TIMES MALANG, MALANG – Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa ini kembali mengulang mantra persatuan: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Kita menyebutnya Sumpah Pemuda, tonggak sejarah yang membentuk Indonesia sebagai imajinasi kolektif yang jadi kenyataan.
Kita hidup di era di mana segala hal bisa viral dalam hitungan menit, tetapi aksi nyata sering berhenti pada layar smartphone. Pemuda lebih cepat mengkritik daripada ikut memperbaiki. Lebih sering menuntut perubahan daripada memulai dari diri sendiri.
Di banyak kesempatan, mereka gagah mengutuk korupsi, tetapi tak segan menitip absen di kelas atau memanipulasi laporan kegiatan. Mereka berteriak menolak diskriminasi, tetapi tetap memperlakukan minoritas dengan sinis. Mereka berkata memperjuangkan demokrasi, tetapi mudah membungkam pendapat orang lain yang berbeda pandangan.
Realitas ini pahit, tetapi perlu diakui. Jadi pemuda hari ini harus berhenti memuji diri sendiri seolah otomatis menjadi harapan bangsa hanya karena berusia muda. Harapan itu harus dibuktikan, bukan diwarisi.
Sumpah Pemuda bukan sekadar seremonial pengibaran bendera dan unggahan estetik bertagar perjuangan. Ia adalah proyek peradaban. Para pemuda 1928 tidak bersumpah di tengah kenyamanan; mereka bersumpah dalam tekanan penjajahan, dengan risiko nyawa sebagai taruhannya. Mereka bersatu bukan karena trend, tetapi karena kesadaran politik yang matang: kolonialisme tidak bisa dikalahkan oleh pemuda yang terpecah.
Di era sekarang, “penjajah” memang tidak lagi datang membawa senapan. Mereka hadir dalam bentuk baru: korupsi yang mengakar, politik transaksional, rendahnya literasi, banjir informasi palsu, krisis moral digital, hingga eksploitasi ekonomi yang menghisap kreativitas anak muda menjadi sekadar konsumen.
Ancaman-ancaman ini tidak kalah berbahaya dibanding kolonialisme dulu. Bedanya, musuh kini tidak terlihat jelas sering justru tinggal sekamar dengan kita: rasa malas, mental instan, gengsi tanpa prestasi.
Banyak pemuda lebih sibuk mengejar eksistensi daripada kontribusi. Bersaing bukan dalam gagasan, melainkan dalam citra dan gaya hidup. Tanpa sadar, potensi terbesar mereka dikunci oleh ketakutan akan kegagalan takut dicemooh, takut mencoba hal besar tanpa jaminan sukses.
Sejarah Indonesia penuh oleh pemuda yang berani gagal sebelum berhasil. Soekarno diasingkan, Tan Malaka dibuang ke negeri jauh, Kartini dipinggirkan oleh zamannya. Mereka tahu bahwa melangkah untuk perubahan berarti siap menghadapi pukulan pertama.
Jika pemuda hari ini ingin punya tempat yang sama dalam sejarah, mereka harus berhenti menjadi penonton. Mereka harus turun menjadi aktor.
Itu berarti mengasah kemampuan, memperkuat literasi, memperluas jaringan, berorganisasi, membangun karya, memberanikan diri masuk ruang-ruang strategis. Dunia hari ini tidak butuh pemuda reaktif yang mudah tersulut isu sekejap lalu hilang tanpa jejak. Dunia butuh pemuda produktif yang menciptakan solusi dan menggerakkan orang lain untuk ikut serta.
Gerakan sosial bukan lagi sekadar rapat di sekretariat; ia kini juga hadir dalam startup, inovasi teknologi, riset ilmiah, media alternatif, dan pengorganisasian komunitas di akar rumput. Pemuda harus merdeka dari kebergantungan: merdeka finansial, merdeka berpikir, dan merdeka menentukan masa depan tanpa menunggu restu oligarki politik.
Di tengah pesimisme terhadap situasi nasional, kontribusi pemuda tetap muncul dan layak diapresiasi: anak muda merintis usaha lokal yang menyerap tenaga kerja, aktivis sosial membantu pendidikan bagi kelompok yang terpinggirkan, kreator konten menyebarkan literasi digital, dan akademisi muda memperjuangkan ilmu sebagai jalan perubahan. Ini bukti bahwa masih banyak pemuda yang memilih bekerja dalam senyap daripada sekadar berteriak nyaring tanpa karya.
Namun capaian itu tidak cukup untuk mengimbangi tantangan besar yang sudah di depan mata: transformasi teknologi yang melesat, kompetisi global yang brutal, serta menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap kepemimpinan nasional. Pemuda harus menjawab setiap tantangan itu dengan keberanian berpikir jauh ke depan, bukan hanya mengikuti arus.
Sumpah Pemuda seharusnya menjadi pengingat bahwa masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh kepasrahan, melainkan oleh tindakan kolektif generasi mudanya. Persatuan bukan sekadar simbol, tetapi strategi bertahan hidup bangsa. Kalau dulu pemuda bersatu untuk melawan kolonialisme, hari ini pemuda perlu bersatu untuk menaklukkan masa depannya sendiri.
Gerakan pemuda yang baru harus lahir: gerakan yang berakar pada daya kritis, bermuara pada karya, dan menghadirkan keberanian untuk memimpin perubahan. Pemuda yang bukan hanya ribut di internet, tetapi mampu mengeksekusi ide brilian menjadi solusi nyata. Pemuda yang menjaga idealisme, tetapi tidak alergi terhadap profesionalitas dan kerja keras. Pemuda yang berani kotor oleh realitas, bukan hanya bersih oleh retorika.
Momentum Sumpah Pemuda harus menjadi cermin: apakah kita masih mewarisi nyala keberanian pendahulu kita, atau hanya menikmati reputasi yang mereka bangun? Sejarah tidak akan mengingat pemuda yang hanya bisa mengeluh. Sejarah hanya mencatat mereka yang turun tangan.
Karena sumpah tanpa tindakan hanyalah slogan kosong. Dan pemuda yang tidak berjuang hanyalah angan-angan bangsa yang tidak pernah terwujud. (*)
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |