TIMES MALANG, SURABAYA – Prahara di tubuh kepolisian seakan tidak pernah berakhir. Prahara tersebut merujuk pada perilaku anggota kepolisian yang terus mendapat kritik, yang pada gilirannya semakin mereduksi kepercayaan masyarakat.
Bagaimana tidak, menjelang akhir tahun, sejumlah tindakan kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, pemerasan, penyalahgunaan wewenang dalam pelayanan, serta rekayasa hukum, telah dilakukan oleh oknum anggota kepolisian.
Fenomena perilaku menyimpang yang melibatkan oknum di institusi kepolisian telah mempengaruhi pandangan masyarakat secara luas. Masyarakat mulai merasa khawatir terhadap kinerja kepolisian yang belum menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Dampak hilangnya kepercayaan ini, masyarakat lebih memilih menyebarkan tentang apapun yang berhubungan dengan polisi. Prilaku, etika dan kinerja semua tidak luput dari pandangan masyarakat.
Salah satu contohnya adalah kasus pembunuhan seorang siswa di Semarang yang diduga telah direkayasa, namun hingga kini pelaku rekayasa tersebut belum juga diproses secara hukum. Kemudian, laporan tentang pemerkosaan terhadap seorang anak di bawah umur di Solo mandek selama tujuh tahun, sementara itu pihak pelapor justru mengalami intimidasi dari anggota kepolisian.
Kasus terbaru melibatkan 18 anggota polisi di Jakarta saat mengawal konser FWD, malah terlibat pemerasan terhadap penonton warga Malaysia. Jika di buat tabel daftar catatan buruk oknum kepolisian sudah sangat banyak.
Semua kasus diatas adalah contoh yang akan selalu diingat bagi masyarakat betapa seriusnya mental kepolisian saat ini. Ini sudah tidak lagi berbicara oknum, akan tetapi jika terus menurus memproduksi oknum yang bermasalah di institusi kepolisian, maka ada sesuatu yang bermasalah di tubuh kepolisian.
Jika pimpinan kepolisian mengatakan “ikan busuk dimulai dari kepala” Apakah salah mengatakan institusi kepolisian sudah bermasalah dari tingkat atas. Maka ini perlu harus ada langkah kongkrit dalam membenahi polisi kita.
Sebelumnya, Kapolri Listyo Sigit selalu menekankan ke anak buahnya berlaku “Presisi” akronim dari prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan. Maksudnya semua anggota kepolisian melaksanakan tugasnya secara cepat dan tepat, responsif, humanis, transparan, bertanggung jawab, serta berkeadilan. Harapannya jargon presisi ini bisa menyentuh semua lapisan masyarakat.
Titah Presisi dari “tuan” Listyo Sigit Prabowo nampaknya belum dipahami dengan baik. Realitas dalam pelaksanaanya dibawah, ya seperti yang masyarakat lihat saat ini. Bagaimana sulitnya menerapkan jargon presisi untuk anggota kepolisian. Jika jargon ini sulit diterapkan, maka negara harus mengevaluasi situasi di kepolisian.
Paling tidak Kapolri harus dipanggil sebagai bentuk tanggung jawab jargon presisi. Dan presiden harus mengkoreksi, bahkan bisa menegur Kapolri tentang banyaknya oknum yang bermasalah yang terus menerus mereduksi kepercayaan masyarakat.
Merosotnya implementasi jargon presisi serta minimnya rasa tanggung jawab, pada akhirnya akan berdampak negatif pada masyarakat sebagai pihak yang dirugikan.
Kejadian no viral no justice, arogansi aparat, rekayasa hukum, tembak menembak antar polisi, hanya melayani yang beruang akan terus muncul dikemudian hari. Semua karena tidak ada rasa tanggung jawab dan hilangnya jiwa Bhayangkara.
Negara telah memberikan dukungan penuh kepada institusi kepolisian, termasuk melalui peningkatan tunjangan, kenaikan gaji pokok, serta alokasi anggaran operasional yang terus meningkat setiap tahunnya. Dengan bertambahnya dukungan anggaran tersebut, semestinya kualitas kinerja kepolisian juga menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Karena negara telah memberikan mandat kepada kepolisian untuk menjaga keamanan sosial dan ketertiban sosial, sudah seharusnya tugas dan fungsi tersebut dipahami serta dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Kepolisian merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dan diperkuat keberadaannya. Sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial, kepolisian sudah semestinya menindak tegas anggota yang bermasalah untuk mengurangi munculnya oknum-oknum bermasalah di dalam tubuh institusinya. Polri perlu melakukan reformasi menyeluruh terhadap mentalitas dan budaya yang telah tertanam dalam persepsi masyarakat.
Mengubah mentalitas dan budaya yang telah lama terbentuk bukanlah hal yang mudah; proses ini memerlukan waktu, tenaga, dan kolaborasi lintas lembaga. Upaya reformasi tidak cukup hanya menjadi tanggung jawab Kapolri, tetapi juga memerlukan dukungan otoritatif dari Presiden, DPR, Mahkamah Konstitusi (MK), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Aset bangsa ini perlu dijaga agar tidak keluar dari norma hukum maupun etika. Dan polisi-polisi yang sudah baik dan mau mencurahkan raga dan jiwanya untuk bangsa tentu masih banyak dan harus didukung. Kecintaan saya terhadap polisi melalui tulisan ini, dapat terus berbenah dalam upaya menjaga citra Polri. Karena citra yang baik harus dimulai dari budaya yang baik.
***
*) Oleh : Hamdan Muafi, Founder Lembaga Kajian Pinter Kampus.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |