TIMES MALANG, JAKARTA – Sebagai negara demokrasi, Indonesia menerapkan konsep Trias Politica. Dalam konsep ini, kekuasaan dibagi menjadi 3 lembaga. Dimana Setiap lembaga kekuasaan memiliki kewenangan dan kekuasaan sesuai porsinya sebagaimana yang diberikan oleh UUD 1945.
Untuk itu, Tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan mutlak, dan ke 3 lembaga tidak boleh saling mengintervensi (Irianto et al., 2017).
Pembagian sebagaimana kekuasaan sebagaimana yang dimaksud ini mencakup yaitu Lembaga Legislatif dengan tugas sebagai pembuat undang-undang, Lembaga Eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, dan Lembaga Yudikatif sebagai pemantau pelaksanaan undang-undang.
Pembagian tugas ini dimaksudkan agar ketiga lembaga tersebut dapat saling mengawasi dan menyeimbangkan (check and balances) sehingga mencegah terjadinya absolutisme kekuasaan (Suryawan, 2020).
Namun, Penerapan trias politica dalam ketatanegaraan sering menghadapi tantangan kompleks, di mana dinamika politik dan kepentingan praktis mengaburkan batas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta mengabaikan prinsip pemisahan kekuasaan demi agenda politik.
Sekarut Marut Persoalan Intervensi dan Relasi
Beberapa hari lalu misalnya, DPR mengesahkan revisi Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR) melalui rapat BALEG. Revisi ini menambahkan Pasal 228A yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengevaluasi pejabat negara, termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Hakim Mahkamah Agung (MA).
Kewenangan ini menimbulkan kontroversi karena berpotensi mengancam independensi lembaga yudikatif yang kududukannya setara dengan legislatif. Kecurigaan ini beralasan, mengingat pada 2022 DPR pernah mencopot Hakim MK Aswanto karena dianggap sering menganulir produk legislasi DPR. Pencopotan ini dinilai politis karena tidak didasarkan pada alasan hukum yang kuat.
Namun di lain sisi , MK juga pernah dikritik melakukan abusive judicial activism melalui Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres-cawapres. MK dianggap melampaui kewenangannya dengan menambahkan frasa “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”.
Padahal ini merupakan open legal policy yang menjadi domain DPR. yang seharusnya menjadi menjadi kewenangan DPR sebagai pembuat undang-undang. walaupun Produk yuridis namun Putusan MK lebih bernuansa politis.
Kekisruhan Trias Politica bukan hanya pada persoalan intervensi namun juga batasan antar lembaga sebagai check and balances kekuasaan. keputusan Presiden terpilih Prabowo Subianto dengan melibatkan seluruh partai politik dalam pemerintahannya berpotensi mengancam prinsip ini. Karena dengan begitu tentu ini akan mengurangi jumlah oposisi.
Dampaknya keputusan politik di parlemen cenderung akan dikendalikan eksekutif sehingga berpotensi menciptakan dominasi eksekutif atas legislatif. Hal ini tentu akan melemahkan pemisahan kekuasaan sehingga dapat mengikis peran legislatif yang seharusnya mengawasi eksekutif.
Pegalaman kepemimpinan Joko Widodo menunjukkan dampak buruk ketika legislasi didominasi eksekutif. Tentu hal ini akan berdampak pada pengawasan yang tidak optimal dari ruang parlemen.
Pada Akhirnya Legislatif yang seharusnya memberikan ruang partsipasi publik yang bermakna, justru hanya menjadi alat stempel eksekutif untuk mengesahkan kebijakan yang sering bermasalah.
Menguatkan Lembaga Pengawasan dan Mendorong Aktivisme
Berbagai problematis diatas jelas menggambarkan bagaimana Trias Politika dapat melebur sesuai dengan arah kepentingan politik, padahal Sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) konsep relasi antar kekuasaan harus sepenuhnya didasarkan pada Rule of law dan bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat). Maka Untuk memastikan setiap cabang kekuasaan berfungsi sesuai koridornya, pengawasan dari ketiga lembaga perlu diperkuat.
Dalam ranah yudikatif Penguatan kelembagaan dapat dilakukan dengan menciptakan mekanisme pembatalan dan evaluasi putusan yang cacat prosedural dalam hal ini yaitu MA dan MK sebagai pengadilan tingkat tinggi. Hal ini guna memastikan putusan yang dihasilkan dari proses yang tidak memenuhi standar formil dapat dicegah sebelum dilaksanakan.
Selain itu, di ranah legislatif, MKD sebagai pemegang kewenangan harus membatasi intervensi kepentingan partai politik agar tidak mengaburkan fungsi legislatif. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembatasan yang tegas dan pembentukan badan investigasi yang memiliki legitimasi yuridis.
Dengan langkah tersebut, legislatif dapat terhindar dari risiko absolutisme kekuasaan. Badan investigasi ini akan memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, fungsi pengawasan dan keseimbangan kekuasaan dapat terjaga dengan lebih baik.
Selain itu daripada pengawasan internal kelembagaan. Masyarakat memiliki peran penting dalam melakukan social checks and balances untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dapat dilakukan dengan media yang independen dan dorongan aktivisme hukum secara masif.
Premis ini sudah terbukti ketika adanya percobaan dari pembangkangan pada Putusan MK oleh DPR dan Pemerintah, RUU yang coba dikebut secara kilat tersebut dibatalkan pengesahanny karena ada kesadaran dorongan dari Civil society.
Maka, inilah yang harus kita jaga bersama agar Harmonisasi trias Politica ini dapat terjaga sehingga melahirkan esensi bernegara yang sesungguhnya.
***
*) Oleh : Muhammad Jundi Fathi Rizky, Mahasiswa Aktif Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah dan Peneliti di Distrik HTN Institute.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |