TIMES MALANG, MALANG – Ada satu fakta yang semakin sulit dibantah: tradisi membaca di sekolah yang seharusnya menjadi napas utama pendidikan kini nyaris hilang. Membaca tidak lagi menjadi bagian inti dari proses belajar, melainkan sekadar aktivitas simbolis yang dilakukan saat ada penilaian, program seremonial, atau kewajiban administratif.
Di banyak sekolah, membaca bukan lagi budaya, tetapi kegiatan yang dipaksa. Hasilnya? Siswa tumbuh tanpa kebiasaan berpikir mendalam, guru kesulitan membangun diskusi yang bermutu, dan sekolah kehilangan ruh intelektualnya.
Ironisnya, kita hidup di era ketika materi bacaan bertebaran di mana-mana. Tetapi justru di era banjir informasi inilah kemampuan membaca yang kritis dan mendalam semakin langka.
Siswa lebih akrab dengan scrolling daripada reading, lebih banyak mengonsumsi potongan informasi pendek daripada teks panjang yang memerlukan perenungan. Perubahan perilaku ini dibiarkan begitu saja seolah tidak berdampak apa-apa, padahal ini adalah ancaman terbesar bagi kualitas pendidikan kita.
Masalahnya bukan karena siswa tidak mau membaca. Masalahnya karena sistem pendidikan tidak menempatkan membaca sebagai aktivitas utama yang menyenangkan, bermakna, dan terintegrasi. Membaca sering diperlakukan sebagai beban, bukan kebutuhan intelektual.
Pertama, kurikulum kita terlalu padat konten tetapi miskin ruang membaca. Guru sering berlomba mengejar target penyampaian materi hingga lupa bahwa proses memahami lebih penting daripada proses menyelesaikan halaman.
Sesi membaca dalam kelas sering dianggap “membuang waktu”, sementara ceramah panjang dan slide materi dianggap lebih efektif. Padahal kemampuan memahami bacaan adalah fondasi dari semua disiplin ilmu—tanpa itu, siswa hanya menghafal, bukan mengerti.
Kedua, sekolah gagal membangun ekosistem literasi yang hidup. Banyak perpustakaan sekolah lebih mirip gudang buku daripada pusat aktivitas intelektual. Buku-buku lama dengan rak berdebu, koleksi yang tidak diperbarui, jam akses terbatas, dan tidak ada kegiatan literasi yang membuat siswa ingin kembali ke sana. Lalu kita bertanya-tanya mengapa minat baca rendah, padahal ruang untuk membaca saja tidak dirawat sebagai tempat yang layak.
Ketiga, guru jarang diberikan pelatihan membaca kritis atau strategi close reading. Bagaimana mungkin siswa membaca dengan baik jika gurunya tidak dibekali pendekatan pedagogis yang tepat?
Penguasaan literasi bukan hanya soal bisa membaca, tetapi soal bagaimana menafsirkan, mengkritisi, dan menghubungkan bacaan dengan konteks hidup. Tanpa guru yang memiliki tradisi membaca, pendidikan literasi hanya akan berakhir sebagai formalitas dalam dokumen sekolah.
Keempat, teknologi yang seharusnya membantu justru memperburuk situasi ketika tidak diatur dengan baik. Gawai menghadirkan distraksi ekstrem yang mengalihkan perhatian siswa bahkan sebelum mereka membuka buku.
Banyak sekolah menyerah pada situasi ini, tanpa mencari cara untuk mengintegrasikan teknologi secara kreatif dalam aktivitas membaca. Padahal teknologi bisa menjadi jembatan, bukan musuh.
Kehilangan budaya membaca bukan sekadar masalah akademik; ini adalah masalah peradaban. Tanpa kemampuan membaca yang kuat, siswa menjadi rapuh terhadap misinformasi, mudah percaya pada narasi dangkal, dan tidak mampu membangun argumen rasional. Masyarakat yang melemahkan tradisi membaca akan menghasilkan generasi yang mudah dikendalikan, kehilangan daya kritis, dan miskin kreativitas.
Pertama, sekolah perlu menjadikan membaca sebagai pilar utama pembelajaran. Tidak ada pembelajaran bermutu tanpa bacaan bermutu. Setiap mata pelajaran apapun bentuknya harus menyertakan aktivitas membaca yang mendalam, bukan sekadar “baca dulu paragrafnya”.
Guru harus mendorong siswa untuk membaca sebelum berdiskusi, bukan sebaliknya. Dengan cara ini, kelas berubah dari ruang ceramah menjadi ruang dialog.
Kedua, revitalisasi perpustakaan harus menjadi agenda besar. Perpustakaan harus diubah menjadi ruang kreatif, nyaman, dan interaktif. Koleksi harus diperbarui, fasilitas diperbaiki, dan program literasi dibuat menarik: klub baca, sesi bedah buku, hingga kompetisi resensi. Perpustakaan yang hidup akan melahirkan siswa yang hidup pikirannya.
Ketiga, guru harus menjadi role model pembaca. Tidak ada budaya literasi tanpa teladan. Guru yang membaca akan menulari siswanya dengan energi intelektual yang berbeda. Untuk itu, perlu ada pelatihan intensif mengenai strategi membaca kritis dan teknik pengajaran literasi dalam berbagai mata pelajaran.
Keempat, digitalisasi literasi harus diarahkan pada pengayaan, bukan pengalihan. Platform e-book, jurnal pendidikan, dan aplikasi membaca dapat menjadi alternatif yang menyenangkan jika digunakan dengan strategi yang tepat. Integrasi teknologi dapat menumbuhkan minat baca jika diimbangi dengan kontrol distraksi dan arahan pedagogis yang jelas.
Hilangnya tradisi membaca bukan sekadar persoalan rendahnya minat siswa, tetapi cerminan dari sistem pendidikan yang kehilangan arah. Pendidikan tanpa membaca hanyalah proses administratif yang sibuk, tetapi kosong. Pendidikan yang menjauh dari tradisi intelektual hanya akan menghasilkan generasi yang cepat mengonsumsi informasi, tetapi lambat memahami.
Jika sekolah ingin melahirkan generasi yang kritis, kreatif, dan berkarakter, maka tidak ada jalan lain selain mengembalikan membaca ke pusat panggung. Bukan sebagai tugas, bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai inti pembelajaran. (*)
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |