TIMES MALANG, SRAGEN – Pendidikan bersifat dinamis adalah sebuah keniscayaan. Kebutuhan pendidikan saat ini dengan sedekade lalu boleh jadi berbeda, apalagi dengan beberapa dekade sebelumnya. Kementerian menanggapinya lewat kurikulum, maka tak lantas benar ungkapan lama,”ganti menteri ganti kurikulum.”
Saat ini, kurikulum secara resmi disebut Kurikulum Merdeka setidaknya hingga Tahun Ajaran 2024/2025 berakhir di bulan Juni. Merdeka identik dengan bebas, tetapi di sini, yang dimaksud adalah bebas bertanggung jawab.
Berharap mencetak generasi emas Indonesia 2045, tepat se-abad umur Negara. Untuk mewujudkannya guru meramu langkah, berharap siswa menerima dengan hati gembira, guru dan siswa berpadu di sekolah.
Sekolah mestinya menjadi tempat melejitkan potensi, ruang untuk memupuk logika berbingkai iman pada Tuhan. Banyak anak kekinian minta ini itu sebagai syarat mau bersekolah, orang tua kelimpungan banting tulang memenuhi keinginan anak. Mulai sepatu, tas, buku lalu beranjak remaja kepengen ponsel, lap top bahkan merengek minta motor.
Dari sini kita maklum, orang tua berharap besar pada sekolah. Seperti kata Fauzi Sukri (2020),” Kita sudah lama mendengar cita-cita orang tua terhadap anak: jika orang tua hanya lulus SD, si anak harus lulus perguruan tinggi; jika orang tua tidak mampu, si anak seharusnya makmur, dan seterunya. Cita-cita ini bisa jadi penyemangat tapi bisa jadi beban psikologis bagi anak.”
Dalam tradisi pengajaran dan pendidikan konvensional, guru mengendalikan peran penting, dahulu dikenal sebagai pembelajaran berpusat pada guru, kalangan akademisi mengistilahkan dengan teacher-based learning.
Bahkan di era modern yang membawa paradigma baru pembelajaran berpusat pada siswa (student-based learning) peran guru tidak dapat dinafikan begitu saja, baik itu oleh institusi pendidikan yang mengedepankan kebebasan, apalagi yang lebih mengedepankan kedisiplinan. Meski guru-selanjutnya-menyandang sebutan lain, misalnya fasilitator, sosok guru tetap yang paling dominan menentukan proses pembelajaran.
Sekolah tempat yang menyeramkan itu definisi lama, dapat dipahami karena dahulu sekolah dimaknai sempit semata sebagai tempat berlatih soal, agar lulus ujian demi ujian, di ujungnya anak akan mendapat ijazah. Kemendikdasmen saat ini sudah mewacanakan mengganti istilah sekolah dengan satuan pendidikan.
Dulu ujian nasional dengan standar nilai saat itu jadi momok yang menakutkan, banyak kasus siswa menjadi stres bahkan hingga bunuh diri. Paradigma baru pendidikan “menyelamatkan” generasi belakangan ini, penilaian mengedepankan proses pembelajaran, kelulusan tak semata ditentukan dalam tiga hari.
Kita setuju jika sekolah adalah ruang akademik, wilayah ilmiah yang harus selalu dijaga ghirah-nya. Dahulu teramat kentara perbedaan antara sekolah unggulan dengan sekolah pinggiran. Sekolah unggulan dengan masukan sumber daya siswa yang sudah mumpuni dari lahir, mudah saja membentuk lingkungan ilmiah di mana guru tinggal mengarahkannya.
Satu atau dua sekolah pinggiran kadang muncul ke permukaan, tidak mau tenggelam begitu saja. Tentu, membalikkan sekolah pinggiran menjadi sekolah unggulan memiliki tantangan tersendiri. Biasanya, di sini faktor pimpinan berpengaruh sangat besar.
Saya pernah mengikuti In House Training dengan narasumber Ibu Doktor Uswatun Hasanah, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. Saya tertarik dengan pengalamannya, yang mampu membuat sekolah yang dikenal sebagai SMA pinggiran mampu berbicara di tingkat Kabupaten, bahkan nasional. Satu kata kunci yang saya ingat adalah “benahi dulu gurunya”.
Galih Pranata dalam buku Rerasan Guru Berkisah Pendidikan (2023) pada esai berjudul “Guru Sepatutnya Bermesraan dengan Buku-buku” telah menceritakan peran penting guru bagi Negara Jepang pasca bom atom mengerikan di Hiroshima dan Nagasaki, Sekarang kita melihat Jepang menjadi negara maju dan salah satu yang terkuat di dunia.
Benar, menjaga sekolah sebagai wilayah ilmiah mesti dimulai dari guru-gurunya. Sekarang, mari kita lihat pada sekolah kita masing-masing, berapa banyak guru yang gemar mengembangkan diri? Berapa banyak guru yang senang dalam kegiatan diskusi? Berapa banyak guru yang terpanggil untuk melakukan inovasi?
Sepertinya tujuan dibentuknya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG) dapat ditinjau kembali. Bagaimana MGMP/KKG ini mulai tingkat sekolah dapat menjadi wadah pengembangan guru, menjadi tempat yang asyik untuk berdiskusi, menjadi sarana untuk bertukar pikiran perlu dioptimalkan.
Kerja administrasi yang seabrek itu mestinya jadi lebih ringan dengan adanya MGMP/KKG. Sayangnya, tradisi kerja individu di ruang pendidikan ini sudah telanjur mengakar. Entah karena kompetisi, berlomba naik pangkat, atau sebab-sebab lainnya.
Paradigma Baru: Kolaborasi
Kementerian Pendidikan di era kemarin (Nadiem Makarim) ini membuat gebrakan, pro kontra sudah pasti ada. Termasuk lebih meningkatkan unsur kerja sama antar guru, baik semapel bahkan lintas jurusan dan lintas jenjang. Kita patut mengapresiasi pembentukan Komunitas Belajar, sebuah istilah yang terkesan lebih modern, cocok untuk guru muda milenial pengampu generasi Z.
Dalam ranah praksis, terdapat pembelajaran projek yang sangat bisa digunakan sebagai sarana pembelajaran yang kolaboratif antar guru. Sudah saatnya mengubah paradigm lama menjadi paradigma untuk saling belajar. Guru yang satu dengan guru lainnya menjadi mitra kolaborasi untuk belajar bersama, meramu strategi pembelajaran yang bermakna.
Dunia pendidikan ke depan akan semakin rumit, banyak hal yang tak lagi bisa dilakukan guru seorang diri, maka satu guru dengan guru lainnya penting untuk bekerja sama atau berkolaborasi. Kolaborasi adalah model pengajaran-pendidikan masa kini dan mendatang.
Richardson (2011) menuliskan, ”Untuk menciptakan inovasi di pasar, kita memerlukan perpaduan antara orang-orang yang dominan otak kiri sekaligus otak kanan, para visioner sekaligus eksekutor, orang-orang idelais yang keras kepala sekaligus orang-orang pragmatis yang berpikiran fleksibel.”
Richardson boleh saja menggunakan sudut pandang bisnis dalam tulisannya, namun apa yang dituliskannya pun sangat relate untuk dunia pendidikan kita saat ini. Maka, sebagai guru jangan sampai kita menutup diri dari kolaborasi.
Sebagai pimpinan satuan pendidikan jangan sampai menutup mata dari aspirasi guru-guru yang dipimpinnya. Guru menginginkan siswanya dapat bekerja sama dalam kelompok, tetapi apa jadinya jika guru tersebut juga enggan berdiskusi. Pada akhirnya kita mesti bercermin, sejauh mana ruang ilmiah dan kolaborasi di sekolah ini lestari?
Selamat merajut kolaborasi: kolaborasi guru dengan guru, kolaborasi guru dengan siswa, kolaborasi guru, siswa, dan orang tua. Paradigma baru pendidikan ini mesti mengantarkan bangsa kita pada sejahtera, bukan terjajah, sengsara, dan merana.
***
*) Oleh : Anjar Miska Prayoga, S.Pd., Guru SDN Banyurip 2 Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |