TIMES MALANG, MALANG – Setiap tahun, ribuan mahasiswa baru (maba) masuk ke dunia kampus. Ada yang penuh semangat, ada pula yang kebingungan. Bingung soal jurusan, bingung soal teman, bahkan bingung mau ikut organisasi apa. Pertanyaan klasik selalu muncul: “Apakah organisasi penting? Kalau iya, organisasi mana yang bisa memberi arah?”
Di tengah keramaian tawaran organisasi intra maupun ekstra kampus, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) hadir sebagai salah satu rumah besar. PMII bukan sekadar tempat kumpul-kumpul, tapi sebuah pergerakan yang punya sejarah panjang, pijakan ideologis kuat, dan kontribusi nyata bagi bangsa. Sosok Mahbub Djunaidi, ketua umum pertama PMII, adalah wajah awal dari cerita besar itu.
Mahbub bukan nama asing dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia. Terpilih sebagai Ketua Umum pertama PMII pada 17 April 1960, ia tampil bukan karena “senioritas”, melainkan karena intelektualitas dan keberanian. Mahbub masih muda, tapi tulisannya di media, humornya yang segar, serta kecerdasannya membuatnya dihormati.
Ia bukan tipe pemimpin yang kaku. Dalam dirinya melekat perpaduan khas: darah santri pesantren, kecerdasan intelektual kampus, dan kepiawaian sebagai wartawan serta penulis. Mahbub dikenal luas lewat gaya tulisannya yang segar, humoris, dan satiris, sehingga kritik sosial yang ia lontarkan terasa hidup dan mudah dipahami. Dengan pena, ia meruntuhkan kebekuan berpikir; dengan PMII, ia mengorganisir mahasiswa agar tidak sekadar jadi penonton sejarah, melainkan aktor yang ikut menentukan arah bangsa.
Hadis Nabi pernah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Mahbub meneladani itu. Ia menjadikan ilmu, tulisan, dan kepemimpinannya sebagai manfaat nyata, baik untuk NU, bangsa, maupun generasi muda.
Lahir dari Kegelisahan, Hidup dari Perjuangan
PMII lahir bukan karena tren, tapi karena kebutuhan. Pada dekade 1950-an, mahasiswa NU merasa terhimpit. Mereka punya semangat, tapi tidak punya wadah sendiri. Saat itu, organisasi-organisasi mahasiswa lain cenderung memiliki kedekatan dengan induk politik atau ormas masing-masing-HMI dengan Masyumi, IMM dengan Muhammadiyah, SEMMI dengan PSII, dan KMI dengan Perti.
Sementara mahasiswa NU ingin jalur yang lebih sesuai dengan kultur Ahlussunnah wal Jama’ah. Maka lahirlah PMII sebagai rumah, sebagai kawah candradimuka bagi mahasiswa Islam ala NU.
Sejak awal, PMII menolak jadi sekadar underbow. Meski lahir dari rahim NU, PMII kemudian mendeklarasikan independensinya pada 1972. Itu tanda kedewasaan. Kemandirian organisasi mahasiswa penting, sebab mahasiswa harus bebas berpikir, bebas bergerak, dan tidak sekadar mengikuti arus politik praktis.
Lalu apa hubungannya semua ini dengan maba yang bingung mau masuk organisasi apa?
Pertama, PMII adalah ruang belajar multidimensi. Di kampus, kita hanya belajar akademis. Tapi di PMII, kita belajar kepemimpinan, manajemen organisasi, seni berargumentasi, bahkan cara menulis gagasan. Mahbub dulu memulainya dari pena, lalu dunia mengenalnya.
Kedua, PMII menawarkan ideologi yang jelas: Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Artinya, keberislaman yang moderat, toleran, dan cinta tanah air. Tidak semua organisasi mahasiswa membawa semangat ini. Ada yang cenderung eksklusif, ada yang terjebak politisasi agama. PMII, sejak Mahbub, sudah memadukan keislaman dan keindonesiaan.
Ketiga, PMII adalah jaringan. Alumni PMII bertebaran di pemerintahan, media, kampus, pesantren, bahkan dunia usaha. Artinya, menjadi bagian dari PMII bukan hanya soal hari ini, tapi soal masa depan. Seperti pepatah Arab: “Man laa madliya lahu, laa haadhira lahu wa laa mustaqbala lahu.” (Siapa yang tak punya masa lalu, ia tak akan punya hari ini, apalagi masa depan).
Mahbub Djunaidi dikenal lewat humor khasnya yang kerap menyelipkan kritik sosial dan pesan mendalam. Ia piawai mengemas hal-hal serius dengan bahasa ringan, kadang nakal, tapi tetap tajam.
Dari gaya itu, jelas bahwa Mahbub ingin menegaskan: kader NU-dan PMII khususnya-tidak boleh puas hanya menjadi penonton. Mereka harus hadir di ruang-ruang strategis, baik di pemerintahan, media, pendidikan, maupun ruang sosial lain, agar bisa ikut menentukan arah bangsa.
Bagi maba, ini pelajaran penting. Jangan puas hanya menjadi penonton. Dunia kampus memang mengajarkan teori, tapi organisasi mengajarkan praksis. Mahbub mengingatkan kita: mahasiswa itu bukan sekadar “mahasiswa kuliah-pulang” (makul-pul). Mahasiswa harus berpikir, menulis, bergerak.
PMII di Era Digital
Sekarang, zamannya berbeda. Tantangan bukan lagi revolusi politik 1960-an, tapi banjir informasi, disrupsi teknologi, dan krisis moral. Tapi, spirit Mahbub tetap relevan. Pena bisa diganti keyboard, majalah bisa diganti media sosial, tapi intinya sama: mahasiswa harus bersuara.
PMII punya kesempatan besar untuk melahirkan “Mahbub-Mahbub baru” di era digital. Maba yang rajin menulis di blog, aktif diskusi di forum, atau bikin konten dakwah moderat di TikTok dan Instagram, sesungguhnya sedang melanjutkan tradisi Mahbub. Inilah yang membedakan PMII: tradisi intelektual yang hidup, lentur dengan zaman, tapi tetap tegak dengan nilai.
Untuk para maba yang masih bingung: ingatlah, kuliah bukan sekadar mencari ijazah. Kuliah adalah perjalanan menemukan diri. Dan organisasi adalah jalan pulang menuju jati diri. PMII menawarkan jalan itu-jalan yang religius, nasionalis, dan intelektual.
Mahbub Djunaidi menyalakan api pada 1960. Api itu tidak pernah padam, meski zaman berubah. Kini, giliran kita menjaga, meniup bara, bahkan menyalakan obor baru. PMII bukan sekadar pilihan organisasi, tapi pilihan jalan hidup: jalan pergerakan, jalan pengabdian.
Dan di tengah kebingungan, Mahbub seakan berbisik pada setiap maba: “Kalau kau ingin sekadar jadi mahasiswa, silakan. Tapi kalau kau ingin jadi manusia pergerakan, mari masuk PMII.”
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |