https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Belajar dari Kisah Guru Dermawan dan Murid yang Tekun

Senin, 15 Juli 2024 - 20:22
Belajar dari Kisah Guru Dermawan dan Murid yang Tekun Muhammad Saukani, Magister Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

TIMES MALANG, JAKARTA – Kesenangan membaca kitab-kitab yang positif adalah kebiasaan yang lazim bagi seorang penuntut ilmu. Suatu ketika, seorang teman yang sedang menempuh pendidikan di Mesir mengabarkan bahwa ia sedang dalam proses penulisan tugas akhir untuk meraih gelar master dalam bidang al-Lugotul wa Adab al-A’arabiy (Bahasa dan Sastra Arab). 

Dengan penuh kebahagiaan karena masih bisa berkomunikasi dan berdiskusi tentang sastra, ia teringat akan kitab sastra sejarah dari para tokoh berilmu luas. Ia berkata, “Lae, saya memiliki sebuah kitab yang sudah kusam karena sering dibaca, dan saya merasa ini sudah layak saya kirimkan kepada kamu untuk dinikmati.” Saya pun membalas, “Silakan kirim ke saya, nanti akan saya manfaatkan untuk menambah wawasan saya.” Seminggu kemudian, setelah melalui perjalanan udara, kitab itu akhirnya sampai di tangan saya. 

Di malam harinya, tanpa pikir panjang saya langsung mulai membacanya. Terlihat judul pada halaman pertama setelah daftar isi,  "Abu Hanifah dan Abu Yusuf: Guru dan Murid yang Sukses dalam Menjalankan Perannya Masing-Masing." Tulisannya berbahasa Arab gundul. Setelah delapan hari membaca kisah Abu Hanifah dan Abu Yusuf, yang menghabiskan lebih dari 100 halaman, saya akhirnya bisa merangkum dan menyimpulkan hikmah dari cerita tersebut. Berikut ini adalah tanggapan saya terhadap kisah yang telah saya nikmati selama delapan hari.

Kisah Abu Hanifah dan Abu Yusuf 

Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, lahir di Kufah, Irak pada tahun 80 H (699 M) dan wafat di Baghdad pada 150 H (767 M). Keilmuannya yang luas di bidang fikih diakui di seluruh dunia, menjadi pegangan dalam berijtihad mengenai syari'ah. Salah satu muridnya, Abu Yusuf, lahir di Kufah tahun 113 H dan wafat di Baghdad tahun 182 H. 

Menurut Syaikh Abdul Fattah dalam Qimatuzaman, Abu Yusuf tidak pernah meninggalkan salat subuh berjamaah dengan Abu Hanifah selama 29 tahun. Bahkan saat Idul Fitri dan Idul Adha, Abu Yusuf tetap hadir di majelis gurunya. Begitu bersemangatnya dia menghadiri majelis Abu Hanifah hingga saat putranya meninggal, dia lebih memilih menghadiri pengajian daripada mengurus jenazah putranya, menitipkannya kepada tetangga dan kerabat.

Abu Yusuf berasal dari keluarga miskin. Suatu ketika, ayahnya melarangnya belajar dengan Abu Hanifah karena mereka harus bekerja untuk hidup. Setelah ayahnya meninggal, ibunya juga memaksanya bekerja di istana. Namun, kecintaannya terhadap ilmu membuatnya tetap belajar dengan Abu Hanifah. Ibunya pun memprotes kepada Abu Hanifah, mengatakan bahwa masa depan anaknya terancam karena tidak bekerja. Abu Hanifah menjawab bahwa dengan ilmu, suatu hari Abu Yusuf akan hidup kaya raya dan makan manisan faludzaj, meski sang ibu skeptis.

Karena himpitan ekonomi, Abu Yusuf mulai jarang hadir di majelis. Abu Hanifah, terkenal karena kedermawanannya, memberikan uang kepada Abu Yusuf agar dia bisa terus belajar tanpa khawatir masalah keuangan. Selama 29 tahun, Abu Yusuf hidup dari beasiswa Abu Hanifah hingga akhirnya menjadi ulama besar dan kaya raya. Dia diangkat sebagai mahkamah agung (qodhi qudhat) dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Ar-Rasyid.

Dalam sebuah perjamuan, Khalifah Harun ar-Rasyid menawarkan manisan faludzaj kepada Abu Yusuf. Hal ini mengingatkannya pada janji Abu Hanifah bahwa ilmu akan membawanya pada kemakmuran. Khalifah kagum dengan cerita tersebut dan mengakui bahwa ilmu mengangkat derajat seseorang. 

Selain kaya raya, Abu Yusuf juga dikenal sebagai ekonom handal. Karya terbesarnya, kitab al-Kharaj, membahas perpajakan, pengelolaan pendapatan, dan pembelanjaan publik dalam Islam, menunjukkan dedikasi Abu Yusuf untuk memperbaiki sistem pemerintahan Abbasyiah.

Hikmah yang Dapat Disuguhkan ke Dalam Gelas Kehidupan Seorang Pelajar, Guru dan Orang Tua.

Kisah Abu Hanifah dan Abu Yusuf memberikan banyak pelajaran berharga, terutama bagi para penuntut ilmu dan orang tua yang dengan sabar mendukung pendidikan anak-anak mereka:

Pertama, Keteguhan dalam menuntut ilmu. Abu Yusuf menunjukkan dedikasi yang luar biasa dalam menuntut ilmu meskipun menghadapi berbagai kesulitan, termasuk kemiskinan dan kehilangan anggota keluarga. Keteguhannya dalam menuntut ilmu bisa menjadi inspirasi bagi para pelajar agar tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan pendidikan mereka.

Kedua, Kesabaran orang tua. Meski pada awalnya orang tua Abu Yusuf merasa keberatan dengan pilihan anaknya untuk belajar, akhirnya dukungan dan kesabaran mereka membuahkan hasil. Orang tua perlu menyadari pentingnya pendidikan dan bersabar dalam mendukung anak-anak mereka, meski mungkin ada tantangan ekonomi atau lainnya.

Ketiga, Pengorbanan untuk ilmu. Abu Yusuf bahkan rela mengorbankan waktu untuk mengurus jenazah putranya demi tidak ketinggalan majelis ilmu. Ini menunjukkan betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan seseorang dan bagaimana pengorbanan bisa menghasilkan buah yang manis di masa depan.

Keempat, Dukungan dari guru. Abu Hanifah tidak hanya memberikan ilmu tetapi juga mendukung muridnya secara finansial. Hal ini menunjukkan pentingnya peran guru tidak hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai pendukung moral dan material bagi murid-muridnya.

Kelima, Kesungguhan dan keberhasilan. Abu Yusuf yang berasal dari keluarga miskin, dengan ketekunan dan bantuan dari gurunya, akhirnya mencapai kesuksesan besar dan menjadi seorang ulama serta tokoh penting di pemerintahan. Ini mengajarkan bahwa kesungguhan dalam menuntut ilmu dapat mengangkat derajat seseorang dan membuka jalan menuju kesuksesan.

Keenam, Ilmu sebagai jalan untuk meningkatkan kehidupan. Ilmu yang diperoleh oleh Abu Yusuf tidak hanya meningkatkan status sosial dan ekonominya tetapi juga memberinya kesempatan untuk berkontribusi pada masyarakat melalui karya-karya pentingnya, seperti kitab al-Kharaj yang mempengaruhi pemikiran ekonomi Islam.

Ketujuh, Pengaruh guru yang visioner. Abu Hanifah mampu melihat potensi besar dalam diri Abu Yusuf dan berani memperkirakan masa depan yang cerah bagi muridnya. Seorang guru yang baik dapat memberikan inspirasi dan visi yang membantu murid-muridnya mencapai potensi penuh mereka.

Kisah ini mengajarkan bahwa ketekunan, kesabaran, pengorbanan, dan dukungan dari orang tua serta guru sangat penting dalam proses menuntut ilmu. Ilmu memiliki kekuatan untuk mengubah kehidupan seseorang dan membawa manfaat besar tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat luas.

Sekali lagi, saya tegaskan betapa kisah ini menunjukkan bagaimana ilmu dapat mengangkat derajat seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti yang dialami Abu Yusuf, yang dari seorang anak miskin menjadi qodhi qudhat dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah dan dikenal sebagai ekonom handal.

Semoga kisah ini memberikan inspirasi bagi kita semua untuk terus bersemangat dalam menuntut ilmu dan menghargai peran guru dalam kehidupan kita. (*)

***

*) Oleh : Muhammad Saukani, Magister Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.