TIMES MALANG, JAKARTA – Stephen Hawking, seorang ilmuwan brilian asal Inggris, suatu kali pernah menyatakan bahwa artificial intelligence (AI) menyimpan bahaya yang luar biasa bagi masa depan umat manusia.
Lebih tepatnya, Hawking menyatakan seperti ini, "The development of full artificial intelligence could spell the end of the human race (Perkembangan artificial intelligence yang menyeluruh dapat mengakhiri ras manusia).”
Ramalan seorang ilmuwan seperti Hawking tentu saja sangat mengkhawatirkan. Namun, di mata sejarawan Yuval Noah Harari, ada yang lebih membahayakan dari penemuan AI.
Dalam buku terbarunya, Nexus, Harari dengan kalimat yang sangat lugas menyatakan bahwa penemuan paling berbahaya dalam sejarah manusia adalah agama.
“The tendency to create powerful things with unintended consequences started not with the invention of the steam engine or AI but with the invention of religion. Prophets and theologians have summoned powerful spirits that were supposed to bring love and joy but occasionally ended up flooding the world with blood.”
Tendensi untuk menciptakan sesuatu yang powerful dengan konsekuensi yang tidak terduga tidak dimulai dengan penemuan mesin uap atau AI, tapi dengan penemuan agama.
Para nabi dan ahli agama memanggil roh-roh adidaya yang diharapkan menganugerahi cinta dan kebahagiaan, tapi ternyata berakhir dengan banjir darah di muka bumi.
Mungkin kalimat Harari di atas terasa terlalu sinis. Namun, mari tempatkan kalimat-kalimat di atas sebagai kritik. Tak perlu menuding-nuding sambil berteriak sumpah serapah.
Yang perlu kita lakukan adalah melakukan refleksi mengapa orang seperti Harari begitu sinis mengkritik agama sebagai “penemuan” yang hanya melahirkan pertumpahan darah.
Setiap agama selalu mengajarkan cinta kasih, keadilan, kebijaksanaan, kesantunan, perdamaian, dan kebahagiaan. Marilah kita lihat selintas ajaran cintah kasih dari tiga agama Abrahamik.
Islam mengajarkan pemeluknya untuk memberi salam perdamaian setiap kali bertemu orang. Islam juga mengajarkan agar setiap memulia pekerjaan selalu menyebut asma Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Hal yang sama juga diajarkan oleh agama Nasrani. Bahkan, cinta kasih adalah gambaran yang paling melekat di kepala setiap kali nama Yesus diucapkan. Ajaran cinta kasih ini secara apik termaktub dalam Matius 5:39: “Tetapi Aku berkata kepadamu: ‘Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”.
Jika Anda menganggap agama Yahudi tidak mengajarkan ajaran cinta kasih ini, Anda salah. Ada yang disebut sebagai kebijakan utama dalam agama Yahudi: keadilan, kebenaran, kerukunan, kasih sayang, kerendahan hati, bersedekah, tutur kata yang baik.
Di dalam Kitab Talmud, kitab yang berisi catatan dialog para rabi tentang hukum, etika, adat, dan sejarah Yahudi, dinyatakan: “Perkara-perkara yang mendatangkan bunga pahala untuk dinikmati di dunia dan pokok pahala untuk dinikmati di akhirat adalah menghormati kedua orang tua, mencintai perbuatan-perbuatan baik, dan mendamaikan satu orang dengan orang lain. Akan tetapi, mengkaji Taurat setara dengan ketiga-tiganya" (Talmud Sabat 127a).
Namun, mari lihat sejarah tiga agama bersaudara ini. Perang Salib mungkin salah satu perang paling mematikan antara umat Islam dan Kristen. Perang yang kedua kubu meyakini sebagai perang suci ini memakan korban antara 1 sampai 3 juta orang meninggal dunia.
Perang antara Katolik dan Kristen di Prancis, 1562-1598, menghasilkan korban jiwa 2 sampai 4 juta. Sementara, perang antara Islam dengan Yahudi sudah tak lagi bisa dihitung karena hingga sekarang perang terus berkecamuk.
Jumlah manusia yang meninggal dalam perang suci tentu jauh lebih tinggi dari angka-angka di atas. Perang agama adalah perang yang sudah tercatat dalam sejarah sejak awal kelahiran agama.
Perang di internal masing-masing agama dengan motif keyakinan juga menghasilkan kerusakan dan memakan korban dengan jumlah yang tak perkirakan.
Memang, tidak semua perang suci ini sepenuhnya dilatarbelakangi oleh motif agama. Namun, di semua perang ini, agama selalu menjadi narasi yang kuat untuk mengeskalasi konflik.
Dengan melihat sejarah agama ini, kritik Harari rasanya tidak terlalu salah. Yang harus kita lakukan bukan meneriakkan kata perang terhadap orang-orang yang mengkritik sisi buas umat beragama. Yang perlu kita lakukan adalah menggali sisi ramah dari wajah agama.
Inilah yang saya sebut dengan wajah cinta kasih agama. Cinta kasih adalah suara yang selalu didengungkan beriringan dengan janji kedamaian dan kebahagiaan, sekalipun suara cinta kasih ini sering ditelikung oleh semangat kebencian dan permusuhan para pemeluk agama.
Tidak masuk akal kalau kita menuntut pemeluk agama untuk tidak menganggap agamanya paling benar. Juga, berlebihan jika kita menuntut pemeluk suatu agama untuk meyakini bahwa seluruh agama memiliki kebenaran yang sama. Setiap pemeluk agama pasti meyakini bahwa agama lah yang menjadi jalan menuju keselamatan abadi.
Ini adalah wilayah teologis yang sifatnya eksklusif dari masing-masing agama. Tak perlu ada penyatuan di wilayah teologi eksklusif ini, sekalipun mungkin bagi beberapa orang hal ini memungkinkan.
Yang bisa menjadi platform dalam kehidupan bersama adalah nilai-nilai etik yang diajarkan oleh setiap agama. Bagaimanapun juga, agama yang bisa menjadi harapan masa depan adalah agama yang mengembangkan cinta kasih, yang memerdekakan setiap orang untuk mencapai kepenuhan eksistensi dirinya, dan yang membangun kebaikan bersama.
Tidak mungkin menghindari konflik selagi masih ada kehidupan komunal manusia di dunia. Tapi jika agama yang kita kembangkan adalah agama cinta kasih kepada sesama, jika ada cerita konflik di masa depan, maka itu adalah konflik antara cinta dan benci.
Bukan perang antar agama yang dilatarbelakangi oleh kebencian dan permusuhan karena berbeda keyakinan. Jika kita ingin melanjutkan kisah agama dalam panggung sejarah manusia ke depan, maka cerita itu harus diberi judul besar-besar: “Agama Cinta".
***
*) Oleh : Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, Sekretaris Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kemenag RI. 7/1 2025.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |