TIMES MALANG, MALANG – Pendidikan sebagai instrumen penting dalam membentuk kualitas manusia. Melalui pendidikan, bangsa dapat membangun peradaban, menumbuhkan inovasi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tidak mengherankan jika konstitusi Indonesia, dalam Pembukaan UUD 1945 menegaskan tujuan negara untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Namun, tantangan besar yang dihadapi Indonesia hingga hari ini adalah kesenjangan pendidikan antara desa dan kota.
Pendidikan di kota umumnya memiliki fasilitas yang lebih memadai, guru dengan kualifikasi tinggi, serta akses terhadap teknologi dan informasi yang luas. Sebaliknya, sekolah-sekolah di desa sering kali harus menghadapi keterbatasan sarana prasarana, kurangnya guru, serta minimnya akses teknologi.
Ketimpangan ini melahirkan generasi yang tidak tumbuh dalam kesempatan yang setara. Oleh karena itu, gagasan membangun pendidikan dari desa ke kota menjadi relevan dan mendesak untuk diwujudkan.
Desa sebagai Akar Pembangunan, Bangsa
Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar penduduknya tinggal di desa. Desa bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga pusat kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.
Jika pendidikan di desa diabaikan, maka mayoritas generasi bangsa akan tertinggal. Hal ini akan menciptakan ketidakadilan struktural yang berimplikasi pada lambatnya pembangunan nasional.
Membangun pendidikan dari desa berarti menanam investasi jangka panjang. Sekolah dasar dan menengah di desa harus mendapatkan perhatian utama, mulai dari fasilitas ruang belajar yang layak, perpustakaan, laboratorium sederhana, hingga akses teknologi informasi.
Selain itu, guru-guru yang ditugaskan di desa perlu mendapatkan pembekalan, penghargaan, dan insentif yang memadai agar mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga termotivasi untuk berinovasi.
Pendidikan di desa juga harus mengintegrasikan kearifan lokal dengan ilmu modern. Dengan begitu, anak-anak desa tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mampu menjaga identitas budaya mereka. Pendidikan berbasis komunitas akan melahirkan generasi desa yang berdaya dan tidak selalu bergantung pada kota.
Kota memiliki fasilitas pendidikan yang lebih maju, mulai dari sekolah unggulan, perguruan tinggi, hingga pusat riset. Namun, kota tidak seharusnya menjadi menara gading yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kota perlu memainkan peran strategis sebagai pusat distribusi ilmu dan teknologi ke desa.
Kerja sama antara sekolah kota dan desa dapat dilakukan melalui berbagai program, seperti kelas daring bersama, pertukaran guru, hingga pembinaan ekstrakurikuler yang melibatkan mahasiswa atau akademisi dari kota.
Perguruan tinggi, misalnya, bisa menjadikan desa sebagai laboratorium sosial melalui program pengabdian masyarakat yang berkesinambungan. Dengan cara ini, ilmu pengetahuan tidak berhenti di kota, melainkan mengalir kembali ke desa dan memberdayakan masyarakatnya.
Peran kota sebagai penguat juga dapat diwujudkan melalui kebijakan desentralisasi pendidikan. Pemerintah daerah di kota dapat membantu menyediakan akses sumber daya bagi desa, baik berupa materi pembelajaran, teknologi digital, maupun pelatihan guru. Dengan sinergi ini, kota bukan lagi pusat eksklusif, tetapi jembatan bagi pemerataan pendidikan nasional.
Pendidikan yang merata adalah wujud nyata dari keadilan sosial. Pemerataan tidak berarti semua sekolah harus identik, melainkan setiap anak, di manapun ia lahir, memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan diri.
Seorang anak desa harus memiliki kesempatan yang setara dengan anak kota dalam hal akses buku, teknologi, bimbingan guru, maupun kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kesenjangan pendidikan yang terjadi saat ini sering kali menimbulkan stereotip bahwa anak desa kurang kompetitif dibanding anak kota. Stereotip ini tidak hanya melukai, tetapi juga menghambat rasa percaya diri generasi desa.
Padahal, dengan kesempatan yang sama, anak desa mampu menunjukkan potensi luar biasa. Banyak tokoh bangsa yang lahir dan tumbuh di desa, lalu berhasil memberikan kontribusi besar bagi negara.
Oleh karena itu, pemerataan pendidikan harus menjadi strategi nasional yang tidak bisa ditunda. Negara memiliki kewajiban moral sekaligus konstitusional untuk memastikan bahwa hak setiap warga negara atas pendidikan terpenuhi secara adil.
Membangun pendidikan dari desa ke kota adalah langkah strategis untuk mewujudkan pemerataan pendidikan di Indonesia. Desa sebagai akar bangsa harus diperkuat agar menghasilkan generasi yang cerdas, mandiri, dan berdaya. Kota, dengan segala fasilitas dan sumber daya yang dimilikinya, harus berperan sebagai penguat sekaligus penyalur ilmu ke desa.
Pemerataan pendidikan adalah bentuk nyata dari keadilan sosial. Hanya dengan memberikan kesempatan yang setara, Indonesia dapat mencetak generasi unggul dari Sabang sampai Merauke, dari desa hingga kota.
Jika strategi ini dijalankan dengan konsisten, cita-cita luhur bangsa untuk mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia bukanlah utopia, melainkan keniscayaan.
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nokgroho, Guru SDIT IQRO.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |