TIMES MALANG, MALANG – Kampus sejak awal dibayangkan sebagai rumah akal sehat, tempat ilmu tumbuh tanpa sekat kepentingan dan nalar dirawat jauh dari hiruk-pikuk kekuasaan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, lanskap itu kian keruh.
Di balik tembok fakultas dan ruang senat, politik elektoral birokrasi kampus bergerak lirih, seperti arus bawah laut yang tak kasatmata tetapi mampu mengguncang fondasi. Kampus, yang seharusnya menjadi mercusuar pengetahuan, perlahan menyerupai arena kontestasi kuasa dengan wajah yang disamarkan.
Pemilihan rektor, dekan, hingga kepala lembaga akademik kerap dipromosikan sebagai praktik demokrasi internal. Secara prosedural, semuanya tampak rapi: ada penjaringan, pemaparan visi, pemungutan suara.
Namun, di balik formalitas itu, elektoral kampus sering kali menjelma ritual administratif yang kehilangan ruh meritokrasi. Visi menjadi selebaran, program menjadi jargon, sementara suara akademik tenggelam di bawah kalkulasi dukungan dan peta kekuatan birokrasi.
Politik birokrasi kampus bekerja dengan bahasa yang halus, tetapi efeknya keras. Koalisi dibangun bukan atas dasar gagasan, melainkan kedekatan struktural. Dukungan dihimpun bukan karena keberanian intelektual, melainkan karena janji posisi, akses anggaran, atau rasa aman karier.
Seperti pasar malam yang gemerlap, janji-janji dipamerkan, sementara kualitas kepemimpinan sering luput dari penilaian yang jujur. Kampus pun berubah menjadi panggung sandiwara, di mana aktor-aktor memainkan peran demokratis, tetapi naskahnya ditulis oleh kepentingan.
Dalam iklim seperti ini, birokrasi kampus tak lagi sekadar alat tata kelola, melainkan mesin elektoral. Aturan dipelintir lentur, tafsir regulasi menjadi elastis, dan prosedur administratif digunakan sebagai pagar selektif: tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Mereka yang kritis disisihkan secara halus, sementara yang patuh dirawat dan dinaikkan. Politik kampus tidak menindas dengan kekerasan, tetapi melemahkan melalui normalisasi. Lama-kelamaan, ketidakadilan terasa wajar, dan keheningan dianggap kebijaksanaan.
Dampaknya tidak berhenti pada kursi pimpinan. Atmosfer akademik ikut terkontaminasi. Dosen muda belajar bahwa kecemerlangan ilmiah tidak selalu berbanding lurus dengan peluang kepemimpinan. Mahasiswa menyerap pesan sunyi bahwa suara kritis tidak menentukan arah kampus.
Riset dan pengabdian diarahkan mengikuti selera penguasa birokrasi, bukan kebutuhan ilmu dan masyarakat. Kampus pun kehilangan keberanian untuk berdebat, karena perbedaan pandangan dianggap ancaman stabilitas elektoral.
Lebih jauh, elektoral birokrasi kampus melahirkan paradoks: demokrasi tanpa deliberasi. Pemilihan berlangsung, tetapi perdebatan substansial absen. Program disampaikan, tetapi tidak diuji. Rekam jejak ada, tetapi tidak dibedah.
Demokrasi direduksi menjadi angka, seolah suara adalah tujuan akhir, bukan sarana untuk memilih pemimpin terbaik. Di titik ini, demokrasi kampus menjadi cermin buram demokrasi nasional ramai di permukaan, hampa di kedalaman.
Ironisnya, kampus sering menjadi pengkhotbah etika politik di ruang publik, sementara di dalam rumahnya sendiri etika itu rapuh. Integritas diajarkan di kelas, tetapi dinegosiasikan di ruang rapat. Meritokrasi ditulis dalam statuta, tetapi dikebiri oleh patronase. Kampus seperti menuntut dunia berlaku adil, sambil menunda keadilan di halaman sendiri. Kontradiksi ini menggerogoti legitimasi moral pendidikan tinggi.
Apakah politik harus disingkirkan dari kampus? Tidak sesederhana itu. Politik, dalam makna pengelolaan kepentingan bersama, adalah keniscayaan. Yang bermasalah adalah ketika politik elektoral menelan etos akademik.
Kampus membutuhkan kepemimpinan yang lahir dari adu gagasan, bukan adu jaringan; dari rekam jejak ilmiah, bukan kelincahan lobi. Proses elektoral semestinya menjadi ruang pendidikan demokrasi substantif, bukan sekadar lomba mengumpulkan suara.
Reformasi politik birokrasi kampus menuntut keberanian struktural dan kultural. Secara struktural, transparansi harus ditegakkan: kriteria kepemimpinan yang jelas, penilaian berbasis rekam jejak, dan mekanisme uji publik yang sungguh-sungguh.
Secara kultural, keberanian akademik perlu dipulihkan: ruang kritik dilindungi, perbedaan dihormati, dan kepatuhan buta tidak diberi ganjaran. Tanpa itu, kampus akan terus memproduksi pemimpin yang pandai bertahan, tetapi miskin arah.
Elektoral kampus adalah cermin masa depan ilmu. Jika prosesnya jujur dan deliberatif, kampus akan melahirkan pemimpin yang memuliakan akal sehat. Jika sebaliknya, kampus hanya akan mengulang siklus kekuasaan yang rapi di atas kertas, rapuh di dalam makna.
Di tengah zaman yang menuntut integritas, kampus ditantang untuk memilih: menjadi laboratorium demokrasi yang beradab, atau kotak suara sunyi yang merayakan prosedur sambil melupakan substansi.
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |