kecerdasan akademik semata, tetapi harus mengasah kecerdasan sosial-mampu membaca situasi, memahami perubahan, dan merancang strategi perubahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 

Kecerdasan harus diuji dalam realitas, bukan hanya dalam forum-forum intelektual yang sering kali lebih banyak bicara daripada bertindak.

Nurcholish Madjid (1992) dalam pemikirannya tentang Islam modern juga menegaskan bahwa "pembaruan Islam harus bergerak dari dalam, dengan sikap terbuka terhadap perubahan, tanpa kehilangan akar tradisi yang kuat." Maka, kader HMI harus menjadi kaum intelektual yang tidak hanya berpikir global tetapi juga membumi dalam konteks lokal.

Smart Economy: Ekonomi Berkeadilan atau Kapitalisme Islami?

Di bidang ekonomi, kita melihat bagaimana kapitalisme global menciptakan ketimpangan yang semakin lebar. John Maynard Keynes (1936), ekonom yang menjadi arsitek ekonomi modern, pernah mengatakan bahwa “kapitalisme yang tidak dikontrol akan mengarah pada kehancuran sosial.”

Maka, pertanyaan penting bagi HMI dan alumninya: apakah akan menjadi bagian dari struktur ekonomi yang eksploitatif, atau berperan dalam menciptakan model ekonomi yang lebih berkeadilan? Smart Economy bukan sekadar bagaimana menguasai pasar, tetapi bagaimana ekonomi dapat menjadi alat distribusi kesejahteraan, bukan sekadar mesin akumulasi modal bagi segelintir elite. 

Alumni HMI yang berada di dunia bisnis dan pemerintahan harus menginisiasi kebijakan ekonomi yang lebih inklusif, yang memberdayakan masyarakat bawah, dan tidak hanya melayani kepentingan modal besar.

Selain itu, konsep ekonomi Islam yang berkeadilan harus menjadi pijakan utama. Muhammad Yunus (2006), dalam gagasannya tentang microfinance, membuktikan bahwa sistem ekonomi yang berbasis pemberdayaan masyarakat kecil dapat menciptakan kesejahteraan yang lebih merata.  

Yunus percaya bahwa kemiskinan bukanlah akibat dari kemalasan, melainkan karena kurangnya akses kepada sumber daya dan peluang. Sehingga komunitas-komunitas marjinal dibiayai tanpa tanpa memerlukan jaminan fisik, sehingga muncul tanggung jawab sosial dan solidaritas komunitas.

Model ekonomi seperti inilah yang harus diperjuangkan HMI dalam menciptakan keseimbangan antara prinsip Islam dan dinamika kapitalisme global.

Smart Governance: Administrasi atau Visi Perubahan?

Sementara itu, dalam bidang pemerintahan, kita dihadapkan pada fenomena birokrasi yang sering kali kehilangan esensi melayani. Michel Foucault (1975) dalam teori kekuasaannya menyoroti bahwa “kekuasaan tidak hanya bekerja melalui represi, tetapi juga melalui regulasi yang membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat.”

HMI sebagai organisasi yang melahirkan banyak pemimpin harus sadar bahwa “kekuasaan bukan sekadar alat untuk mengatur, tetapi juga medium untuk membebaskan”. 

Smart Governance harus berorientasi pada bagaimana kebijakan publik dapat “memberdayakan masyarakat, bukan malah menjadikan mereka semakin bergantung pada negara”.

Sejarah mencatat bahwa pemerintahan Islam yang ideal bukan hanya tentang administrasi, tetapi juga tentang visi perubahan yang menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. 

Salah satu contoh terbaik adalah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang tidak hanya dikenal sebagai administrator yang efisien, tetapi juga sebagai pemimpin yang memiliki keberpihakan kepada masyarakat kecil. 

Umar menerapkan prinsip akuntabilitas publik dalam pemerintahan, di mana ia selalu memastikan bahwa kebijakan yang diambil berpihak pada keadilan sosial dan kesejahteraan umat. Ia sering turun langsung ke masyarakat untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakannya tidak menimbulkan kesenjangan sosial.

Di sisi lain, sistem pemerintahan Khilafah Abbasiyah pada era Harun al-Rashid juga memberikan pelajaran penting mengenai bagaimana birokrasi dapat menjadi alat perubahan jika dikelola dengan baik. Di bawah kepemimpinannya, Baitul Hikmah menjadi pusat kajian ilmu dan inovasi yang bukan hanya berkontribusi bagi umat Islam, tetapi juga bagi peradaban dunia. 

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan yang cerdas bukan hanya soal pengelolaan administrasi negara, tetapi juga bagaimana menciptakan ekosistem yang memungkinkan rakyat berkembang dalam segala aspek kehidupan-ekonomi, sosial, hingga intelektual.

Dalam Era Demokrasi Digital saat ini keterbukaan informasi dan partisipasi publik semakin menjadi elemen kunci dalam tata kelola pemerintahan. Jika dulu Umar bin Khattab meminta pertanggungjawaban langsung dari para pejabatnya di pasar atau di masjid. 

Kini mekanisme pengawasan bisa dilakukan melalui teknologi digital yang memungkinkan transparansi dan kontrol sosial lebih efektif. E-Government dan Open Data menjadi instrumen penting dalam membangun pemerintahan yang akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Disinilah alumni HMI memiliki peran strategis. Mereka yang berada dalam sistem pemerintahan harus mempertahankan idealisme dan menjauhi pragmatisme politik yang sering kali membelokkan arah perjuangan.

Reformasi birokrasi berbasis transparansi dan akuntabilitas harus menjadi komitmen utama agar tata kelola pemerintahan tidak sekadar menjadi mesin administratif, tetapi instrumen perubahan yang nyata bagi kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks Indonesia, praktik birokrasi yang cenderung prosedural harus segera ditransformasikan menjadi “birokrasi yang berorientasi pada hasil dan kebermanfaatan bagi rakyat”.

Alumni HMI yang berada di lembaga pemerintahan, legislatif, maupun sektor publik lainnya harus menjadi pelopor dalam memperjuangkan kebijakan berbasis kepentingan masyarakat, bukan sekadar kepentingan kelompok atau oligarki.

Sebagaimana para pemimpin Islam terdahulu yang menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pemerintahan, maka sudah seharusnya Smart Governance yang diperjuangkan oleh kader-kader HMI berorientasi pada pemerintahan yang berkeadilan, transparan, akuntabel, dan mampu memberdayakan rakyat secara berkelanjutan.

Smart Community: Membangun Jaringan Sosial yang Berdaya

Di tengah arus globalisasi yang semakin deras, identitas menjadi semakin penting untuk dijaga. Smart Community bukan hanya soal melestarikan warisan budaya secara fisik, tetapi bagaimana komunitas dapat mempertahankan nilai-nilai intelektual dan spiritualnya dalam kehidupan modern. 

Samuel Huntington (1996), dalam teorinya tentang benturan peradaban, mengingatkan bahwa “masyarakat yang kehilangan identitasnya akan mudah dikuasai oleh peradaban lain.” 

Jika HMI tidak ikut berperan dalam menjaga dan mengembangkan warisan intelektual Islam dan budaya Indonesia, maka generasi mendatang akan tumbuh dengan jiwa yang kosong-modern secara teknologi, tetapi miskin dalam nilai dan makna.

Lebih dari sekadar mempertahankan identitas, Smart Community menuntut kader HMI untuk membangun jaringan sosial yang inklusif dan berdaya.

Pertama, Mengembangkan Ekosistem Kolaboratif yakni dengan membangun platform digital yang menghubungkan alumni dan kader HMI di berbagai sektor (akademisi, bisnis, politik, aktivis sosial) berikut dengan mentoring lintas bidang agar kader dapat belajar dari pengalaman para senior yang telah lebih dulu berkiprah. 

Kedua, membangun komunitas berbasis riset dan pusat-pusat inovasi berbasis komunitas agar kader HMI tidak hanya berdiskusi tetapi juga menerapkan ilmu yang mereka pelajari dalam program pengabdian masyarakat. 

Ketiga, Membangun Solidaritas Ekonomi untuk Kemandirian Organisasi dengan mengembangkan model bisnis berbasis koperasi atau ekonomi sosial yang dapat membiayai program-program strategis HMI secara mandiri. 

Ketiga konsep tersebut tentunya membutuhkan kolaborasi lintas sektor-antara komunitas akademik, pelaku usaha, aktivis sosial, dan masyarakat luas-untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan bagi berbagai permasalahan sosial. 

Dengan memanfaatkan teknologi digital dan memperkuat nilai-nilai kolektif, komunitas HMI bisa menjadi episentrum perubahan yang berbasis aksi nyata, bukan sekadar wacana intelektual yang terisolasi di ruang diskusi.

Strategi HMI ke Depan

Di titik ini, HMI harus memilih: apakah ingin tetap menjadi kekuatan transformasi atau hanya menjadi bagian dari sejarah yang stagnan? Nurcholish Madjid (1992) pernah berkata, "kemunduran umat Islam terjadi bukan karena kurangnya ajaran yang benar, tetapi karena ketidakmampuan kita dalam menafsirkan ajaran tersebut sesuai dengan perkembangan zaman." 

Milad ke-78 ini harus menjadi momentum untuk merefleksikan kembali posisi HMI dalam peta perjuangan. Strategi HMI dan alumninya harus lebih konkret: “tidak hanya menghasilkan pemikir, tetapi juga pelaku perubahan yang mampu menavigasi kompleksitas zaman”.

Jika HMI hanya sibuk dengan diskusi dan perdebatan tanpa strategi yang jelas, maka ia hanya akan menjadi organisasi tua yang kehilangan relevansi. Sejarah tidak akan mengingat mereka yang hanya pandai berbicara, tetapi akan mencatat mereka yang benar-benar berjuang.

HMI harus kembali kepada akar perjuangannya: menciptakan kader yang cerdas secara intelektual, strategis dalam bertindak, dan konsisten dalam perjuangan. “Kecerdasan tanpa strategi adalah idealisme kosong, tetapi strategi tanpa kecerdasan hanya akan berujung pada ambisi yang sia-sia”.

Selamat Milad ke-78 HMI. Yakin Usaha Sampai. (*)

***

*) Oleh : Muhammad Sahlan, S.Sos., M.A., Presidium Majelis Daerah KAHMI Banyuwangi, sekaligus Dosen Dosen Universitas Islam Ibarahimy Banyuwangi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.