https://malang.times.co.id/
Opini

Kebebasan Berekpresi Hanya Ilusi

Senin, 24 Februari 2025 - 13:29
Kebebasan Berekpresi Hanya Ilusi Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

TIMES MALANG, SURABAYA – Isu yang sedang hangat di perbincangkan dengan melihat situasi Negara yang katanya Demokrasi ini namun masih di kanibalisasi. Terutama Kebebasan berekspresi.

Pelanggaran terhadap Hak atas kebebasan berpendapat dan Berekspresi masih sangat perlu menjadi perhatian khusus. Padalah kebebasan Berekspresi setiap warga Negara dijamin oleh Konstitusi.

Dalam Teori demokrasi, kebebasan berekspresi merupakan Hak fundamental yang menjamin warga negara dapat menyampaikan pendapat tanpa rasa takut akan intimidasi dan pembalasan. Kebebasan menjadi salah satu pilar utama dalam membangun masyarakat yang sehat, kritis, dan dinamis.

Namun, realitas di berbagai belahan dunia, khususnya negara tercinta Indonesia, menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi kerap kali dibatasi, baik secara halus maupun melalui tindakan represif yang terangan-angan.

Pertanyaannya, Apakah kebebasan berekspresi benar-benar ada, atau hanya ilusi yang dipertahankan untuk kepentingan tertentu?

Kritik: Haka tau Ancaman?

Kritik adalah bagian penting dari kehidupan demokratis. Ia menjadi alat bagi masyarakat untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah, mengungkap ketidakadilan, dan menuntut perubahan yang lebih baik. Sayangnya, kritik sering kali dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas politik dan keamanan negara, bukan sebagai bentuk partisipasi publik yang sah.

Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat maraknya penggunaan pasal-pasal karet dalam Hukum pidana yang justru membungkam kebebasan berekspresi. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia menjadi contoh nyata bagaimana Regulasi yang seharusnya melindungi masyarakat dari kejahatan Cyber justru digunakan untuk menjerat individu yang bersuara kritis terhadap pemerintah yang berkuasa.

Di banyak kasus, individu yang menyampaikan kritik justru mendapat ancaman, baik dalam bentuk persekusi digital, serangan fisik, hingga kriminalisasi Hukum.

Hal ini menunjukkan bahwa ada Batasan tak kasat mata yang dibuat oleh kekuasaan untuk mengontrol sejauh mana seseorang dapat berbicara.

Represi: Bentuk Pembungkaman Nyata

Ketika kritik dianggap sebagai ancaman, represi menjadi alat yang digunakan untuk mengendalikan opini public. Represi ini dapat berupa sensor media, penangkapan aktivis, pembubaran aksi demonstrasi, hingga kriminalisasi jurnalis yang menyampaikan berita tidak menguntungkan bagi pihak tertentu. Di Indonesia, tidak sedikit jurnalis yang mengalami intimidasi akibat berita yang mereka tulis.

Sementara itu, demonstrasi yang seharusnya menjadi bentuk kebebasan berekspresi justru seringkali dibubarkan dengan alasan ketertiban umum. Aparat keamanan yang seharusnya melindungi hak-hak warga negara malah berperan sebagai alat represi yang menghambat kritik.

Tak hanya di Indonesia, pola ini juga terjadi di berbagai negara lain. Pemerintah yang otoriter cenderung memperketat control terhadap informasi, menekan media independent, serta menggunakan hukum sebagai alat untuk membungkam oposisi.

Ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi yang dijanjikan dalam sistem demokrasi seringkali hanyalah retorika tanpa implementasi nyata.

Kebebasan yang Semu

Mengapa kebebasan berekspresi tampak seperti ilusi? salah satu alasannya adalah karena Batasan antara kritik yang dianggap sah dan yang dianggap membahayakan sangat kabur.

Kebebasan berbicara seringkali hanya diberikan dalam Batasan yang menguntungkan pihak berkuasa. Seseorang bebas berbicara selama tidak menyentuh kepentingan mereka yang berkuasa.

Selain itu, ketimpangan dalam akses media dan teknologi juga ikut andil peran dalam menciptakan kebebasan berekspresi yang semu. Di era digital, media sosial seharusnya menjadi ruang terbuka bagi semua individu untuk menyampaikan pendapat.

Namun, alih-alih menjadi platform demokratis, media sosial sering digunakan sebagai alat pengawasan yang memudahkan identifikasi serta pembungkaman terhadap suara-suara yang dianggap mengganggu kekuasaan.

Menuju Kebebasan yang Sesungguhnya

Agar kebebasan berekspresi tidak sekedar menjadi slogan kosong, perlu ada upaya nyata dalam melindungi hak-hak individu untuk menyuarakan pendapatnya.

Pertama, regulasi yang membatasi kebebasan berekspresi seperti UU ITE, harus direvisi agar tidak lagi menjadi alat kriminalisasi.

Kedua, perlindungan terhadap jurnalis, aktivis, dan individu yang menyuarakan kritik harus diperkuat dengan hukum yang jelas dan tegas.

Selain itu, literasi digital dan politik juga menjadi kunci dalam membangun masyarakat yang kritis dan sadar akan hak-haknya. Tanpa pemahaman yang baik, masyarakat cenderung takut untuk berbicara atau bahkan tidak menyadari bahwa hak-haknya sedang dilanggar.

Lebih jauh lagi, tekanan dari masyarakat sipil harus terus dilakukan untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak semakin tergerus oleh kepentingan politik dan ekonomi.

Demokrasi sejati hanya dapat terwujud jika warga negara dapat berbicara tanpa rasa takut dan jika pemerintah mampu menerima kritik sebagai bagian dari pembangunan yang sehat.

Kebebasan berekspresi seharusnya menjadi pilar utama dalam demokrasi yang sehat. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kritik kerap dibatasi dengan berbagai cara, baik melalui regulasi hukum yang multitafsir, intimidasi terhadap individu yang bersuara kritis, maupun represi yang dilakukan oleh pihak berwenang.

Jika kebebasan berekspresi terus diperlakukan sebagai ancaman alih-alih hak dasar, maka demokrasi yang dijanjikan hanya akan menjadi ilusi. Oleh karena itu, perlu adanya upaya nyata untuk melindungi hak berbicara dan memastikan bahwa kritik bukanlah sesuatu yang ditakuti.

Melainkan bagian dari integral dari pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Hanya dengan demikian, kebebasan berekspresi dapat menjadi kenyataan yang dirasakan oleh seluruh warga negara.

Pada akhirnya, kebebasan berekspresi tidak boleh sekedar menjadi ilusi bahkan dikanibalisasi. Kebebasan berekspresi harus menjadi kenyataan yang bisa dirasakan oleh setiap individu tanpa khawatir akan ancaman atau represi. Jika tidak, demokrasi yang kita banggakan hanya akan menjadi sistem yang kosong.

***

*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.