https://malang.times.co.id/
Opini

Wajah Politik Dibalik Desakan Mundur Ketum PBNU

Minggu, 23 November 2025 - 15:56
Wajah Politik Dibalik Desakan Mundur Ketum PBNU Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Desakan agar Gus Yahya Cholil Staquf mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU kembali menyita perhatian publik. Isu ini tidak hanya berdampak pada dinamika internal Nahdlatul Ulama, tetapi juga mengguncang persepsi masyarakat mengenai relasi antara agama dan kekuasaan. 

Sebagian orang mungkin ingin melihatnya sebagai sekadar perbedaan pendapat atau dinamika organisasi. Namun realitasnya jauh lebih kompleks: aroma politik terlalu kuat untuk diabaikan, bahkan nyaris menutupi wajah asli problem yang sedang terjadi.

NU bukan sekadar organisasi keagamaan. Ia adalah institusi sosial dengan sejarah panjang, pengaruh luas, dan basis massa terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Artinya, setiap gerak-gerik dalam tubuh PBNU selalu berkelindan dengan kepentingan politik, baik yang datang dari luar maupun yang tumbuh dari dalam. 

Ketika suara-suara menuntut Gus Yahya turun dari kursi ketua umum, jelas bahwa ini bukan hanya soal tata kelola organisasi atau perbedaan metode kepemimpinan. Ini soal perebutan pengaruh, arah kebijakan masa depan, dan siapa yang berhak mengklaim legitimasi moral dan politik di tubuh NU.

Kita harus jujur mengakui bahwa ruang sosial keagamaan terbesar di negeri ini tidak pernah steril dari kepentingan. NU adalah arena kontestasi, baik simbolik maupun strategis. 

Sejak awal berdirinya, NU berada dalam pusaran politik praktis dari era Masyumi, keterlibatan dalam Pemilu 1955, tarik ulur di masa Orde Baru, hingga lahirnya PKB dan manuver politik tokoh-tokoh NU pascareformasi. Maka ketika hari ini terjadi tensi internal, itu bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul, melainkan rangkaian panjang sejarah yang kembali menemukan panggungnya.

Desakan mundur yang dialamatkan kepada Gus Yahya perlu dilihat dalam konteks ini. Dalam tubuh organisasi yang sangat plural, perubahan struktur atau gaya kepemimpinan sering kali dibaca sebagai perubahan arah politik. 

Ada yang merasa tersisih, ada yang merasa perlu mengembalikan dominasi, dan ada pula kelompok yang memandang bahwa PBNU harus menjauh dari hiruk-pikuk kekuasaan. Tetapi, apakah mungkin sebuah organisasi sebesar NU benar-benar menjauh dari politik? Inilah paradoksnya.

Ketika publik menilai bahwa tensi internal NU mencerminkan “wajah politik” yang sebenarnya, sesungguhnya mereka sedang menyoroti fenomena yang sudah lama terjadi: politik tidak hanya hadir di kantor partai, tetapi juga di rumah ibadah, pada forum-forum keagamaan, dan di setiap ruang yang memiliki massa. 

Politik tidak selalu berupa perebutan jabatan publik; ia juga berupa perebutan ruang pengaruh, legitimasi moral, dan simbol-simbol yang mampu menggerakkan jutaan orang.

Gus Yahya berada di persimpangan ini. Kepemimpinannya dikenal tegas, modern, dan berani mengambil sikap pada isu-isu sensitif. Tetapi pada saat yang sama, sikap tersebut memunculkan resistensi dari sebagian kelompok yang merasa NU bergerak terlalu cepat atau terlalu dekat dengan kepentingan tertentu. 

Ketika kepemimpinan menciptakan perubahan, pertentangan adalah konsekuensinya. Namun ketika pertentangan itu kemudian mengarah pada desakan mundur, di situlah kita melihat dimensi politik yang lebih terang: ini bukan lagi soal kebijakan, tetapi soal kekuasaan.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa demokrasi internal organisasi besar sering kali tidak jauh berbeda dari dinamika partai politik. Ada lobi, ada koalisi, ada kelompok penekan, ada yang merasa suaranya tidak didengar, dan ada pula yang mencoba menguasai narasi publik. 

Politik tidak selalu buruk. Politik adalah mekanisme alamiah untuk menegosiasikan kepentingan. Namun politik menjadi masalah ketika dipakai untuk memecah, bukan menyatukan.

Desakan mundur terhadap Gus Yahya juga patut dibaca sebagai indikasi bahwa NU kini berada pada titik kritis: mau dibawa ke mana organisasi ini dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan? 

Apakah NU akan melanjutkan peran sebagai penyangga moderasi nasional, agen perubahan sosial, dan penyebab stabilitas? Ataukah ia kembali menjadi arena perebutan pengaruh yang menguras energi umat?

Apapun jawabannya, satu hal pasti: tidak ada organisasi besar yang kebal dari politik. Dan karena NU adalah organisasi berbasis Islam terbesar di dunia, politiknya pun tak bisa dipandang kecil. Justru di sinilah pentingnya kedewasaan para aktor di dalamnya. Kontestasi boleh terjadi, tetapi jangan sampai martabat organisasi menjadi tumbal.

Gus Yahya boleh setuju atau tidak dengan kritik yang dialamatkan padanya. Kelompok-kelompok yang meminta beliau mundur pun berhak menyampaikan pendapatnya. Tetapi seluruh proses itu harus membawa NU pada kedewasaan baru, bukan pada krisis legitimasi. 

Ketika publik menyaksikan dinamika ini, mereka tidak sedang melihat pertarungan personal, melainkan sedang melihat wajah politik Indonesia yang sebenarnya: cair, rumit, penuh kepentingan, tetapi juga penuh harapan jika bisa dikelola dengan bijak.

NU tidak diciptakan untuk menjadi panggung kekuasaan, tetapi ia tidak bisa menghindari takdir sosialnya sebagai salah satu pilar terbesar bangsa. Dan di titik ini, desakan mundur terhadap Gus Yahya hanyalah satu episode dari perjalanan panjang sebuah organisasi yang memiliki terlalu banyak pengaruh untuk bisa berdiri di luar gelanggang politik.

Inilah wajah politik kita: tidak selalu di DPR, tidak selalu di partai, tetapi kadang hadir dalam bentuk ketegangan internal sebuah organisasi keagamaan. Dan justru di sanalah politik menemukan wujudnya yang paling jujur. (*)

***

*) Oleh : Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.