TIMES MALANG, MALANG – Pilkada Malang Raya 2024 semakin memanas, dengan beragam dinamika yang mencuat menjelang hari pencoblosan. Salah satu isu yang mengemuka adalah fenomena antisipasi terhadap praktik money politic atau politik uang. Banyak calon kepala daerah yang berlomba-lomba menyatakan diri sebagai penantang keras terhadap praktik ini, beriklan sebagai figur yang bersih dan jauh dari segala bentuk politik transaksional.
Namun, di balik seruan moralitas tersebut, ada baiknya kita berhati-hati: apakah pernyataan anti money politic ini benar-benar datang dari niat tulus atau justru hanya intrik untuk meraih peluang melakukan peraktik money Politic?
Fenomena klaim anti-money politic yang dilontarkan oleh sejumlah calon sering kali hanya menjadi bagian dari strategi pencitraan. Mereka berupaya membangun citra diri sebagai pemimpin yang bersih, penuh integritas, dan berkomitmen untuk membersihkan dunia politik dari praktik kotor.
Tetapi, di balik retorika ini, adakah jaminan bahwa mereka benar-benar tidak terlibat dalam praktik tersebut? Justru, tak jarang hal ini menjadi bagian dari taktik untuk memenangkan hati pemilih, yang seolah-olah melihat calon tersebut sebagai opsi yang lebih bersih dibandingkan lawan politiknya.
Sejarah pilkada di Indonesia, termasuk di Malang Raya, menunjukkan bahwa meskipun ada kecaman keras terhadap money politic, praktik tersebut tetap saja terjadi. Dalam pilkada sebelumnya, kita melihat bagaimana uang menjadi komoditas yang cukup efektif untuk mempengaruhi preferensi pemilih.
Dari distribusi uang di tingkat bawah, hingga janji-janji yang menarik bagi masyarakat yang kurang terdidik dalam memahami dampak jangka panjang, money politic menjadi alat yang kerap digunakan oleh mereka yang ingin memenangi kontestasi.
Dalam konteks Pilkada Malang Raya 2024, ada potensi bahwa para calon yang mengaku anti money politic justru sedang merancang strategi serupa dengan cara yang lebih halus. Bukankah dalam politik, apalagi dalam konteks daerah yang rentan dengan isu ekonomi.
Bisa saja calon yang mengaku menentang politik uang ini justru mencari peluang untuk memanfaatkan ketimpangan sosial yang ada? Tidak bisa dipungkiri, adanya klaim semacam ini bisa menjadi taktik licik yang justru membuka ruang bagi manipulasi sosial.
Dengan menggunakan narasi “anti money politic”, para calon sebenarnya tengah bermain cerdas di arena pencitraan publik. Masyarakat yang awam dan mungkin belum sepenuhnya memahami mekanisme politik sering kali mudah terpengaruh oleh gambaran ideal tersebut.
Padahal, mungkin saja mereka yang menggembar-gemborkan anti politik uang ini justru sedang mencari peluang untuk menawarkan janji-janji yang lebih "tersembunyi", yang tidak selalu jelas dalam wujud uang langsung, tetapi bisa dalam bentuk bantuan atau proyek yang menguntungkan.
Trik ini sangat menarik, karena meskipun calon-calon tersebut mengatakan bahwa mereka tidak akan terlibat dalam praktik money politic, mereka sebenarnya memanfaatkan ketidakpahaman sebagian besar masyarakat. Masyarakat yang cenderung menginginkan perubahan sering kali terperangkap dalam permainan politisi yang menggunakan cara-cara licik untuk mendapatkan dukungan.
Alih-alih mengedepankan transparansi dan kebijakan yang jujur, mereka mungkin menawarkan sesuatu yang lebih tak tampak- entah itu proyek yang dikendalikan atau pengaruh yang disembunyikan di balik janji palsu.
Pada saat yang sama, praktik money politic ini bisa lebih sulit dideteksi dan dikendalikan, karena kerap terjadi dalam bentuk yang lebih halus dan terselubung. Dalam beberapa kasus, calon mungkin memberikan imbalan dalam bentuk barang, bantuan sosial, atau pengaruh terhadap pekerjaan publik, yang meskipun tidak tampak seperti uang langsung, pada dasarnya tetap memanfaatkan posisi politik untuk mendapatkan suara. Bukankah ini hanya versi lain dari money politic yang dikemas dalam bentuk yang lebih 'sophisticated'?
Bukankah kita juga harus jujur bahwa beberapa kandidat yang menentang politik uang dengan lantang justru bisa jadi lebih cerdik dalam mencari celah-celah yang tidak tampak oleh mata umum? Mereka bisa saja menggunakan strategi seperti membangun jaringan relawan yang dipersenjatai dengan iming-iming keuntungan setelah pemilihan.
Relawan yang seharusnya menjadi bagian dari mesin pemenangan yang bersih, bisa saja beralih menjadi "agen" yang melakukan politik uang secara tidak langsung, hanya karena adanya harapan untuk memperoleh keuntungan.
Jika kita menilai Pilkada Malang Raya 2024 dari sudut pandang yang lebih kritis, kita akan melihat bahwa politik identitas, jaringan sosial, serta kontrol atas sumber daya lokal menjadi hal-hal yang tak kalah berpengaruh dibandingkan dengan sekadar uang. Maka, apakah ini artinya calon yang mengaku anti money politic justru sedang menyiapkan panggung untuk meraih kemenangan dengan cara yang lebih halus namun tetap efektif?
Menilai pernyataan anti money politic para calon bisa jadi tidak cukup hanya dengan melihat kata-kata mereka, tetapi juga dengan mengamati tindakan mereka. Sejauh mana mereka benar-benar transparan dalam pendekatan mereka terhadap masyarakat? Seberapa besar mereka mampu mengurangi ketimpangan sosial yang menjadi akar dari praktik politik uang? Hanya dengan menilai kinerja dan kebijakan mereka, kita bisa mengetahui apakah mereka benar-benar bersih atau hanya sedang bermain dengan pencitraan.
Kritik terhadap calon yang mengaku anti-money politic juga perlu melihat pola-pola perilaku mereka dalam menanggapi masalah kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi. Banyak daerah, termasuk Malang Raya, masih terjebak dalam ketimpangan sosial yang cukup dalam. Tanpa mengurangi esensi perlawanan terhadap praktik kotor politik uang, calon yang serius dalam memberantasnya haruslah membawa solusi nyata, bukan sekadar narasi kosong yang menguntungkan mereka secara politis.
Lebih jauh lagi, masyarakat juga harus dilibatkan dalam upaya pemberantasan money politic. Jika hanya mengandalkan calon yang mengaku bersih, kita bisa terjebak dalam lingkaran setan politik transaksional yang tak kunjung usai. Pemilih yang cerdas dan kritis, yang paham tentang bahaya politik uang, menjadi garda terdepan dalam menilai integritas calon. Dengan pemilih yang semakin terdidik, kemungkinan besar praktik money politic akan berkurang seiring waktu.
Maka, penting untuk mencermati Pilkada Malang Raya 2024 dengan kritis. Jangan mudah tergoda dengan klaim anti money politic yang mungkin hanya menjadi taktik politik semata. Alih-alih hanya menilai dari segi citra, kita harus melihat apa yang mereka lakukan setelah terpilih, apakah benar-benar membawa perubahan yang substansial atau hanya menggunakan pencitraan untuk mempertahankan kekuasaan. Inilah tantangan terbesar bagi kita semua, sebagai pemilih yang bertanggung jawab.
Untuk menciptakan politik yang bersih dan adil, kita harus menyadari bahwa bukan hanya para calon yang harus berubah, tetapi juga masyarakat yang harus semakin kritis dan sadar akan dampak jangka panjang dari politik uang. Tanpa ada kesadaran kolektif, perlawanan terhadap money politic hanya akan menjadi sekadar slogan kosong yang tidak berdampak pada perubahan nyata.
***
*) Oleh : Ferry Hamid, Walikota LIRA dan Peraih Anugerah Tokoh Pemuda Inspiratif Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |