TIMES MALANG, MALANG – Ketika ekonomi Indonesia disebut “tumbuh stabil”, sebagian besar masyarakat justru tidak merasakan kenyamanan dari pertumbuhan itu. Di kota, harga sewa ruang usaha melonjak; di desa, petani tetap bermain di lingkaran biaya produksi yang tak pernah turun.
Kita hidup dalam paradoks ekonomi: grafik naik, realitas tertekan. Inilah alasan mengapa wacana membangun lingkungan ekonomi yang sehat menjadi keharusan, bukan sekadar jargon.
Lingkungan ekonomi tidak hanya soal angka pertumbuhan, indeks investasi, atau predikat kota ramah usaha. Lingkungan ekonomi adalah ekosistem tempat produksi berjalan, transaksi terjadi, dan nilai tambah mengalir secara adil.
Ketika satu saja elemen ekosistem ini tidak sehat entah distribusi timpang, regulasi berat sebelah, atau pasar dikuasai segelintir pemain maka seluruh kehidupan ekonomi masyarakat ikut terganggu.
Masalahnya, pembangunan ekonomi Indonesia masih sering terjebak pada pendekatan growth-first, seakan-akan pertumbuhan otomatis melahirkan pemerataan. Faktanya tidak demikian. Pertumbuhan tanpa pemerataan hanya melahirkan kesenjangan; kesenjangan tanpa kebijakan korektif hanya menghasilkan ketimpangan sosial. Maka, persoalan utama bukan pada kemampuan kita tumbuh, tetapi pada kemampuan menciptakan pertumbuhan yang dirasakan oleh masyarakat.
Salah satu tantangan terbesar dalam membangun lingkungan ekonomi adalah perubahan pola persaingan. Pasar yang dulunya cair kini terstandarisasi oleh teknologi.
UMKM yang tak siap digital pelan-pelan tersingkir. Sektor konvensional warung ritel kecil, pedagang kaki lima, pengrajin lokal harus berhadapan dengan platform raksasa yang menguasai distribusi, iklan, hingga preferensi konsumen. Kita dihadapkan pada situasi di mana ekonomi digital menjadi arus utama, namun regulasi adaptif tertinggal jauh.
Karena itu, membangun lingkungan ekonomi berarti memastikan transformasi digital tidak berhenti pada adopsi teknologi, tetapi juga memperhatikan kelangsungan pelaku ekonomi lokal yang bekerja dengan pola tradisional.
Transformasi bukan soal mengganti yang lama dengan yang baru, melainkan menyatukan keduanya dalam ruang persaingan yang adil. Di titik inilah kebijakan negara, pemerintah daerah, dan lembaga pembangunan ekonomi harus hadir.
Kota dan daerah yang berhasil membangun lingkungan ekonomi yang sehat biasanya memiliki tiga komponen: regulasi yang melindungi, akses yang diperluas, dan kemampuan yang diperkuat. Regulasi yang melindungi berarti negara hadir mengontrol dominasi pasar dan memberikan posisi tawar untuk pemain kecil.
Akses diperluas berarti pelaku ekonomi dari UMKM sampai koperasi desa mendapat peluang masuk ke rantai pasok dan pasar modern. Sedangkan kemampuan diperkuat berarti pelatihan, inkubasi, dan pendampingan dilakukan secara sistematis, bukan musiman.
Namun masalah yang banyak terjadi adalah pemerintah daerah sering hanya fokus pada hasil fisik membangun sentra UMKM, menggelar festival produk, atau membuat etalase digital. Sementara persoalan fundamental seperti perizinan, biaya logistik, kualitas SDM, hingga literasi keuangan UMKM masih belum ditangani secara serius.
Lingkungan ekonomi yang sehat tidak akan tumbuh jika pelaku usaha tidak memiliki kapasitas. Mereka yang tidak paham manajemen arus kas akan selalu kalah. Mereka yang tidak melek digital akan terpinggirkan. Mereka yang tidak memiliki akses modal akan tertahan di skala mikro seumur hidup. Jika kondisi ini dibiarkan, maka kita hanya menciptakan ekonomi yang indah dari jauh tetapi rapuh dari dekat.
Selain itu, kita harus jujur mengakui bahwa birokrasi ekonomi masih menjadi salah satu penghambat terbesar dalam menciptakan kualitas lingkungan ekonomi yang sehat. Perizinan berbelit, pungutan liar, dan permainan rente di sektor-sektor tertentu bukan hanya merusak iklim usaha tetapi juga melemahkan motivasi pelaku ekonomi lokal untuk berkembang. Mereka yang kuat akan membeli jalan pintas, sementara mereka yang lemah memilih bertahan sekadarnya.
Membangun lingkungan ekonomi berarti juga menciptakan ruang dialog antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat. Ekonomi bukan hanya soal angka, tapi juga soal keputusan-keputusan yang berdampak jangka panjang: apakah kita ingin ekonomi yang cepat tumbuh tetapi tidak inklusif? Atau ekonomi yang mungkin tumbuh sedikit lebih lambat tetapi memberi kesempatan yang sama bagi semua orang?
Di era pascadigital sekarang, yang dibutuhkan Indonesia adalah ekosistem ekonomi yang memihak pada kreativitas, mendorong inovasi, dan melindungi keberlanjutan. Program inkubasi bisnis harus diperluas. Akses permodalan harus diperlonggar tanpa membahayakan integritas keuangan. Pemerintah daerah harus menjadi platform enabler, bukan sekadar regulator atau pemungut retribusi.
Jika kita gagal membangun lingkungan ekonomi yang sehat sejak sekarang, maka kita sedang mendesain masa depan yang penuh ketimpangan. Tetapi jika kita berhasil menciptakan ekosistem yang adil, adaptif, dan berkelanjutan, maka ekonomi kita tidak hanya akan tumbuh melainkan hidup, terasa, dan menghidupkan masyarakat. (*)
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |