TIMES MALANG, LAMONGAN – Idealisme cita hukum dihadapkan oleh fenomena saling menyandra, dan intimidasi. Potret operasional praktik hukum mengesankan bagai panggung sandiwara, di mana ploting cerita sudah disetting sesuai arahan sang sutradara.
Fakta putusan hakim atas dasar pesanan sudah menjadi konsumsi publik. Performa ruang sidang hanyalah potret drama, yang dibelakangnya sudah dipersiapkan alur ceritanya.
Lanskap hukum Indonesia merupakan interaksi yang kompleks antara budaya, politik, dan kerangka kelembagaan. Hukum, yang secara ideal diposisikan sebagai mekanisme untuk menegakkan keadilan, sering kali menjadi panggung di mana para aktor memainkan peran yang dipengaruhi oleh posisi, kepentingan, dan harapan masyarakat.
Untuk memahami fenomena praktik hukum di Indonesia, tampaknya relevan dengan teori dramaturgi Erving Goffman dalam karyanya berjudul Presentation of Self in Everyday Life ( 1959), memberikan sudut pandang analitis yang menarik.
Perspektif sosiologis ini memandang interaksi manusia sebagai pertunjukan di panggung metaforis, lengkap dengan aktor, naskah, dan penonton. Penerapan dramaturgi pada fenomena hukum Indonesia mengungkap aspek performa dari sistem hukumnya, yang menyoroti perbedaan antara hukum yang tertulis dan hukum yang dipraktikkan.
Teori Dramaturgi Secara Singkat, teori dramaturgi Erving Goffman menyatakan bahwa individu menampilkan diri mereka dalam kehidupan sehari-hari sebagai aktor di atas panggung. Perilaku mereka dibentuk oleh penonton yang ingin mereka buat terkesan, lingkungan tempat mereka tampil, dan peran yang diberikan atau dipilih untuk mereka jalani.
Menurut Goffman, ada dua wilayah utama dalam pertunjukan ini: panggung depan dan panggung belakang. Panggung depan adalah tempat para aktor menampilkan versi diri mereka yang telah dipoles untuk menjaga penampilan, sedangkan panggung belakang adalah tempat niat, persiapan, dan kontradiksi yang sebenarnya terungkap.
Ketika diterapkan pada fenomena hukum, teori ini memungkinkan kita untuk mengeksplorasi dikotomi antara sistem hukum formal (panggung depan) dan praktik informal atau tersembunyi (panggung belakang) yang memengaruhi hasil peradilan.
Panggung Depan Hukum, Keadilan Performatif
Di Indonesia, ruang sidang berfungsi sebagai panggung depan utama untuk pertunjukan hukum. Hakim, pengacara, jaksa, dan terdakwa memainkan peran yang ditentukan dalam suasana yang sangat ritualistik. Formalitas persidangan, lengkap dengan jargon hukum dan protokol seremonial, memproyeksikan citra imparsialitas dan keadilan.
Panggung depan ini sering kali mengutamakan penampilan daripada substansi. Misalnya, persidangan korupsi yang terkenal sering kali menampilkan terdakwa dalam tindakan penyesalan simbolis-tiba di pengadilan dengan pakaian sederhana, membawa teks-teks agama, atau mengungkapkan penyesalan di depan umum. Pertunjukan ini bertujuan untuk membangkitkan simpati dan mengurangi kemarahan publik daripada benar-benar mengatasi kesalahan yang dilakukan.
Media, yang bertindak sebagai audiens yang lebih luas, memperkuat pertunjukan ini. Sidang pengadilan yang disiarkan di televisi atau momen-momen ruang sidang yang viral sering kali membingkai proses hukum sebagai tontonan, mengalihkan fokus dari memberikan keadilan ke membentuk persepsi publik. Dramatisasi proses hukum ini menyoroti pentingnya citra dalam memengaruhi hasil hukum.
Di balik layar, sistem hukum Indonesia menyingkapkan realitas yang sangat berbeda. Korupsi, kolusi, dan campur tangan politik sering kali menodai proses peradilan, yang merusak cita-cita keadilan dan persamaan di hadapan hukum. Di wilayah belakang layar, para pelaku bernegosiasi, menyusun strategi, dan berkompromi untuk melayani kepentingan pribadi atau kelembagaan.
Salah satu contohnya adalah maraknya suap peradilan, di mana hasilnya ditentukan bukan oleh bukti, melainkan oleh transaksi keuangan. Laporan dari organisasi pengawas menunjukkan bahwa banyak keputusan hukum dipengaruhi oleh pembayaran ilegal kepada hakim, jaksa, atau panitera. Realitas di belakang layar ini sangat kontras dengan kinerja keadilan yang tidak memihak di panggung depan.
Praktik tersembunyi lainnya melibatkan peran kekuasaan dan koneksi dalam membentuk hasil hukum. Pejabat tinggi dan tokoh bisnis berpengaruh sering kali lolos dari akuntabilitas karena pengaruh mereka di belakang layar, sementara warga biasa menghadapi hukuman yang lebih berat untuk pelanggaran yang lebih ringan. Kesenjangan ini menggarisbawahi sifat performatif kesetaraan di panggung depan hukum Indonesia.
Dramaturgi hukum Indonesia tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks budayanya. Norma dan nilai tradisional, seperti “musyawarah” dan “gotong royong”, sering kali bersinggungan dengan praktik hukum formal. Pengaruh budaya ini membentuk naskah dan peran yang dimainkan oleh para aktor di panggung hukum.
Misalnya, dalam banyak kasus, sengketa diselesaikan melalui mediasi informal daripada litigasi formal. Meskipun pendekatan ini mencerminkan preferensi budaya untuk harmoni dan konsensus, pendekatan ini juga menyoroti keterbatasan sistem hukum formal dalam memenuhi kebutuhan warga negara biasa. Dalam pengertian ini, praktik penyelesaian sengketa adat di belakang panggung hidup berdampingan dengan pertunjukan sistem hukum modern di depan panggung.
Dalam teori dramaturgi, penonton memegang peranan penting dalam memvalidasi pertunjukan. Di Indonesia, publik dan media berperan sebagai penonton utama drama hukum. Reaksi mereka memengaruhi perilaku aktor di panggung hukum. Kemarahan publik atas hukuman ringan untuk kasus korupsi atau kekerasan terhadap kelompok terpinggirkan sering kali memaksa aktor hukum menyesuaikan pertunjukan mereka.
Misalnya, peningkatan pengawasan media telah menghasilkan transparansi yang lebih besar dalam beberapa kasus yang mendapat perhatian publik, dengan pihak berwenang mengambil sikap yang lebih tegas untuk meredakan sentimen publik. Namun, respons terhadap tekanan penonton ini juga dapat mengarah pada keputusan hukum populis yang mengutamakan persetujuan publik daripada prinsip hukum.
Fenomena praktik hukum di Indonesia, dilihat melalui kacamata teori dramaturgi, menyoroti sifat performatif sistem hukumnya. Ketegangan antara panggung depan keadilan formal dan panggung belakang praktik tersembunyi menggarisbawahi tantangan dalam mencapai reformasi hukum secara ideal.
Sementara hukum berfungsi sebagai panggung bagi para aktor untuk memproyeksikan citra keadilan, keasliannya bergantung pada penanganan masalah sistemik yang ada di balik layar. Dengan menata ulang naskah hukum dan memberdayakan audiens untuk menuntut akuntabilitas, Indonesia dapat bergerak lebih dekat untuk mewujudkan cita-cita keadilan bagi semua.
***
*) Oleh : Anshori, Direktur Pusat Study Hukum dan Sosial Lamongan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |