https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Problem Hukum: Larangan Mutasi Jabatan bagi Petahana

Sabtu, 31 Agustus 2024 - 19:29
Problem Hukum: Larangan Mutasi Jabatan bagi Petahana Alim Mustofa, Praktisi, Dosen, Pegiat Pemilu, Demokrasi dan Sekertaris ISNU Kota Malang

TIMES MALANG, MALANG – Pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 semakin dinamis dengan keluarnya beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan mantan narapidana tindak pidana korupsi yang akan maju dalam pertarungan Pilkada serentak 2024. 

Perhatian publik terfokus menyoroti syarat calon bagi mantan napi tipikor berkenaan dengan prasyarat jeda 5 tahun sejak bebas murni dari pidana kurungan badan. Perbedaan penafsiran tidak saja terjadi dihadapan publik dari berbagai kalangan ahli hukum, penyelenggara, akademisi, praktisi pemilu, pegiat pemilu dan masyarakat, yang berkesimpulan bahwa merujuk pasal 7 Undang-Undang Pemilihan, bahwa mantan napi tipikor wajib jeda (5) tahun untuk dapat mencalonkan diri dipemilihan kepala daerah. Hal ini dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.

Perdebatan diatas sah dan sudah menjadi keharusan dalam kerangka sudut pandang hukum, hak asasi manusia, politik dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Akan tetapi masih banyak yang perlu dikritisi berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang pemilihan kepala daerah. 

Dalam hal ini penulis akan menyajikan narasi terkait pasal larangan bagi petahana (Gubernur/Bupati/Walikota) yang maju dalam pemilihan serentak tahun 2024. Sebagaimana diatur di pasal 71 ayat (2) UU No.10 tahun 2016 sebagaimana diubah terakhir menjadi UU No. 6 Tahun 2020, dimana dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri”.

Sebagai konsekuensi dari larangan ketentuan diatas, pasal 71 ayat (5) adalah menerapkan sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU kabupaten/Kota, hal ini sebagai konsekuensi sanksi administrative. Sedangkan sanksi pidana atas pelanggaran pasal 71 diatur dalam pasal 187 ayat (6), pasal 188 dan pasal 190 yang masing-masing ada ketentuan pidananya.

Kembali ke pelanggaran pasal 71 ayat 2 dalam undang-undang pemilihan, pada pasal ini ditegaskan yang menjadi obyek hukumnya adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota. Secara definisi konstitusional dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah “ Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

Selanjutnya definisi operasional dari Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota, dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) yang kesimpulannya sebagai berikut “Calon Gubernur, Bupati, Walikota adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang mendaftar atau didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan KPU Kabupaten Kota. Artinya Gubernur, Bupati dan Walikota adalah hasil pencalonan oleh partai politik dan perseorangan yang dipilih secara langsung dalam pemilihan.

Dengan demikian diperoleh penegasan bahwa yang dimaksud dengan diksi petahana adalah Gubernur, Bupati atau Walikota yang akan mencalonkan diri lagi dalam pemilihan kepala daerah dilarang melanggar pasal 71 ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Pemilihan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini sebagaimana dijelaskan diatas adalah sanksi pembatalan calon dan sanksi  pidana.

Lalu bagaimana kedudukan Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota atau dikenal dengan sebutan PJ atau Penjabat. Penjabat adalah orang yang diangkat oleh Presiden atau Menteri dalam negeri berdasarkan undang-undang karena adanya kekosongan Gubernur, Bupati dan Walikota,sehingga jabatan bersifat sementara.  

Kembali ke topik diatas, bagaimana kedudukan hukum PJ Gubernur, PJ Bupati dan PJ Walikota ketika melakukan pelanggaran atas pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) UU No.10 Tahun 2016, dapatkah pelanggaran tersebut dikenakan sanksi pembatalan calon sebagaimana ketentuan ayat (5). 

Tentunya KPU dan Bawaslu harus hati-hati dalam melakukan tindakan, sebab secara tegas dalam pasal 71 ayat (2)  dan ayat (3), jika yang melakukan pelanggaran atas pasal tersebut adalah Penjabat (PJ), sementara obyek hukumnya adalah Gubernur, Bupati dan Walikota yang menduduki jabatan karena keterpilihan dalam pemilihan, sedangkan Penjabat (PJ) memperoleh jabatan karena penunjukan atau pengangkatan. 

Dari sudut pandang ini, tentu jika pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) sama sekali tidak merujuk pada penjabat atau PJ, tetapi secara tegas menentukan obyek hukumnya adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Sehingga bisa disimpulkan bahwa tidak merujuk pada penjabat atau PJ.
Dalam konteks pelanggaran administrasi, apakah KPU dan Bawaslu dapat melakukan tindakan hukuman berupa “ Pembatalan Calon” sebagaimana ketentuan pasal 71 ayat (5), meski dalam ketentuan pasal 71 ayat (4) ditegaskan “ Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota”.

Akan tetapi tegasan sanksi pembatalan calon pada ayat (5) tidak menyebut secara spesifik Penjabat (PJ) Gubernur, Bupati dan Walikota, melainkan menyebut secara spesifik Gubernur, Bupati dan Walikota selaku petahana.

Sanksi pidana bisa diterapkan terhadap pelanggaran tersebut, akan tetapi terhadap sanksi pelanggaran administrasi berupa pembatalan calon, susah atau tidak bisa  diterapkan. 

Problem ini sangat mungkin akan terjadi dalam pemilihan serentak tahun ini. Banyaknya kekosongan jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota akibat keserentakan pemilihan, menimbulkan jabatan tersebut diisi oleh PJ, baik Gubernur, Bupati dan walikota se-Indonesia. 

Beberapa PJ Bupati/Walikota yang menjabat rata-rata 1 tahun lebih, kini berhasrat  mencalonkan diri dalam pemilihan serentak tahun 2024. Selama menjabat banyak baliho-baliho program pemerintah daerah selalu melekat foto-foto PJ Gubernur, Bupati dan Walikota. Sangat mungkin dengan kekuasaan selama menjabat akan menggunakan kekuasaannya untuk membuat program strategis dan mutasi jabatan yang akan digunakan untuk menopang dalam pencalonannya.

***

*) Oleh : Alim Mustofa, Praktisi, Dosen, Pegiat Pemilu, Demokrasi dan Sekertaris ISNU Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.