TIMES MALANG, MALANG – Ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar perdebatan elite ketika publik menoleh kepada PBNU dan mempertanyakan arah kepemimpinannya. Bukan hanya karena NU adalah organisasi Islam terbesar di dunia, tetapi karena ia telah menjadi jangkar moral di tengah pusaran perubahan sosial-politik Indonesia.
Saat jangkar itu tampak bergetar, publik menangkapnya sebagai pertanda bahwa sesuatu di bawah permukaan negeri ini sedang bergerak, mungkin bergeser, mungkin retak.
Namun untuk memahami kegaduhan ini-termasuk desakan sebagian kalangan agar pucuk pimpinan PBNU mundur-kita memerlukan jarak analitis. Krisis ini tidak dapat dibaca hanya sebagai drama internal, perselisihan struktural, atau tarik-menarik legitimasi.
Untuk menempatkannya secara jernih, kita harus melihat PBNU dalam peta yang lebih luas: perubahan geopolitik global, krisis legitimasi institusi dunia, dan transformasi sosial yang melanda Islam Asia Tenggara. Dengan cara itu, PBNU tidak lagi sekadar organisasi domestik, tetapi institusi moral global yang sedang menghadapi tekanan era baru.
Ada pola yang terlihat di seluruh penjuru dunia: institusi moral dan sosial yang dulu stabil kini menghadapi tekanan yang mereka tidak siap hadapi. Survei global dua dekade terakhir menunjukkan kemerosotan tajam kepercayaan publik terhadap lembaga keagamaan, politik, media, dan pendidikan.
Pola ini tidak unik di Barat; ia juga menyusup ke Asia Selatan, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Kita memasuki era ketika masyarakat menuntut dua hal yang tampak kontradiktif: kecepatan dan ketepatan moral. Institusi yang besar, lambat, dan terbentuk oleh sejarah panjang kesulitan memenuhi tuntutan semacam ini.
PBNU, sebagai salah satu institusi moral terbesar dunia Muslim, tidak kebal terhadap arus global tersebut. Kegaduhan internal yang terjadi bukan sekadar persoalan personal atau politik, melainkan gejala dari perubahan sosial yang lebih luas: publik digital tidak lagi bersedia menerima otoritas absolut. Mereka menuntut transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi moral. Saat indikator-indikator itu meredup, kegelisahan pun muncul.
Fenomena ini berkaitan erat dengan geopolitik global. Dua dekade terakhir menampilkan pertarungan ideologi Islam: modernisasi, konservatisme, liberalisasi, otoritarianisme, dan Islamisme politik.
Negara-negara Teluk membangun soft power melalui pendidikan dan bantuan keagamaan; Turki menegaskan diri sebagai kekuatan budaya Muslim baru; Malaysia memperkuat tata kelola Islam modern; sementara Indonesia-melalui NU-tampil sebagai simbol Islam moderat yang inklusif.
Ketika PBNU goyah, reputasi Indonesia sebagai pusat gravitasi Islam moderat ikut dipertanyakan. Soft power yang tadinya kuat perlahan kehilangan daya tarik. Krisis PBNU menjadi cermin koordinasi moral Indonesia: institusi besar bergerak tanpa sinkronisasi antara legitimasi spiritual dan prosedural.
Analisis politik komparatif menyebut ini krisis legitimasi tiga lapis: moralitas, prosedur, performa. Saat dua atau tiga lapis goyah sekaligus, ketidakpercayaan berkembang cepat.
Dalam perspektif global, kegaduhan di PBNU menampilkan pola serupa yang terjadi pada Vatikan, Gereja Anglikan, organisasi Yahudi di Amerika, atau partai buruh di Eropa: semakin besar tubuh institusi, semakin sulit menyesuaikan diri dengan kecepatan zaman. PBNU, dengan ratusan ribu pengurus dan jutaan anggota, berada di tengah persimpangan sejarah semacam itu.
Memahami krisis ini juga memerlukan pemahaman sejarah panjang NU. Sejak awal, NU dibangun sebagai komunitas tradisi, bukan organisasi kekuasaan. Ia tumbuh dari pesantren, kiai, dan masyarakat agraris.
NU menjadi kekuatan moral jauh sebelum menjadi kekuatan politik. Para pendirinya menjadikan NU sebagai penjaga tradisi Islam Nusantara, ruang belajar, dan ruang sosial yang menanamkan etika kemasyarakatan.
Namun perubahan besar datang setelah era reformasi. Desentralisasi politik, demokrasi terbuka, dan tuntutan rakyat memberi ruang bagi NU untuk masuk ke kebijakan publik. NU tidak lagi sekadar benteng tradisi; ia menjadi aktor penting dalam demokrasi Indonesia.
Pemimpinnya berperan di kabinet, parlemen, diplomasi internasional, dan sektor strategis lain. PBNU perlahan bertransformasi dari komunitas kultural menjadi lembaga institusional dengan struktur yang kompleks.
Dalam konteks ini, perubahan kepemimpinan PBNU bukan sekadar pergantian elite, tetapi refleksi bagaimana NU memosisikan diri dalam negara dan dunia yang berubah. Ketegangan antara struktur tradisional (kiai, pesantren, basis akar rumput) dan struktur modern (pengurus pusat, administrasi nasional, jaringan politik) selalu muncul.
Krisis saat ini menimbulkan pertanyaan lama: siapa memegang legitimasi tertinggi-tradisi atau prosedur? Moralitas atau struktur? Pesantren atau pusat? Pertanyaan ini membentuk kegelisahan publik hari ini.
Teori sistem Niklas Luhmann relevan di sini: institusi seperti NU hidup dalam sistem komunikasi ganda-moral, keagamaan, politik, publik digital. Saat keempat sistem ini berjalan dengan ritme berbeda, gesekan tak terelakkan.
Moralitas lambat namun stabil; politik cepat dan kalkulatif; publik digital liar dan impulsif; sistem keagamaan tradisional sangat lambat. PBNU kini terjepit di antara ritme berbeda ini. Saat ritme itu tak sinkron, publik merasakan aroma krisis bahkan sebelum meledak.
Di tingkat global, Islam Asia Tenggara memasuki babak baru persaingan pengaruh. Malaysia memperkuat lembaga syariah sebagai soft power regional; Singapura memperkuat pendidikan Islam modern; Thailand Selatan mengangkat ulama untuk meredakan konflik etnis. Dalam semua ini, NU dianggap pilar stabilitas Islam kawasan.
Tetapi stabilitas tidak cukup tanpa konsistensi moral. Ketika konsistensi itu dipertanyakan publik, kepercayaan internasional ikut melemah. Jika institusi moral terbesar di Indonesia mengalami turbulensi, siapa yang menjadi jangkar Islam moderat Asia Tenggara? Krisis ini bukan sekadar internal; ia soal relevansi global, reputasi negara, dan arah Islam moderat dunia.
Masa Depan Legitimasi dan Tantangan Kepercayaan Publik
Institusi besar tidak runtuh hanya oleh satu peristiwa. Mereka runtuh karena kelelahan historis, ketidaksiapan manajerial, dan kegagalan membaca sinyal zaman. PBNU tidak di titik itu, tetapi kegaduhan saat ini peringatan dini bahwa struktur legitimasi menipis. Tanpa langkah strategis, retakan itu bisa berkembang menjadi jurang sulit dijembatani.
Dalam analisis geopolitik, ini momen di mana institusi memilih antara konsolidasi internal atau akomodasi eksternal. Konsolidasi internal: menguatkan tata kelola, memperjelas struktur, memperbarui akuntabilitas.
Akomodasi eksternal: membuka dialog publik, memperkuat diplomasi moral, membangun kembali kepercayaan yang retak. Jalur paling sulit, tetapi terpenting, adalah menjalankan keduanya secara paralel: menata organisasi dari dalam sambil membangun kembali imajinasi publik dari luar.
PBNU memiliki modal sosial besar: jaringan pesantren, kiai, banom, dan masyarakat akar rumput. Modal ini bukan sumber daya abadi; harus dirawat, diperbarui, dipimpin dengan konsistensi moral.
Literatur politik Barat menekankan: legitimacy is performance. Legitimasi ditentukan bukan oleh sejarah, tetapi oleh cara institusi merespons tantangan saat ini. Masa depan PBNU tidak ditentukan oleh agungnya sejarah, tetapi oleh keputusan tegas dalam momen genting ini.
Kritik publik tidak menghancurkan institusi besar; yang menghancurkan adalah ketidakmampuan mendengar kritik sebagai sinyal untuk berubah. Ketika publik mempertanyakan kepemimpinan, mereka sebenarnya meminta penyegaran moral, bukan sekadar pergantian orang. Mereka ingin NU kembali menjadi ruang yang memberi arah, bukan hanya suara; rumah nilai, bukan arena prosedur.
Dalam kegaduhan ini tersimpan harapan: publik masih peduli. Publik masih menilai PBNU penting. Publik masih meyakini NU memiliki peran besar dalam moralitas bangsa. Ketika publik masih menoleh, itu artinya NU masih memiliki tempat dalam imajinasi kolektif.
Krisis ini adalah pintu: untuk menata ulang legitimasi, peran, dan relevansi dalam dunia yang berubah cepat. Indonesia membutuhkan PBNU yang kuat secara struktural dan moral.
Dunia membutuhkan Islam Nusantara yang kembali menjadi jangkar moderasi global. Semua itu dimulai dari keberanian melihat krisis bukan sebagai ancaman, tetapi kesempatan memperbaiki diri.
Institusi moral diukur dari caranya menghadapi badai. Badai yang datang hari ini mungkin momentum bagi NU untuk kembali menemukan dirinya. (*)
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |