TIMES MALANG, MALANG – Perempuan Jawa sering kali terjebak dalam bayangan kultural yang tak pernah usang: lembut, manut, dan mengabdi. Stereotip ini diwariskan dari pepatah, naskah kuno, hingga tradisi keluarga. Namun, realitas sosial hari ini menunjukkan transformasi besar: perempuan Jawa kini lebih berani menyebut dirinya independen, berdiri di atas kaki sendiri, dan menafsirkan ulang peran yang selama ini dilekatkan kepadanya.
Cinta, yang dalam kultur Jawa kerap diperlakukan sebagai urusan keluarga besar, kini dihadapi perempuan independen dengan kacamata berbeda. Jika dahulu cinta harus disahkan lewat restu adat, uang seserahan, atau kehendak orang tua, kini perempuan mulai menyadari bahwa cinta tak bisa hanya diukur lewat ritual sosial. Ketika cinta gagal, mereka tidak lagi runtuh di hadapan “aib keluarga,” melainkan berdiri tegak dengan kesadaran: cinta adalah pengalaman, bukan identitas.
Kegagalan cinta, terutama bagi perempuan Jawa, sering kali dibalut kalimat sederhana: durung jodho. Frasa ini bisa menenangkan, tapi juga bisa membungkam. Menenangkan karena memberi ruang menerima takdir; membungkam karena seakan meniadakan pergulatan batin seorang perempuan yang sudah berjuang sepenuh hati.
Di titik ini, perempuan independen memilih jalan berbeda: menerima kegagalan cinta bukan sebagai takdir semata, melainkan sebagai proses menemukan dirinya kembali.
Patriarki Jawa klasik sering mereduksi perempuan dengan istilah konco wingking teman di belakang. Pemahaman konvensional menempatkan perempuan sebagai pengikut laki-laki. Tetapi tafsir baru bisa muncul: konco wingking bukan berarti tunduk, melainkan penopang yang sama pentingnya. Dan jika hari ini perempuan memilih berjalan di depan, bukan berarti ia melawan adat, melainkan menafsirkan ulang filosofi Jawa agar tetap relevan dengan zaman.
Stigma masih menjadi beban. Seorang perempuan Jawa yang gagal dalam percintaan atau pernikahan sering dipandang sebagai sosok “tidak laku,” seakan-akan nilainya hanya diukur dari keberhasilan menjaga rumah tangga.
Padahal, nilai seorang perempuan tak pernah berhenti di altar pernikahan. Justru dalam menghadapi stigma itulah, daya tahan mereka ditempa. Mereka belajar menjalani hidup dengan prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe bekerja sungguh-sungguh tanpa haus pengakuan.
Sejarah Jawa sendiri menyimpan banyak teladan perempuan yang menjungkirbalikkan narasi lemah dan manut itu. Ken Dedes, misalnya, menjadi pusat pergeseran politik besar yang melahirkan dinasti Singhasari hingga Majapahit. Ia bukan sekadar istri raja, melainkan simbol kekuatan sejarah. Dari kisah itu, kita bisa belajar bahwa cinta pribadi seorang perempuan boleh saja gagal, tetapi perannya dalam kehidupan sosial bisa melampaui batas generasi.
Paradoks muncul di sini: semakin mandiri seorang perempuan, semakin sering ia dicurigai melawan kodrat. Padahal, cinta yang gagal justru mengajarkan ketangguhan.
Filosofi Jawa urip iku urup-hidup itu menyala memberi makna baru: cinta hanyalah salah satu percikan, bukan seluruh nyala hidup. Perempuan independen menghidupkan api itu bukan dengan pasangan, melainkan dengan dirinya sendiri.
Tradisi Jawa juga mengajarkan pentingnya harmoni. Rukun agawe santosa berarti kerukunan membawa kekuatan. Perempuan yang berani berpisah dengan pasangan tetap bisa menjaga rukun dengan dirinya, keluarganya, dan lingkungannya.
Kegagalan cinta bukanlah bencana, melainkan peluang menata harmoni baru. Justru di situ terlihat kedewasaan: tidak larut dalam dendam, tapi juga tidak kehilangan prinsip.
Independensi perempuan adalah tanda zaman. Jawa menyediakan kosakata dan filosofi untuk memahami perjuangan mereka. Dari pepatah hingga wayang, selalu ada ruang tafsir ulang. Dan tafsir baru ini menegaskan: kegagalan cinta bukan akhir dari segalanya, melainkan jembatan menuju kemandirian. Seorang perempuan Jawa yang mampu berkata “aku cukup dengan diriku sendiri” sejatinya sedang menulis ulang sejarah perempuan.
Maka, perempuan independen dengan kisah cintanya yang gagal tidak sedang kalah. Ia justru sedang memenangkan dirinya. Filosofi Jawa sopo sing temen bakal tinemu siapa yang sungguh-sungguh akan menemukan menjadi penutup yang indah: jika bukan menemukan cinta dari orang lain, maka ia akan menemukan cinta yang lebih abadi, yaitu cinta pada dirinya sendiri. (*)
***
*) Oleh : Azizah Zamzam, Bendahara Umum DPD KNPI Kabupaten Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |