TIMES MALANG, MALANG – Setiap 24 September, bangsa ini kembali mengumandangkan jargon: “Petani adalah pahlawan pangan.” Namun, mari jujur pada nurani: apakah pahlawan itu betul-betul mendapatkan penghormatan dalam kehidupan sehari-hari?
Kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Petani, yang peluhnya menetes di sawah, yang tangannya basah oleh lumpur, justru terus menjadi kelompok yang paling rentan, paling miskin, dan paling sering ditinggalkan kebijakan.
Hari Tani Nasional 2025 seharusnya menjadi momentum untuk tidak sekadar memuja retorika, tetapi menyingkap luka lama yang tak pernah sembuh: ketimpangan struktural yang membuat petani tak pernah betul-betul sejahtera.
Sejak masa kolonial, nasib petani selalu ditempatkan di urutan terbawah. Tanah mereka direbut, kerja mereka dieksploitasi, dan hasil panen mereka dipermainkan harga pasar. Ironisnya, setelah tujuh dekade lebih merdeka, pola yang sama masih terus berlangsung.
Bedanya, kini para petani tidak lagi berhadapan dengan tuan tanah kolonial, tetapi dengan cengkeraman kapital modern: korporasi pangan, mafia pupuk, hingga sistem perdagangan global yang timpang.
Harga gabah kerap jatuh saat panen raya, sementara biaya produksi terus melambung. Pupuk langka, bibit mahal, dan akses terhadap teknologi modern sering hanya sampai ke petani besar, bukan petani gurem. Alhasil, para petani kecil yang justru menggerakkan 70 persen produksi pangan nasional, tetap hidup dalam jerat kemiskinan.
Pahlawan yang Terlupakan
Konstitusi menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi siapa yang bisa menyangkal bahwa janji ini terasa jauh di sawah-sawah petani kita?
Pemerintah memang sering meluncurkan program swasembada pangan, subsidi pupuk, atau bantuan alat pertanian. Namun, kebijakan itu sering kali berhenti pada seremoni dan tidak menyentuh akar masalah.
Banyak petani masih mengandalkan cangkul ketimbang mesin, masih terjebak pada hutang ketimbang modal usaha, masih bingung menyalurkan hasil panen ketimbang menikmati harga yang adil.
Betapa ironisnya: di negeri yang subur, di tanah yang dijuluki zamrud khatulistiwa, petani justru menjadi kelompok yang paling rapuh. Mereka memberi makan bangsa, tetapi perut mereka sendiri sering lapar.
Jika kita mundur sedikit ke belakang, sejarah mencatat bahwa peradaban besar selalu lahir dari tanah yang subur dan dikelola dengan bijak. Sungai Nil melahirkan Mesir Kuno, Sungai Eufrat dan Tigris melahirkan Mesopotamia, dan tanah Jawa melahirkan kerajaan-kerajaan agraris yang makmur.
Pertanian bukan sekadar soal pangan, tetapi juga identitas. Dari sawah, lahir kesenian, falsafah hidup, hingga nilai-nilai gotong royong. Petani adalah penjaga kebudayaan, bukan hanya produsen beras. Ketika petani dipinggirkan, maka sejatinya kita sedang membiarkan akar peradaban bangsa ini rapuh.
Jalan Panjang Menuju Kesejahteraan
Hari Tani Nasional 2025 harus menjadi pengingat bahwa bangsa ini tak boleh terus menutup mata. Ada beberapa hal mendesak yang perlu ditata ulang.
Pertama, reforma agraria sejati. Petani butuh kepastian atas tanah yang mereka kelola. Tanpa tanah, mereka hanyalah buruh di negeri sendiri. Program bagi-bagi sertifikat tanah tidak cukup; yang dibutuhkan adalah distribusi lahan yang adil dan akses terhadap modal.
Kedua, ekosistem pertanian yang berdaulat. Petani tidak boleh terus-menerus bergantung pada impor benih, pupuk, dan pestisida. Kedaulatan pangan berarti kemandirian dalam benih lokal, teknologi ramah lingkungan, dan sistem distribusi yang berpihak pada petani.
Ketiga, harga yang adil bagi hasil panen. Petani harus dilindungi dari permainan pasar. Negara wajib hadir sebagai penyangga, membeli gabah dengan harga yang layak, dan menyalurkan hasil panen dengan sistem yang tidak merugikan produsen utama.
Keempat, modernisasi pertanian yang inklusif. Traktor, mesin tanam, hingga digitalisasi pertanian jangan hanya menjadi pajangan proyek, tetapi benar-benar menyentuh petani kecil di pelosok desa.
Wajah Petani, Wajah Bangsa
Kesejahteraan petani bukanlah isu sektoral, melainkan cermin peradaban. Jika petani sejahtera, bangsa ini kokoh. Jika petani terpinggirkan, bangsa ini rapuh. Sebab, pangan adalah fondasi negara. Tanpa pangan, pendidikan, ekonomi, bahkan pertahanan sekalipun akan runtuh.
Kita sering menyebut petani sebagai pahlawan pangan. Tapi, apa artinya gelar pahlawan tanpa penghormatan yang nyata? Pahlawan seharusnya dimuliakan, bukan diperas tenaganya lalu dibiarkan hidup dalam kemiskinan.
Hari Tani Nasional bukan hanya peringatan simbolik. Ia adalah momentum untuk mengingatkan bahwa tugas negara dan masyarakat adalah memastikan petani tidak lagi menjadi buruh di ladang sendiri. Kita perlu membangun ekosistem yang membuat mereka bangga menjadi petani, bukan malu karena hidup tak sejahtera.
Dalam doa-doa petani di tengah sawah, selalu ada harapan sederhana: panen yang cukup, harga yang adil, dan kehidupan yang layak bagi keluarga. Apakah terlalu muluk jika bangsa yang mereka beri makan menepati janji kesejahteraan itu?
Hari Tani Nasional 2025 mestinya menjadi tonggak kebangkitan politik agraria yang berpihak pada petani. Sebab, tanpa petani yang sejahtera, jargon “pahlawan pangan” hanyalah kata-kata kosong.
Sudah saatnya kita berhenti memuja petani di panggung pidato, lalu menelantarkan mereka di sawah. Pahlawan sejati tidak hanya dikenang dalam kata, tetapi dimuliakan dalam kehidupan nyata.
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |