https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Gambaran Demokrasi Kotak Kosong

Selasa, 07 Januari 2025 - 06:38
Gambaran Demokrasi Kotak Kosong Masykurudin Hafidz, Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD).

TIMES MALANG, JAKARTA – Meraih kemenangan dengan mudah kala mengusung calon tunggal nyatanya tidak berjalan mulus. Keterwakilan yang terbatas menumbuhkan sikap untuk tidak memilih pasangan calon yang disediakan partai politik. Partisipasi pemilih justru terasa lebih kuat di daerah dengan tingkat kompetisi yang rendah.

Calon tunggal adalah Goliath, raksasa yang tidak tertandingi. Apalagi hanya melawan David, pihak lemah yang berwujud kolom kosong di surat suara. Kekuatan yang tidak imbang dalam bertanding memperebutkan kekuasaan. Goliath sudah hampir finis, David bersiaga di garis startpun belum.

Tapi Goliath bukan tanpa kekurangan. Proses menjadi pasangan calon tidak sepenuhnya mempertimbangkan aspirasi rakyat setempat. Penentuan calon kepala daerah dilakukan secara elitis, mengandalkan pihak yang memiliki finansial dan dilakukan secara klientilistik. Dalam situasi pemilihan secara langsung, kolom kosong menjadi titik kumpul untuk melawan. 

Partisipasi pemilih di daerah calon tunggal rata-rata hanya 66 persen, jauh lebih rendah dari rata-rata nasional yaitu 71 persen. Lebih rendah lagi jika disandingkan dengan daerah yang memiliki lima pasangan calon atau lebih dimana rata-rata partisipasinya sebesar 77 persen.

Jika diperiksa lebih dalam, dari 37 daerah dengan calon tunggal, hanya 14 daerah yang memiliki partisipasi diatas 70 persen sementara 10 daerah memiliki partisipasi dibawah 60 persen. Bahkan terdapat daerah calon tunggal yang partisipasi pemilihnya tidak mencapai setengahnya, yaitu Kabupaten Asahan dengan 46 persen dan suara tidak sah sebesar 7 persen.

Dari sisi surat suara tidak sah, daerah dengan calon tunggal lebih tinggi surat suara tidak sahnya dibanding dengan surat suara yang berisi lima pasangan calon atau lebih. Di daerah dengan calon tunggal surat suara tidak sah mencapai 4 persen. 

Sementara daerah dengan surat suara lima pasangan calon atau lebih, surat suara tidak sahnya hanya 2 persen. Dengan tetap membutuhkan penelitian lebih lanjut, memilih antara dua kolom jelas lebih mudah dibandingkan memilih antara lima kolom atau lebih.

Perolehan pasangan calon tunggal ketika melawan kolom kosong juga bervariasi. Kemenangan pasangan calon tunggal rata-rata memperoleh 76 persen suara. Terdapat 13 daerah dimana kolom kosong memperoleh suara lebih dari 30 persen. Terdapat dua daerah dimana kolom kosong menang dari pasangan calon yaitu Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka dengan perolehan suara yang hampir sama yaitu 58 dan 57 persen.

Jika partisipasi dihubungkan dengan perolehan suara, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi perolehan suara untuk kolom kosong, partisipasi pemilihnya rendah. Sebagai contoh, Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka yang dimenangkan kolom kosong, partisipasinya hanya 53 dan 52 persen. 

Lima daerah lainnya dimana kolom kosong memperoleh 40 persen suara lebih, partisipasinya rata-rata hanya 65 persen yaitu Kabupaten Pasangkayu, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes, Kabupaten Gresik dan Kota Tarakan.

Empat Penjelasan

Dengan kedudukan yang timpang dibanding kekuatan pasangan calon, perolehan suara kolom kosong wajib menjadi perhatian serius bagi para pihak yang bertanggungjawab menjalankan proses demokrasi lokal. Tindakan politik pemilih untuk memilih kolom kosong dengan jumlah yang tidak kecil menjadi koreksi terutama bagi partai politik dalam memenuhi kewajiban mewujudkan perwakilan yang representatif.

Berdasarkan pengalaman pelaksanaan Pilkada di daerah calon tunggal, setidaknya terdapat empat gambaran yang menjadi dasar untuk melakukan perbaikan ke depan, yaitu: Pertama, evaluasi terhadap kinerja tata kelola pemerintahan daerah. Mayoritas latar belakang pasangan calon di daerah calon tunggal adalah petahana. Adanya kebijakan kepala daerah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat mempengaruhi tingginya suara pemilih kolom kosong. Dengan kata lain, menghukum petahana dengan tidak memilihnya kembali.

Terdapat krisis kepercayaan dan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah daerah sehingga mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem politik. Jika pemilih merasa bahwa wakil mereka tidak mendengarkan atau tidak memenuhi janji, maka legitimasi akan terganggu. Hal ini sebagian dibuktikan dengan angka partisipasi di daerah calon tunggal yang rendah.

Kedua, kurangnya soliditas partai koalisi. Dengan dukungan mayoritas partai politik di daerah yang baru saja terpilih di Pemilu, sesungguhnya menyatukan kekuatan untuk mendapatkan suara mayoritas tidaklah sulit. 

Mengaktifkan kembali tim kampanye dan menggabungkan dengan tim partai lainnya merupakan langkah sistematik untuk memastikan perolehan suara di Pilkada menyerupai perolehan suara di Pemilu.

Akan tetapi, kondisi ideal tersebut tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Yang lebih banyak terjadi, partai politik membebaskan pasangan calon untuk berkampanye dengan sumber daya yang dimiliki. 

Pemilu sebelumnya telah menguras energi partai politik dan tidak cukup waktu untuk mempersiapkan kembali bertarung di Pilkada. Situasi ini mempengaruhi soliditas partai politik untuk mendukung kampanye lebih masif. Pasangan calon berjibaku sendiri dalam mendekati pemilih minim bersama kendaraan pengusulnya.

Ketiga, adanya kesenjangan antara partai politik sebagai perwakilan dengan konstituen. Partai politik tidak sepenuhnya memahami atau mewakili kepentingan dan kebutuhan konstituen mereka. Kesenjangan ini bisa disebabkan oleh kurangnya komunikasi, perbedaan latar belakang, atau ketidakmampuan untuk menjangkau semua kelompok masyarakat.

Kondisi ini kemudian digunakan oleh kelompok elite lokal yang berada di luar barisan pasangan calon membentuk gerakan memilih kolom kosong. Adanya kelompok yang pernah memiliki hubungan politik atau pengalaman menjalankan pemerintahan yang tidak suka kepada pasangan calon kemudian mendukung simpul-simpul di masyarakat dan mengorganisir untuk memilih kolom kosong.

Keempat, dampak kekosongan hukum. Jika selama ini kedudukan kolom kosong dinilai lemah karena tidak memiliki subyek hukum sehingga tidak berimbang dengan pasangan calon, kenyataannya kondisi tersebut tidak berlaku untuk semua daerah. Tidak adanya pihak yang mewakili kolom kosong berdampak pada kebebasan bagi siapa saja untuk melakukan apapun dalam rangka memenangkan kolom kosong.

Bahkan jika ada tindakan melanggar ketentuan kampanye dari pendukung kolom kosong, penyelenggara Pemilu tidak dapat mengatur dan bertindak atas pelanggaran tersebut karena subyek hukum dari perbuatan melanggar ini tidak disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan. 

Satu sisi kondisi ini dapat menguatkan pendukung kolom kosong, sisi lain diperlukan adanya aturan untuk memastikan pendekatan pemilih yang tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.

Pada akhirnya, gambaran Pilkada di daerah calon tunggal memberikan pesan kuat kepada kita semua untuk tidak main-main terhadap suara rakyat. Jika salah melangkah, pemimpin demokrat pun akan ditinggalkan pemilihnya. (*)

***

*) Oleh : Masykurudin Hafidz, Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.