TIMES MALANG, MALANG – Angka-angka ekonomi selalu terdengar meyakinkan. Bahkan, sering kali ia tampak seperti pernyataan resmi bahwa negara sedang baik-baik saja. Namun, di balik bahasa statistik yang rapi dan akurat, ada satu pertanyaan penting: apakah pertumbuhan ekonomi yang kita rayakan hari ini benar-benar menghadirkan kesejahteraan yang dirasakan publik, atau hanya mempercantik laporan pemerintah dalam dokumen makroekonomi?
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Perekonomian Indonesia pada triwulan III-2025 mencapai Produk Domestik Bruto (PDB) Rp6.060 triliun atas dasar harga berlaku, dan Rp3.444,8 triliun atas dasar harga konstan 2010.
Pertumbuhan ekonomi mencapai 1,43 persen secara kuartal-ke-kuartal (q-to-q), tumbuh 5,04 persen dibanding tahun lalu (y-on-y), dan secara kumulatif mencapai 5,01 persen.
Secara teknis, semua indikator terlihat stabil, bahkan cukup impresif di tengah ketidakpastian global. Tetapi stabil bukan berarti aman, dan angka 5 persen bukan berarti cukup.
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh sektor tertentu menunjukkan betapa rapuhnya struktur ekonomi kita. Dari sisi produksi, sektor Pengadaan Listrik dan Gas mencatat pertumbuhan tertinggi secara q-to-q sebesar 5,42 persen. Pada basis y-on-y, sektor Jasa Pendidikan tumbuh hingga 10,59 persen.
Sementara secara kumulatif (c-to-c), sektor Jasa Lainnya melonjak 10,37 persen. Sekilas, ini menggembirakan. Namun jika ditelisik lebih dalam, kita justru melihat pola konsentrasi pertumbuhan yang tidak merata, bahkan berpeluang menciptakan ketidakstabilan jangka panjang.
Sektor listrik dan gas tumbuh bukan semata karena industrialisasi yang meluas, melainkan karena penyesuaian tarif, peningkatan konsumsi domestik, serta akselerasi proyek energi. Sektor pendidikan bertumbuh bukan akibat reformasi mendasar, tetapi karena meningkatnya biaya layanan, digitalisasi sistem pendidikan, dan terbukanya kembali aktivitas pascapandemi.
Sementara sektor jasa lainnya sering kali menjadi keranjang penampung berbagai aktivitas ekonomi informal dan semi-formal yang tidak selalu berhubungan dengan peningkatan produktivitas.
Kedua, dari sisi pengeluaran, lonjakan ekspor hingga 6,77 persen (q-to-q), 9,91 persen (y-on-y), dan 9,13 persen (c-to-c) menjadi motor utama pertumbuhan. Namun kita harus ingat: ekspor Indonesia masih ditopang oleh komoditas mentah dan produk bernilai tambah rendah.
Ketergantungan semacam ini membuat pertumbuhan ekonomi rentan terhadap gejolak harga dunia. Kita bisa tumbuh tinggi tahun ini, lalu anjlok tahun depan. Dalam struktur ekonomi yang matang, pertumbuhan seharusnya didorong konsumsi rumah tangga dan investasi berkualitas, bukan semata volatilitas pasar global.
Ketiga, disparitas ekonomi antarwilayah masih menjadi pekerjaan rumah kronis. Jawa tetap menjadi penyumbang terbesar, mencapai 56,68 persen terhadap PDB nasional, dengan pertumbuhan 5,17 persen.
Artinya, lebih dari setengah perekonomian Indonesia masih bertumpu pada satu pulau. Jika Jawa batuk, Indonesia bisa demam. Ketimpangan semacam ini mempersulit penciptaan ruang pertumbuhan baru di luar Jawa, dan pada saat yang sama memperdalam ketergantungan nasional terhadap pusat ekonomi yang semakin jenuh.
Pertumbuhan lima persen dalam situasi sekarang memang patut diapresiasi, tetapi untuk negara sebesar Indonesia, angka itu belum cukup untuk melompat keluar dari jeratan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Para ekonom menyebut bahwa untuk bisa tumbuh menjadi negara maju, Indonesia membutuhkan pertumbuhan minimal 6–7 persen secara konsisten selama beberapa dekade. Dengan struktur ekonomi yang masih stagnan, target itu tak lebih dari mimpi jangka panjang yang selalu tertunda.
Di sinilah letak persoalan besarnya: kita merayakan pertumbuhan, tetapi jarang sekali membahas kualitas pertumbuhan itu sendiri. Siapa yang menikmati pertumbuhan? Apakah daya beli masyarakat meningkat? Apakah angka pengangguran terserap oleh sektor-sektor yang tumbuh? Apakah pertumbuhan itu memperkuat industri nasional atau justru membuat kita semakin tergantung pada impor teknologi dan ekspor komoditas murah?
Jika melihat lapisan realitas sosial hari ini mulai dari mahalnya harga pangan, stagnasi pendapatan buruh, hingga melemahnya kelas menengah pertanyaan itu semakin relevan. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh berhenti pada angka-angka, sebab pada akhirnya publik menilai bukan dari laporan BPS, melainkan dari isi dompet mereka.
Pemerintah perlu menggeser fokus dari “sekadar tumbuh” menjadi “tumbuh berkeadilan dan berkelanjutan”. Konsentrasi pertumbuhan harus diperluas ke luar Jawa melalui kebijakan fiskal yang lebih berani, pembangunan infrastruktur yang tepat sasaran, serta penciptaan ekosistem industri baru yang menambah nilai ekonomi secara signifikan.
Sektor pendidikan yang tumbuh pesat harus diarahkan bukan hanya menjadi pasar, tetapi pendorong produktivitas nasional. Sementara sektor energi yang berkembang harus memastikan akses yang lebih merata, bukan sekadar meningkatkan konsumsi.
Di tengah tantangan global seperti pelemahan ekonomi China, ketidakpastian geopolitik, hingga krisis iklim, Indonesia tak bisa lagi bergantung pada pola pertumbuhan lama. Kita membutuhkan terobosan struktural. Membiarkan ekonomi tumbuh secara otomatis tanpa intervensi arah yang jelas sama saja dengan meletakkan nasib bangsa pada statistik musiman.
Angka 5 persen hari ini mungkin tampak baik. Tetapi tanpa perubahan mendasar, kita hanya akan mengulang siklus yang sama: tumbuh, stagnan, lalu tumbuh sedikit lagi. Sudah saatnya Indonesia menuntut kualitas pertumbuhan yang sesungguhnya, bukan sekadar ilusi kemapanan dari grafik ekonomi yang terlihat stabil. (*)
***
*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |